Khazanah
Beranda » Berita » Dua Surat Pendek yang Sering Dibaca Nabi dan Makna Tauhid di Dalamnya

Dua Surat Pendek yang Sering Dibaca Nabi dan Makna Tauhid di Dalamnya

Ilustrasi sedang shalat dengan bacaan Surat Al-Ikhlas dan Al-Kafirun, menggambarkan kekhusyukan dan pemurnian tauhid dalam ibadah.
Ilustrasi membaca Surat Al-Ikhlāṣ dan Al-Kāfirūn dalam shalat, sebagai bentuk peneguhan tauhid dan penolakan terhadap kompromi akidah. (Gambar dihasilkan dengan bantuan AI Canva)

SURAU.CO – Dalam bukunya Islam: Doktrin & Peradaban (Gramedia Pustaka Utama, 2019), Nurcholish Madjid menjelaskan bahwa bagi masyarakat umum khususnya mereka yang telah memiliki kepercayaan kepada Tuhan proses pembebasan spiritual pada dasarnya adalah pemurnian kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Proses ini mencakup dua tahapan penting: pertama, melepaskan diri dari kepercayaan kepada yang palsu; dan kedua, memusatkan kepercayaan hanya kepada yang benar (hlm. 96).

Dua hal mendasar ini, lanjut Nurcholish, dirangkum secara padat dalam dua surat pendek Al-Qur’an, yaitu Surat al-Kāfirūn (Q.S. 109) dan Surat al-Ikhlāṣ (Q.S. 112). Menurut Ibnu Taimiyah, Surat al-Kāfirūn mengandung konsep Tawḥīd Ulūhīyah penegasan bahwa hanya Allah semata yang layak disembah. Sedangkan Surat al-Ikhlāṣ memuat Tawḥīd Rubūbīyah penegasan bahwa Allah adalah Tuhan yang Maha Esa secara mutlak dan transendental.

Karena kuatnya nilai-nilai tauhid dalam kedua surat ini, beberapa hadis menyebutkan bahwa Rasulullah sering membacanya dalam shalat, terutama pada rakaat pertama dan kedua shalat sunnah seperti subuh dan witir. Ini menunjukkan pentingnya penyucian tauhid dalam praktik ibadah Nabi, yang sekaligus menjadi teladan utama bagi umat Islam.

Sebab Turunnya Surat Al-Kafirun

Dalam Asbābun Nuzūl karya Imam Jalaluddin as-Suyuthi (hlm. 618), disebutkan bahwa Surat al-Kāfirūn merupakan surat Makkiyah yang terdiri atas enam ayat.

Ath-Thabrani dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās bahwa para pemuka Quraisy pernah mendatangi Nabi Muhammad dengan tawaran duniawi yang menggiurkan. Mereka menjanjikan akan memberikan harta berlimpah hingga beliau menjadi orang terkaya di Makkah, serta menikahkannya dengan perempuan mana pun yang beliau sukai. Sebagai imbalannya, mereka berkata:

Mengapa Allah Menolak Taubat Iblis?

“Ini semua untukmu, wahai Muhammad, asalkan engkau berhenti mencela tuhan-tuhan kami dan tidak lagi menyebutnya dengan buruk. Namun bila engkau menolak, mari kita sepakati: sembahlah tuhan-tuhan kami selama satu tahun, dan setelah itu kami akan menyembah Tuhanmu selama satu tahun pula.”

Nabi menolak tawaran tersebut dan berkata, “Aku akan menunggu hingga datang wahyu dari Tuhanku.” Maka Allah menurunkan firman-Nya:

“Qul yā ayyuhal-kāfirūn…” hingga akhir surat.

Ayat ini menjadi penegasan atas keteguhan iman, pemurnian tauhid, dan penolakan terhadap segala bentuk kompromi dalam urusan akidah.

Riwayat lain disampaikan oleh Abdurrazzaq dari Wahb, yang menyebutkan bahwa orang-orang kafir Quraisy berkata kepada Nabi:

Budaya Hustle Culture vs Berkah: Meninjau Ulang Definisi Sukses

“Jika engkau mau, maka ikutlah agama kami selama satu tahun, lalu engkau kembali lagi kepada agamamu selama satu tahun berikutnya.”

Sebagai respons terhadap usulan sinkretisme ini, Allah kembali menurunkan ayat:

“Qul yā ayyuhal-kāfirūn…” hingga akhir surat.

Sebab Turunnya Surat Al-Ikhlas

Dalam Asbābun Nuzūl karya Imam Jalaluddin as-Suyuthi (hlm. 662), dijelaskan bahwa Surat al-Ikhlāṣ juga termasuk surat Makkiyah dan terdiri dari empat ayat.

At-Tirmidzi, Al-Hakim, dan Ibnu Khuzaimah meriwayatkan melalui jalur Abul ‘Āliyah dari Ubay bin Ka‘b, bahwa sekelompok orang musyrik datang kepada Rasulullah dan berkata:

Ziarah Makam Hari Jum’at, Apa Hukumnya?

“Terangkanlah kepada kami sifat-sifat Tuhanmu.”

Sebagai jawaban atas pertanyaan tersebut, Allah menurunkan firman-Nya:

“Qul huwa Allāhu aḥad…” hingga akhir surat.

Turunnya surat ini menjadi penegasan atas konsep tauhid yang murni, serta sebagai respons terhadap keingintahuan sekaligus tantangan dari kaum musyrik tentang hakikat Tuhan dalam ajaran Islam. Surat ini secara ringkas namun sangat mendalam menjelaskan keesaan, kemutlakan, dan ketidakserupaan Allah dengan segala sesuatu.

Tauhid dan Iman yang Murni

Lebih lanjut, Nurcholish Madjid menyoroti bahwa percaya kepada Allah tidak serta-merta berarti bertauhid. Kepercayaan kepada Allah masih mungkin bercampur dengan keyakinan terhadap entitas lain yang dianggap turut memiliki sifat ketuhanan. Inilah inti persoalan spiritual manusia: iman yang tidak murni.

Menurut Nurcholish, problem utama manusia bukan ateisme, melainkan politeisme (syirik). Yakni, kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang tetap membuka ruang bagi keyakinan terhadap “tuhan-tuhan lain” yang dianggap ilāhiyy, meskipun lebih rendah dari Allah. Dengan kata lain, banyak orang percaya kepada Tuhan, namun tidak secara eksklusif dan utuh, karena masih menyekutukan-Nya.

Karena itu, misi utama Al-Qur’an bukan sekadar memperkenalkan Tuhan, melainkan membebaskan manusia dari belenggu politeisme. Prinsip dasar tauhid ditegaskan melalui formula “al-nafyu wa al-itsbāt” (peniadaan dan penegasan), yang dirumuskan dalam kalimat:

“Lā ilāha illā Allāh”“Tiada tuhan selain Allah.”

Kalimat ini bukan hanya menyatakan eksistensi Tuhan, melainkan juga menafikan segala bentuk ketuhanan selain Allah. Inilah hakikat dari iman yang murni, yang menjadi inti risalah Nabi Muhammad.

Sumber Referensi:

  • Nurcholish Madjid, Islam: Doktrin & Peradaban (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2019), hlm. 96–97.

  • Imam Jalaluddin as-Suyuthi, Asbābun Nuzūl, hlm. 618 & 662.

  • Hadis-hadis riwayat At-Tirmidzi, Al-Hakim, Ibnu Khuzaimah, Ath-Thabrani, dan Abdurrazzaq.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement