Sejarah Sosok
Beranda » Berita » Dari Surau ke Sekolah Modern, Kisah Syekh Abdullah Ahmad Mereformasi Pendidikan Islam

Dari Surau ke Sekolah Modern, Kisah Syekh Abdullah Ahmad Mereformasi Pendidikan Islam

SyekH Abdullah Ahmad ualama pembaharu pendidikan Islam di Indonesia
Syekh Abdullah Ahmad adalah ulama pembaharu dari Minangkabau yang juga memodernisasi pendidikan Islam di Indonesia. ( foto dok. langgam.id)

SURAU.CO. Dalam sejarah perkembangan dunia pendidikan Islam di Indonesia, tidak lepas dari nama tokoh yang satu ini.  Syekh Dr. Abdullah Ahmad adalah sosok monumental dalam perkembangan pemikiran dan pendididikan Islam. Ulama Minangkabau ini bukan sekedar  adalah seorang pendidik visioner, intelektual, dan penulis andal yang meletakkan fondasi penting bagi kemajuan umat. Namanya terukir abadi melalui warisan berharga seperti Perguruan Adabiah dan Persatuan Guru Agama Islam (PGAI), yang masih eksis hingga kini. Pengaruhnya luas, bahkan mendapat pengakuan dunia internasional dengan penganugerahan gelar doktor honoris causa dari Universitas Al-Azhar, Mesir.

Tidak heran peneliti dan intelektual Islam seperti Azyumardi Azra (2004) dalam bukunya The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia  bersama tokoh seperti Syekh Ahmad Khatib, berkontribusi banyak dalam menyebarkan ide-ide pembaruan Islam melalui pendidikan dan organisasi. Syekh Abdullah Ahmad sering disebut sebagai salah satu pelopor pendidikan Islam modern di Indonesia.

Perjalanan Intelektual

Abdullah Ahmad lahir di Padang Panjang pada tahun 1878. Sejak kecil  tumbuh dalam lingkungan agamis dan terpelajar. Ayahnya H. Ahmad adalah  seorang guru surau dan pedagang kain bugis di zamannya. Pendidikan dasar agama ia peroleh langsung dari sang ayahnya sendiri. Selain mengaji, Ahmad kecil  juga menempuh pendidikan formal pada sekolah dasar kelas dua, sebuah lembaga yang Didirikan Pemerintah Hindia Belanda untuk kaum pribumi.

Dorongan untuk menimba ilmu lebih dalam datang dari berbagai pihak. Selain ayahnya, pamannya, Syekh Abdul Halim atau Syekh Gapuak, seorang pengajar di Masjid Raya Gantiang Padang, turut memotivasinya. Pada usia 17 tahun, sebuah perjalanan penting dalam perjalanan Abdullah Ahmad. Pada tahun 1895 berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan belajar ilmu Agama Islam. Adapun yang ditujunya adalah Syekh Ahmad Khatib (Al-Minangkabawi). Selama empat tahun, Abdullah bermukim di Mekkah dan menyerap ilmu dari ulama besar Minangkabau yang mendunia itu. Tercatat Abdullah pernah menjadi asisten Syekh ahmad Khatib. Kenyataan ini merupakan sebuah pengakuan akan intelektulitas dan kecerdasannya dalam ilmu pengetahuan agama.

Gagasan Pembaharuan dan Rintangan Awal

Sekembalinya ke Tanah Air pada tahun 1899, Abdullah Ahmad langsung mengabdikan dirinya untuk mengajar. Awalnya mengajar dari rumahnya, lalu berlanjut ke Surau Jembatan Besi, Padang Panjang.  Kala itu Surau Jembatan Besi masih menggunakan metode halaqah dalam pengajarannya. Dari sini gagasan pembaharuannya mulai terlihat. Abdullah kemudian mengubah sistem belajar tradisional halaqah, di mana murid duduk bersila di sekitar guru, menjadi sistem klasikal. Namun sistem klasikal ini mendapat tantangan dari masyarakat.

KH. Abdullah Umar Al-Hafidz: Sosok Ulama Penjaga Al-Qur’an dari Semarang

Merasa tak mungkin tetap bertahan, Abdullah pindah ke Padang pada 1906. Kebetulan kepindahannya itu bertepatan saat pamannya Syekh Gapuk meninggal dunia. Mulai saat itu Abdullah Ahmad mendapatkan kepercayaan menggantikan pamannya mengajar di Masjid Raya Ganting selama tiga tahun.

Kota padang merupakan kota persemaian gerakan dakwah dan pendidikan Abdullah Ahmad.  Mulailah Abdullah melakukan tablig-tablig dan pertemuan guna membicarakan berbagai masalah agama. Bahkan dirinya memberikan pelajaran kepada kira-kira 300 orang penduduk Kota Padang. Sebagian murid-muridnya terdiri dari orang-orang dewasa. Pengajian ini berlangsung dua kali seminggu secara bergantian dari rumah yang satu ke rumah yang lainnya. Inilah awal perkumpulan Adabiah berdiri.

Pendirian Adabiah: Tonggak Pendidikan Modern

“Abdullah Ahmad mengambil contoh kepada cara yang dilakukan oleh orang Belanda yang telah lama berhasil dalam bidang pendidikan,” tulis Buku “Ensiklopedi Minangkabau”. Cita-cita besar itu terwujud pada tahun 1909 dengan berdirinya sekolah Adabiah. Ini adalah sebuah terobosan. Adabiah menjadi madrasah pertama di Indonesia yang menggunakan sistem kelas, lengkap dengan meja, bangku, dan papan tulis. Awalnya, sekolah ini hanya memiliki 20 orang murid. Kurikulumnya setingkat dengan HIS (Hollandsch-Inlandsche School) Belanda, namun dengan tambahan pelajaran Al-Qur’an dan agama Islam.

Perguruan Adabiah berkembang dengan YSO ADABIAH hingga sekarang. Kata “Adab” sendiri memang menyimpan makna mulia yaitu menciptalam generasi dengan karakter beradab, dalam kandungan akhlaqul karimah. Nama Adabiyah telah dipakai juga dalam Wirid Jamaah Adabiyah yang dibinanya sejak 1906 dikalangan para pedagang Padang.

Sekolah Adabiah menurut peneliian Mahmud Yunus adalah ,adrasah pertama di Minangkabau bahkan di Indonesia. Menurutnya tidak ada madrasah atau sekolah serupa yang didirikan lebih dulu dari Sekolah Adabiah. Dalam perkembangannya pada tahun 1915 sistem pendidikan berubah menjadi HIS Adabiah yang merupakan sekolah umum pertama yang memasukkan pelajaran agama Islam dan Al Qur’an sebagai mata pelajaran wajib dalam kurikulumnya. Inilah yang membedakannya dengan HIS yang didirikan pemerintah Belanda.

Menggali Peran Pemuda dalam Riyadus Shalihin: Menjadi Agen Perubahan Sejati

Peran di Media dan Organisasi Kaum Muda

Jejak perjuangan Abdullah Ahmad juga terekam kuat di dunia jurnalistik dan organisasi. Ia termasuk dalam barisan ulama “Kaum Muda” yang aktif berpolemik dengan “Kaum Tua”, terutama dalam isu-isu seperti tarekat. Bersama tokoh-tokoh sepemikiran seperti Syekh Abdul Karim Amrullah (ayah Buya Hamka), Syekh Djamil Djambek, dan lainnya, membangun dan mengelola majalah Islam Al Munir , Majalah ini terbit antara tahun 1911-1916 dan menjadi media massa Islam pertama di Indonesia. Selain itu Al Munir juga  menjadi corong utama bagi gagasan-gagasan pembaharuan.

Langkah monumental Syekh Abdullah Ahmad tidak berhenti. Pada tahun 1918, bersama para ulama Kaum Muda, Abdullah Ahmad mendirikan Persatuan Guru-Guru Agama Islam (PGAI).Organisasi ini bergerak di bidang pendidikan dan sosial.  Di bawah kepemimpinannya, PGAI berkembang pesat. Organisasi ini mendirikan sekolah dari tingkat dasar hingga menengah, serta panti asuhan. Puncaknya adalah berdirinya Normal Islam di Jati pada tahun 1930, sebuah sekolah modern yang khusus mendidik calon guru agama Islam, lengkap dengan asrama dan laboratorium.

Pengakuan Internasional dan Akhir Hayat

Kiprah dan kedalaman ilmu Syekh Abdullah Ahmad dan Syekh Abdul Karim Amrullah terdengar hingga ke panggung dunia. Pada tahun 1926, keduanya diundang ke Mesir untuk menghadiri Konferensi Khilafah Internasional. Kehadiran mereka menarik perhatian para ulama Universitas Al-Azhar, salah satu pusat keilmuan Islam tertua dan paling bergengsi di dunia,

Sebagai pengakuan atas keahlian mereka dalam ilmu Islam, Universitas Al-Azhar menganugerahkan gelar doktor honoris causa kepada keduanya. Sejak saat itu, gelar doktor melekat pada nama mereka, sebuah pengakuan bagi dunia Islam di Indonesia. Syekh Dr. Abdullah Ahmad wafat pada bulan November 1933 dalam usia 55 tahun. Meski usianya relatif singkat, ia telah mewariskan karya dan pemikiran yang dampaknya terasa hingga hari ini. Ia adalah seorang pendidik sejati yang fokus pada modernisasi pendidikan tanpa terjun ke politik praktis, menjadikannya tokoh pendidikan Islam yang murni dan visioner. Ia menutupnya dengan pernyataan yang kuat tentang tanggung jawab kolektif untuk menghentikan predator di dunia pendidikan.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement