Khazanah
Beranda » Berita » Bahaya Patung dan Gambar Tokoh: Awal Mula Kesyirikan dalam Sejarah Umat Manusia

Bahaya Patung dan Gambar Tokoh: Awal Mula Kesyirikan dalam Sejarah Umat Manusia

Bahaya Patung dan Gambar Tokoh: Awal Mula Kesyirikan dalam Sejarah Umat Manusia

“Bahaya Patung dan Gambar Tokoh: Awal Mula Kesyirikan dalam Sejarah Umat Manusia”.

 

Dalam sejarah panjang peradaban manusia, tak sedikit jejak kesalahan dan penyimpangan umat terdahulu yang menjadi pelajaran besar bagi generasi berikutnya. Salah satu di antaranya adalah kesyirikan yang pertama kali terjadi pada umat Nabi Nuh ‘alaihissalam. Kesyirikan ini tidak langsung dimulai dengan penyembahan kepada berhala, melainkan diawali dari niat yang terlihat baik—mengabadikan kenangan orang-orang shalih dalam bentuk gambar dan patung. Namun, justru dari sinilah benih kesyirikan mulai tumbuh.

Awal Mula Kesyirikan: Kisah Kaum Nabi Nuh

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu menjelaskan bahwa berhala-berhala yang disembah oleh kaum Nabi Nuh adalah representasi dari orang-orang shalih yang hidup pada masa itu. Dalam riwayat sahih yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari (no. 4920), disebutkan bahwa ketika orang-orang shalih tersebut meninggal, setan membisikkan kepada kaum mereka:

> “Dirikanlah patung-patung di tempat mereka biasa duduk, dan berilah nama patung-patung itu dengan nama-nama mereka.”

Riyadus Shalihin: Buku Panduan Kecerdasan Emosional (EQ) Tertua Dunia

Masyarakat pun mengikuti bisikan setan tersebut. Mereka tidak langsung menyembah patung-patung itu. Pada awalnya, itu hanya sebagai bentuk penghormatan dan mengenang jasa. Namun ketika generasi berikutnya lahir dan ilmu tentang tauhid mulai pudar, patung-patung itu pun disembah. Inilah awal mula syirik pertama kali terjadi dalam sejarah umat manusia.

Gambar dan Patung: Bahaya yang Terlupakan

Banyak yang mengira bahwa gambar atau patung hanyalah karya seni atau simbol penghormatan. Namun jika kita melihat dari kaca mata sejarah Islam, terutama dari sudut pandang tauhid, maka kita akan menyadari bahwa perkara ini bukanlah hal sepele. Islam melarang pembuatan dan pengagungan patung serta gambar makhluk bernyawa karena potensi penyimpangannya sangat besar.

Larangan ini bukan hanya soal seni rupa, tetapi lebih pada penjagaan akidah agar tidak terjerumus pada bentuk pengkultusan makhluk, yang kemudian mengarah kepada bentuk-bentuk ibadah yang hanya layak ditujukan kepada Allah.

Penghormatan yang Menjadi Kekeliruan

Salah satu penyebab utama munculnya kesyirikan adalah ketika manusia mulai meninggikan manusia lain secara berlebihan. Rasa cinta dan kagum kepada orang-orang baik dan tokoh besar jika tidak dikontrol dengan ilmu dan pemahaman tauhid yang benar, bisa berubah menjadi pemujaan.

Fenomena seperti ini bisa kita lihat dalam sejarah umat-umat terdahulu. Berhala-berhala seperti Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr awalnya adalah orang-orang shalih yang dihormati. Tapi ketika generasi berikutnya tidak memahami maksud dari dibuatnya patung-patung itu, mereka mulai menyembahnya.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Inilah yang terjadi hari ini di banyak tempat: patung tokoh dipajang di tengah kota, diberikan bunga, dibacakan doa, bahkan kadang-kadang dianggap memiliki “aura” dan keberkahan. Ini sangat berbahaya jika terus dibiarkan, apalagi tanpa penjelasan yang lurus dari para ulama.

Islam dan Larangan Membuat Patung

Rasulullah ﷺ sangat tegas dalam hal ini. Dalam banyak hadis disebutkan larangan keras terhadap pembuatan patung atau gambar makhluk bernyawa. Dalam Shahih Bukhari dan Muslim, Rasulullah ﷺ bersabda:

> “Sesungguhnya orang yang paling berat siksaannya di hari kiamat adalah para pembuat gambar.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Para ulama menjelaskan bahwa dosa besar ini muncul karena perbuatan tersebut menyerupai ciptaan Allah, dan bisa mengantarkan kepada pengagungan yang berlebihan terhadap gambar tersebut.

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa membuat gambar makhluk bernyawa hukumnya haram, termasuk patung.” (Syarh Shahih Muslim, 14/81)

Fenomena Flexing Sedekah di Medsos: Antara Riya dan Syiar Dakwah

Jalan Setan Sangat Halus

Setan tidak datang langsung menawarkan kesyirikan. Ia datang perlahan, dengan bisikan halus yang terlihat seolah-olah baik dan tidak berbahaya. Inilah yang terjadi ketika ia membisikkan agar umat Nabi Nuh membuat patung tokoh-tokoh shalih. Niat awalnya sekadar mengenang, namun berujung menjadi penyembahan.

Demikian pula zaman sekarang, penghormatan kepada tokoh bangsa atau pahlawan sering diwujudkan dengan mendirikan patung besar di berbagai tempat. Bagi sebagian orang itu tidak lebih dari simbol sejarah. Namun jika dibiarkan dan diwariskan tanpa penanaman ilmu tauhid, generasi setelahnya bisa terjerumus dalam bentuk-bentuk kesyirikan yang sama seperti umat terdahulu.

Menjaga Tauhid Adalah Kewajiban Utama

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengutus para rasul dengan satu misi utama: menyeru kepada tauhid dan menjauhkan manusia dari segala bentuk kesyirikan. Allah berfirman:

> “Dan sungguh Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat, (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut.’” (QS. An-Nahl: 36)

Penjagaan terhadap tauhid tidak bisa ditawar. Dalam setiap generasi, harus ada dakwah yang mengingatkan bahaya kesyirikan. Salah satu bentuk penjagaan itu adalah dengan melarang segala hal yang bisa mengarah pada syirik, seperti menggambar, memahat, atau menaruh patung tokoh sebagai simbol penghormatan.

Ilmu Harus Terus Ditegakkan

Kejatuhan umat Nabi Nuh ke dalam kesyirikan juga disebabkan karena hilangnya ilmu. Ketika generasi ulama dan orang berilmu meninggal dunia, masyarakat tidak lagi memahami maksud dari patung-patung itu. Maka, ilmu yang tidak diwariskan akan membuat umat tersesat.

Inilah pentingnya membina umat dengan pendidikan tauhid yang kuat, menanamkan bahwa hanya Allah-lah satu-satunya yang berhak disembah, tidak ada makhluk yang layak diagungkan secara berlebihan, meskipun mereka orang saleh atau tokoh besar sekalipun.

Penutup: Jangan Terulang Sejarah yang Sama

Sejarah kaum Nabi Nuh bukan sekadar cerita masa lalu. Ia adalah pelajaran berharga agar kita tidak mengulangi kesalahan yang sama. Jangan sampai umat Islam hari ini mengulangi jejak kesyirikan hanya karena menganggap sepele patung, gambar, atau simbol-simbol yang bisa membuka pintu pengkultusan.

Mari kita tanamkan dalam hati bahwa kehormatan sejati bukan dengan mendirikan patung, tapi dengan meneladani akhlak dan iman para tokoh besar umat. Dan yang paling utama, mari kita jaga tauhid ini sampai ajal menjemput.

> “Jadikanlah Allah satu-satunya sesembahan, dan hindarilah semua yang bisa menyaingi kedudukan-Nya di hati.”

Referensi:
Shahih al-Bukhari no. 4920
Syarh Shahih Muslim, Imam Nawawi
Tafsir Ibnu Katsir (QS. Nuh)
Kitab Tauhid, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab

(Tengku Iskandar, M. Pd)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement