SURAU.CO – Pandemi yang terjadi di zaman modern seringkali menimbulkan pertanyaan besar. Salah satunya adalah mengenai pelaksanaan ibadah di rumah ibadah. Sebagian orang mungkin menganggap kebijakan penyesuaian ibadah sebagai hal baru. Padahal, sejarah peradaban Islam telah mencatat berbagai peristiwa wabah besar. Umat Islam di masa lalu juga menghadapi tantangan serupa.
Memahami bagaimana para ulama dan pemimpin menyikapi wabah adalah hal penting. Ini memberikan kita perspektif yang luas. Sejarah membuktikan bahwa prinsip menjaga jiwa (hifdzun nafs) selalu menjadi prioritas utama. Tujuannya agar kita tidak salah dalam bersikap saat ujian kesehatan melanda.
Tha’un Amwas: Ujian Wabah Pertama bagi Umat
Jauh sebelum dunia mengenal istilah pandemi global, umat Islam telah menghadapi wabah dahsyat. Peristiwa ini dikenal sebagai Tha’un Amwas. Wabah pes ini terjadi pada tahun 18 Hijriyah. Tepatnya pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Wilayah Syam (kini mencakup Suriah, Palestina, Yordania) menjadi pusat penyebarannya.
Wabah ini merenggut nyawa puluhan ribu kaum Muslimin. Bahkan, banyak sahabat Nabi yang mulia wafat saat itu. Di antaranya adalah Abu Ubaidah bin Jarrah dan Mu’adz bin Jabal. Saat itu, Khalifah Umar menunjukkan sikap kepemimpinan yang luar biasa. Beliau menerapkan prinsip karantina berdasarkan sabda Nabi ﷺ. Beliau memutuskan untuk tidak memasuki wilayah Syam yang sedang terjangkit wabah.
Sikap ini menjadi fondasi penting dalam fiqih Islam terkait wabah. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Apabila kalian mendengar wabah tha’un di suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Dan apabila wabah itu berjangkit di negeri kalian, maka janganlah kalian keluar darinya.” (HR. Bukhari & Muslim).
Hadis ini secara jelas mengajarkan konsep isolasi wilayah. Tujuannya adalah untuk mencegah penyebaran penyakit lebih luas lagi.
Kondisi Masjid Saat Wabah Meluas
Lalu, bagaimana dengan kondisi masjid dan shalat berjamaah? Sejarah mencatat berbagai respons dari para ulama dan masyarakat saat itu. Tidak ada catatan yang menyebutkan penutupan masjid secara serempak dan terpusat seperti di era modern. Hal ini wajar, mengingat sistem komunikasi dan pemerintahan saat itu berbeda.
Namun, banyak bukti sejarah yang menunjukkan bahwa aktivitas di masjid menurun drastis. Bahkan, beberapa masjid sampai kosong total. Ini bukan karena adanya fatwa larangan universal. Akan tetapi, lebih disebabkan oleh kondisi nyata di lapangan. Wabah menyebar begitu cepat dan mematikan. Banyak orang memilih untuk tinggal di rumah demi keselamatan. Banyak juga yang sudah meninggal dunia.
Sejarawan besar seperti Ibn Hajar al-Asqalani menulis kitab khusus tentang wabah. Beliau adalah saksi mata wabah besar yang melanda Mesir pada abad ke-9 Hijriyah. Beliau menceritakan betapa dahsyatnya kondisi saat itu.
Imam Adz-Dzahabi, seorang ulama dan sejarawan besar, juga memberikan kesaksian. Ia hidup pada masa wabah besar tahun 749 Hijriyah. Ia menggambarkan kondisi di Damaskus:
“Akibat wabah ini, banyak masjid menjadi kosong, tidak ada yang shalat jamaah di dalamnya.”
Kesaksian ini menunjukkan bahwa pengosongan masjid saat wabah adalah sebuah realitas sejarah. Hal itu terjadi secara alami karena rasa takut dan banyaknya korban jiwa.
Fatwa Ulama: Antara Ibadah dan Menjaga Jiwa
Para ulama di masa lalu juga membahas hukum shalat berjamaah saat wabah. Mayoritas ulama memberikan keringanan (rukhsah) untuk tidak melaksanakan shalat jamaah atau shalat Jumat jika ada uzur yang dibenarkan syariat (uzur syar’i). Rasa takut terhadap penyakit yang membahayakan nyawa termasuk dalam kategori uzur tersebut.
Imam an-Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu’ menjelaskan beberapa uzur. Salah satunya adalah rasa takut (khauf). Beliau berkata:
“Uzur yang membolehkan meninggalkan shalat jamaah ada dua jenis… Jenis kedua adalah uzur yang bersifat umum, seperti hujan lebat, angin kencang di malam yang gelap, atau adanya wabah penyakit.”
Ini menunjukkan bahwa para ulama fikih telah memahami fleksibilitas syariat. Keselamatan jiwa harus didahulukan. Beribadah di rumah saat kondisi darurat tidak mengurangi nilai keimanan seseorang.
Hikmah Besar di Balik Musibah
Islam juga memberikan kabar gembira bagi mereka yang bersabar menghadapi wabah. Rasulullah ﷺ menyebutkan bahwa orang yang meninggal karena wabah tha’un mendapatkan pahala syahid akhirat. Hadis dari Aisyah radhiyallahu ‘anha menjelaskan hal ini dengan sangat indah. Beliau bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang tha’un. Nabi ﷺ menjawab:
“Dahulu tha’un adalah azab yang Allah kirimkan kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Kemudian Allah menjadikannya sebagai rahmat bagi kaum mukminin. Tidaklah seorang hamba yang tinggal di negerinya ketika terjadi wabah, ia bersabar dan mengharap pahala, ia yakin tidak ada yang menimpanya kecuali takdir Allah, maka ia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mati syahid.” (HR. Bukhari).
Hadis ini memberikan ketenangan. Bertahan di rumah selama wabah adalah bentuk ketaatan. Itu adalah wujud kesabaran yang berbuah pahala besar.
Sejarah mengajarkan kita banyak hal. Menghadapi wabah dengan ilmu dan kesabaran adalah kunci. Syariat Islam sangat fleksibel dan selalu mengutamakan keselamatan umatnya.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
