Kisah
Beranda » Berita » Syekh Abu Yazid Al Bustami dan Pria yang Sombong

Syekh Abu Yazid Al Bustami dan Pria yang Sombong

Sifat sombong itu menjadi pengahlang seseorang dalam melakukan perjalanan spiritualnya
Sebuah kisah sufi abadi dan pelajaran dari Abu Yazid Al Bustami tentang kesombongan sebagai penghalang utama dalam perjalanan spiritual.

SURAU.CO. Kisah-kisah dari para sufi sering kali melampaui batas waktu.  Kisahnya yang syarat hikmah dan sederhana namun tajam dalam memberikan pencerahaan batin. Salah satu yang paling tajam datang dari sufi besar Abu Yazid Al Bustami . Beliau adalah seorang mistikus besar dari Persia yang ada pada abad kesembilan. Ajarannya kerap menantang pemahaman mendalam tentang agama dan perjalanan spiritual yang mendalam. Kisah berikut mengungkap penghalang terbesar manusia dalam mencari kebenaran yang hakiki.

Penghalang itu adalah ego dan kesombongan diri. Cerita ini menjadi relevan bagi siapa saja hingga, terutama bagi yang merasa sudah berbuat banyak. Namun tidak menemukan ketenangan batin yang sejati. Ini adalah cermin untuk kita semua.

Tiga Puluh Tahun Ibadah Tanpa Hasil

Alkisah pada suatu hari, seorang pria mendatangi Syekh abu Yazid. Pria itu datang dengan wajah penuh keluh kesah. Ia mengadu tentang perjalanan spiritualnya yang terasa hampa, padahal ia merasa telah melakukan segalanya dengan tekun. So pria tadi kemudian mengomel kepada Bayazid dan mengatakan bahwa dirinya telah puas dan berdoa. Bahkan pria tersebut menegaskan ritual ini telah ia lakukan selama tiga puluh tahun. Akan tetapi, ia tidak juga menemukan kesenangan seperti ajaran Abu Yazid.

Sufi besar itu mendengarkan dengan saksama keluhan si pria tersebut. Sejurus kemudian, sang sufi menjawab bahwa orang itu pria melanjutkan ritualnya. Bahkan Abu Yazid menegaskan hingga tiga ratus tahun lagi. Namun, dia tidak akan pernah mendapatkan kesenangan itu juga.
Tentu saja, pria itu terkejut mendengar jawaban tersebut. Saya merasa usahanya selama ini tidak dihargai. Karena penasaran, ia pun bertanya.

“Kenapa begitu?” tanya si pria, yang merasa saleh itu.

Membangun Etos Kerja Muslim yang Unggul Berdasarkan Kitab Riyadus Shalihin

Abu Yazid langsung menunjuk ke akar masalahnya. Ia tidak menyalahkan ibadah pria itu. Ia menyalahkan penyakit yang ada di dalam hatinya.

“Sebab kesombonganmu merupakan halangan utama bagimu,” jawab Syekh abu Yazid tajam .

Obat yang Mustahil

Pria itu mulai menyadari sesuatu. Mungkin ada kebenaran dalam ucapan sang sufi. Ia pun meminta solusi dari Bayazid. Ia berharap ada amalan tambahan atau doa khusus.

“Coba katakan apa obatnya,” pinta pria itu.

Bayazid tahu bahwa obat ini akan sangat sulit diterima. Ego yang sudah mengakar kuat tidak mudah untuk dicabut.

Frugal Living Ala Nabi: Menemukan Kebahagiaan Lewat Pintu Qanaah

“Obatnya tak akan bisa kau laksanakan,” ujar Abu Yazid Al Bustami.

Namun, pria itu terus mendesak. Ia berjanji akan melakukannya.

“Bagaimanapun, katakan sajalah,” katanya.

Akhirnya, Syekh Abu Yazid al Bustami memberikan resepnya namun bukanlah doa atau wirid.

Bayazid pun berkata, “Kau harus pergi ke tukang pangkas rambut untuk mencukur janggutmu, (yang terhormat, itu). Lepaskan semua pakaianmu dan mengenakan korset. Isi sebuah kantong kuda dengan kenari sampai penuh, lalu gantungkan di lehermu. Pergilah ke pasar dan berteriaklah, “Akan kuberikan sebutir kenari kepada setiap anak yang memukul tengkukku.” Kemudian lanjutkan perjalananmu ke sidang sidang agar semua orang menyaksikanmu.”

Menyelaraskan Minimalisme dan Konsep Zuhud: Relevansi Kitab Riyadhus Shalihin di Era Modern

Jawaban itu membuatnya tak sanggup membayangkannya. Wajahnya pucat pasi. Ia tidak membayangkan dirinya melakukan hal serendah itu. Baginya, kehormatan diri jauh lebih berharga.

“Tetapi aku tak bisa melakukan itu; coba katakan cara lain yang sama manfaatnya,” ia memohon.

“Itu langkah pertama, dan satu-satunya cara,” kata Bayazid, “Tetapi sudah aku katakan kepadamu bahwa kau tak akan bisa melakukannya. Jadi tak ada obat bagimu.”Setiap detail dari resep ini memiliki makna simbolis. Mencukur janggut berarti melepaskan simbol kesalehan dan kehormatan. Jawaban tersebut yang menyadarkan kemudian menyadarkan si Pria bahwa tidak ada jalan pintas dalam menaklukkan ego.

 Refleksi dari Imam Al-Ghazali

Kisah ini bukan sekedar anekdot. Ulama besar Imam Al-Ghazali mengangkatnya dalam kitab masyhur, “Kimia Kebahagiaan”. Al-Ghazali menggunakan cerita ini untuk sebuah penekanan penting. Menurut Al-Ghazali, banyak orang tampak jujur dalam mencari kebenaran. Namun, pencarian mereka sering kali didasarkan pada kesombongan. Mereka juga mencari keuntungan untuk diri mereka sendiri. Hal-hal inilah yang menjadi penghalang utama bagi pencari kebenaran sejati. Ibadah yang dilakukan dengan rasa bangga tidak akan membawa seseorang lebih dekat kepada Tuhan. Sebaliknya, itu justru membangun dinding tebal yang menghalangi cahaya-Nya.

Ritual Ibadah memang penting. Namun, semua itu menjadi sia-sia jika hati masih terikat pada ego. Perjalanan spiritual sejati dimulai dari kerendahan hati. Ia dimulai dengan kesediaan untuk menghancurkan “patung diri” yang kita puja secara diam-diam. Tanpa itu, ibadah selama ratusan tahun pun hanya akan menjadi aktivitas fisik yang kosong makna. Pelajaran dari Syekh Abu Yazid ini abadi.( Disadur dari buku Kisah-Kisah Sufi Idries Syah)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement