SURAU.COM. Kelahiran menandai era baru dalam dunia pers Islam di Nusantara. Media ini menjadi pelopor yang mengusung gagasan kemajuan dan pencerahan. Majalah ini meluncur pertama kali pada April 1911 oleh Syekh Abdullah Ahmad pada April 1911 di Padang, Al-Munir adalah majalah Islam pertama di Indonesia. Kemunculannya bukan sekedar mencetak berita. Ia menjadi suluh yang menyampaikan pemikiran umat, mengobarkan semangat kembali kepada ajaran Islam yang murni. Meski usianya singkat, warisan Al-Munir abadi dan memicu gelombang penerbitan media Islam lainnya.
Prof. Dr. Deliar Noer dalam bukunya Gerakan Modern Islam di Indonesia’ 1900-1942 menggambarkan majalah Al-Munir sebagai berikut:
”Majalah Dwi Mingguan ini memuat artikel yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan para pembacanya. Jenis artikel ini mencakup masalah agama (seperti perlunya beragama), biografi Nabi Muhammad, pengertian tentang mazhab, kebutuhannya hisab dibandingkan dengan rukyat dan masalah duniawi seperti umpamanya kegunaan surat kabar dan majalah, kegunaan organisasi serta juga kejadian-kejadian di luar negeri, terutama di Timur Tengah. Ada juga artikel yang lebih bersifat, yaitu filosofis tetapi masih berkisar pada persoalan agama juga, seperti soal Tauhid. Artikel-artikel di atas biasanya ditulis pada kesempatan yang sesuai dengan isi artikel. Jadi umpamanya artikel tentang mikraj, ditulis pada hari-hari sekitar mikraj, artikel tentang puasa ditulis pada bulan Ramadhan. Kadang kala juga artikel itu ditulis sebagai jawaban atas pertanyaan yang disampaikan oleh para pembacanya. Umumnya jenis artikel ini berkaitan dengan masalah hukum fikih. Ada pula artikel terjemahan yang diambil dari majalah Timur Tengah, termasuk Al-Manar dari Mesir. Artikel terjemahan ini umumnya berkenaan dengan kejadian-kejadian di Timur Tengah.”
Inspirasi dari Seberang dan Dukungan Kaum Pedagang
Gagasan penerbitan Al-Munir tidak muncul dari ruang hampa. Inspirasi utamanya datang dari majalahAl-Imam yang terbit di Singapura. Media pimpinan Tahir Jalaluddin Al-Azhari itu eksis antara tahun 1906 hingga 1909 .Al-Imam sendiri merupakan majalah yang terpengaruh oleh gagasan pembaharuan Jamal-al-Din Afghani dan Muhammad Abduh.
Al-Munir berarti pelita atau yang membawa cahaya, Al-Munir bermaksud memimpin dan memajukan anak-anak Melayu dan anak-anak Islam kita pada agama yang lurus dan i’ tiqad baik dan betul. Al-Munir membawa damai dan sentosa antara sesama manusia pada kehidupan dan agar meneguhkan kesetiaan pada pemerintah.
Setelah majalah Al-Imam berhenti terbit, Syekh Abdullah Ahmad berkunjung ke Singapura. Di sana, ia mengutarakan rencana untuk membuat media serupa. Niat mulia ini mendapat dukungan hangat dari berbagai pihak. Berbekal dukungan moril dan materiel dari para pedagang di Padang, Syekh Abdullah Ahmad berhasil mewujudkan cita-citanya. Maka pada 1 Rabiulakhir 1329 H atau April 191 lahirlah Majalah Al-Munir edisi perdana.
Dapur Redaksi dan Misi Mulia
Pengelola Al-Munir adalah perkumpulan ulama bernama Sjarikat Ilmu. Anggotanya sebagian besar berasal dari kalangan Kaum Muda. Mereka adalah para ulama yang giat mewakili modernisasi dan pembaruan Islam. Dalam redaksinya, Marah Muhammad menjabat sebagai pemimpin harian. Sementara itu, Sutan Djamaluddin Abubakar memimpin dewan redaksi.
Banyak nama besar yang turut menyumbangkan tulisan dan pemikirannya seperti Abdul Karim Amrullah (ayah Buya Hamka), Muhammad Thaib Umar, hingga Sutan Muhammad Salim (ayah Haji Agus Salim). Selain itu tercatat pula nama Ibrahim Musa Parabek dan Muhammad Jamil Jambek. Nama “Al-Munir” sendiri berarti “lilin” atau “suluh” yang mencerminkan misinya untuk mencapai umat dari kegelapan taklid dan kejumudan.
Dalam edisi perdananya pada kulit majalah tercantum nama kalimat, ”Usaha orang-orang Alim Minangkabau.” Pengarang : Haji Abdullah Ahmad. Pengurus : Haji Marah Muhammad bin Abdul Hamid. Pertua: Haji Sutan Jalaluddin Abubakar. Pembantu-pembantu : Haji Abdul Karim Amrullah Danau (Maninjau, red), S Lembak Tuah, Haji Muhammad Thaib Umar Batusangkar, Sutan Muhammad Salim, Hoofd Jaksa Pensiun (ayahanda Haji Agus Salim). Mereka tergabung dalam sebuah organisasi yang mereka namakan ”Syarikat Ilmu”, syarikat itulah yang jadi badan penerbitnya.
Konten Progresif dan Seruan Pembaruan
Majalah ini terbit dua kali dalam sebulan. Setiap edisi berisi 16 halaman dengan tulisan dalam aksara Jawi. Penggunaan aksara Jawi bertujuan agar masyarakat Minangkabau mudah membacanya. Untuk kontennya sendiri sangat beragam, mulai dari editorial rencana, surat pembaca, hingga rubrik tanya jawab fikih.
Al-Munir juga menyajikan perkembangan dunia Islam secara global. Redaksi sering menerjemahkan artikel dari media terkemuka Timur Tengah sepertiAl ManardanAl Ahram. Melalui tulisan-tulisannya, majalah ini secara konsistensi umat untuk kembali ke ajaran Islam murni. Mereka menentang keras praktik taklid buta, bid’ah, dan khurafat. Kaum Muda menggunakan Al-Munir untuk mendebat isu-isu modern. Contohnya seperti hukum berfoto atau memakai dasi, yang sering mendapat krikikan dari ulama tradisional.
Menurut Masoed Abidin dalam Ensiklopedi Minangkabau, Al-Munir menjadi corong Kaum Muda dalam gelombang pembaruan Islam kedua di Minangkabau. Majalah ini berupaya mengintegrasikan ajaran Islam dengan sains dan rasionalitas modern.
Jangkauan Luas dan Akhir Penerbitan
Al-Munir didistribusikan secara luas melalui 31 agen. Jangkauannya tidak hanya di Sumatera, tetapi juga sampai ke Jawa, Kalimantan, Sulawesi, hingga Semenanjung Malaya. Untuk jaringan pendistribusinya mendapat bantuan dari sisa-sisa jaringan majalah Al-Imam. Oplahnya terbilang besar pada masanya, yakni mencapai 2.000 eksemplar. Pengaruhnya bahkan terasa oleh KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, yang setia membaca.
Sayangnya, perjalanan Al-Munir harus terhenti pada tanggal 31 Januari 1915. Masalah dana menjadi penyebab utamanya. Para pengelola yang merupakan ulama tidak memiliki cukup pengalaman dalam mengelola bisnis media. Pada edisi terakhirnya, redaksi menulis pesan perpisahan yang mengharukan. “Al-Munir tak dapat berlanjut lagi. Namun, kepada pembaca dan masyarakat Islam dianjurkan agar terus menambah ilmunya dengan rajin membaca.”
Meskipun tiada, semangat Al-Munir tidak pernah padam. Kehadirannya memicu lahirnya berbagai media Islam lainnya. Pada tahun 1918, Sumatra Thawalib meluncurkan majalah Al Munir Al Manar. Sekolah Adabiyah juga menerbitkanAl-Akhbar. Kaum Tua pun tidak mau ketinggalan dengan penerbitan majalah tandingan seperti Suluh Malayu dan Al-Mizan.
Syekh Abdullah Ahmad sendiri melanjutkan perjuangannya di dunia pers. Pada tahun 1916, ia bekerja sama dengan HOS Tjokroaminoto untuk membangun majalahAl-Islamdi Surabaya. Al-Munir telah meletakkan fondasi yang kokoh bagi jurnalisme Islam di Indonesia. Ia membuktikan bahwa media bisa menjadi alat yang kuat untuk menyebarkan gagasan, membangun jaringan intelektual, dan mendorong kemajuan umat.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
