SURAU.CO. Praktik pengoplosan beras kini menjadi sorotan tajam. Aktivitas ilegal ini tidak hanya berdampak menipu konsumen namun jauh lebih luas yaitu mampu merusak efektivitas kebijakan pangan pemerintah. Bahkan, praktik culas ini bisa menciptakan distorsi pasar yang parah. Jika terus terjadi maka stabilitas sosial akan menjadi taruhannya. Majelis Ulama Indonesia (MUI) hingga Institute for Development of Economics and Finance (Indef) memberi peringatan keras akan kasus ini jika tidak terselesaikan dengan cepat.
Lembaga riset Institute for Development of Economics and Finance (Indef) memberi peringatan keras akan kasus beras oplosan ini. Kepercayaan publik terhadap negara berada di ujung tanduk. “Ketika masyarakat menemukan bahwa beras yang mereka beli, bahkan dari program subsidi yang pernah dilakukan uji tidak sesuai mutu atau bobot, maka kepercayaan publik terhadap negara sebagai penyedia pangan akan runtuh,” ujar Kepala Pusat Makroekonomi Indef Rizal Taufiqurrahman di Jakarta, Minggu.
Menurut Rizal, dampak beras oplosan ini dalam jangka panjang sangat berbahaya. Praktik ini dapat memicu ketidakstabilan harga sehingga jurang antara regulasi dan realitas pasar juga semakin lebar. Untuk itu, lanjut Rizal negara harus bertindak tegas untuk menghentikan masalah ini. “Negara harus hadir secara tegas, tidak hanya dengan retorika, tetapi dengan sistem yang mampu menutup seluruh celah penyimpangan,” tegas Rizal.
Akar Masalah dan Lemahnya Pengawasan
Mengapa modus beras oplosan terus subur? Menurut Rizal ada beberapa penyebab utamanya masih maraknya beras oplosan ini. Salah satunya adalah pengawasan pada titik distribusi akhir sangat lemah. Selain itu tidak ada sistem pelacakan (tracking) yang kredibel dan mekanisme kontrol terhadap mitra distribusi Perum Bulog juga longgar. Rantai distribusi Cadangan Beras Pemerintah (CBP) sangat panjang juga menjadi salah satu penyebabnya.
Prosesnya pun seringkali tidak transparan. Kondisi ini menciptakan celah bagi oknum nakal di hilir. Mereka menyisipkan praktik pengoplosan secara sistematis. “Ini diperburuk oleh absennya early warning system berbasis data, serta tidak adanya pembenahan menyeluruh dalam tata kelola logistik dan sertifikasi penyalur. Selama logika ekonomi masih menguntungkan pelaku, dan sanksi tidak memberikan efek jera, sistem ini akan terus berputar,” ujar Rizal.
Untuk itu, Indef merekomendasikan perubahan pendekatan diantaranya pemerintah harus beralih dari tindakan reaktif seperti razia dadakan. Solusinya adalah sistem pengawasan cerdas yang terintegrasi. Digitalisasi rantai distribusi CBP menjadi kunci. Sistem pelacakan berbasis QR atau barcode bisa dimonitor publik. Kemudian ada pembaruan sistem mitra Bulog juga mendesak. Audit berkala dan daftar hitam pelaku oplosan harus jadi standar. “Tanpa mekanisme sanksi administratif yang keras seperti pencabutan izin permanen dan pemiskinan korporasi pelaku praktik ini akan terus berulang dengan wajah yang berbeda,” kata Rizal.
Ia menambahkan, pemberantasan kejahatan pangan butuh kerja sama sistemik. Kementerian Pertanian dan Bulog harus bersinergi. Mereka perlu membentuk sistem pemantauan mutu dan distribusi real-time. Aparat Penegak Hukum (APH) juga harus membentuk unit khusus kejahatan pangan.
“Semua aktor, termasuk pemerintah daerah, harus bekerja dalam satu kerangka pengawasan yang terukur, terpantau, dan dapat diintervensi dengan cepat ketika ada penyimpangan,” ujar Rizal.
Pandangan Agama: Penipuan Adalah Dosa Besar
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) turut angkat bicara. Mereka mengecam keras praktik peredaran beras oplosan. Sekretaris Komisi Fatwa MUI, KH Miftahul Huda, menyatakan tindakan ini adalah bentuk kecurangan. Kiai Miftah menjelaskan perdagangan adalah pekerjaan mulia. Manusia telah menggelutinya sejak lama.
“Karena berdagang tidak hanya persoalan potensi mendapatkan keuntungan finansial, tetapi dengan berdagang seseorang akan mendapatkan peluang pengembangan diri yang menarik bagi banyak orang,” kata Kiai Miftah dikutip dari MUIDigital, Selasa (22/7/2025).
Karena itu, agama mengatur etika perdagangan dengan sangat rinci. Salah satu etika terpenting adalah kejujuran. Kejujuran membangun kepercayaan jangka panjang antara penjual dan pembeli. “Sebaliknya pedagang tidak jujur tidak akan mendapatkan keberkahan di dunia dan merugi di Hari Akhir. Pada pemberitaan akhir-akhir ini, banyak ditemukan pedagang beras yang tidak jujur,” sambungnya.
Kiai Miftah menekankan, mengoplos beras kualitas rendah lalu menjualnya sebagai beras premium adalah penipuan (taghrir). Tindakan ini mencerminkan moralitas yang buruk dan sangat merugikan. Nabi Muhammad SAW memberikan ancaman keras bagi para penipu.
“Barang siapa menipu, maka dia bukan bagian dari golonganku.” (HR Muslim). Maka dapat disimpulkan bahwa hukum menipu dalam perdagangan adalah kategori dosa besar dan harta yang dihasilkan merupakan harta haram,” tegasnya.
Temuan Pemerintah: 212 Merek Terlibat, Kerugian Rp99 Triliun
Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman mengungkap temuan mengejutkan. Pihaknya menduga ada 212 merek beras telah melakukan pengoplosan pada kemasannya. Mereka juga melanggar standar mutu yang berlaku. Temuan ini adalah hasil investigasi bersama Satgas Pangan Polri. Kerugian ekonomi akibat praktik ini sangat fantastis. Nenurut perkiraan negara dan konsumen rugi hingga Rp99 triliun per tahun. “Ini seperti menjual emas 18 karat tapi dibilang 24 karat. Padahal harganya jelas beda. Konsumen kita dirugikan hampir Rp100 triliun,” kata Amran, Senin, 14 Juli 2025.
Modus operandinya beragam. Banyak kemasan tidak sesuai dengan berat bersihnya. Misalnya, kemasan 5 kg hanya berisi 4,5 kg beras. Klaim beras premium juga seringkali palsu. Isinya ternyata beras berkualitas biasa. Mentan kemudian menyebut beberapa contoh yang beredar. Merek-merek tersebut hanyalah sebagian kecil. Nantinya pemerintah akan mengumumkan daftar lengkap 212 merek secara bertahap. Sejumlah ritel modern bahkan telah menarik beberapa merek tersebut setelah kasus ini viral di media sosial.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
