SURAU.CO – Di tengah derasnya arus zaman yang sering mengikis nilai-nilai spiritual dan persahabatan, umat Islam dihadapkan pada tantangan besar: bagaimana menjaga benang iman tetap kuat terjalin, sekaligus menyebarkan jalinan persatuan untuk membangun negeri? Oleh karena itu, pentingnya dakwah yang bukan hanya membina pribadi-pribadi yang taat, tetapi juga membentuk warga negara yang tangguh, amanah, dan berkontribusi bagi bangsanya menjadi sangat krusial.
Iman: Fondasi Kehidupan dan Persatuan
Pertama-tama, kita perlu menyadari bahwa iman bukan sekadar pengakuan dalam lisan, tetapi energi ruhani yang mampu membentuk akhlak, cara berpikir, dan tindakan seseorang. Rasulullah ﷺ membangun peradaban Islam pertama di Madinah bukan dengan kekuatan senjata, tapi dengan kekuatan iman yang terpatri dalam hati para sahabat. Dari iman itulah lahirnya kejujuran, solidaritas, keadilan, dan kerja sama.
Allah ﷻ berfirman:
“إنما المؤمنون إخوة فأصلحوا بين أخويكم واتقوا الله لعلكم ترحمون” (الحجرات: ١٠)”
“Sejujurnya orang-orang mukmin itu bersaudara, maka damaikanlah antara kedua saudaramu itu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujurat : 10)
Ayat ini menegaskan bahwa iman melahirkan ukhuwah. Selanjutnya dari ukhuwah tumbuhlah persatuan. Dan dari persatuan, terbentuklah kekuatan umat dan kejayaan bangsa.
Dakwah yang Membumi, Iman yang Mengakar
Untuk itulah, dakwah harus membumi dan mampu menyentuh kehidupan nyata masyarakat. Dakwah bukan hanya tugas para ustaz di mimbar, tapi panggilan hati setiap muslim. Kita perlu membumikan dakwah agar menyentuh akar-akar kehidupan masyarakat—di pasar, sekolah, kantor, bahkan media sosial. Dakwah harus hadir sebagai suluh yang berakhir, bukan memvonis. Sebagai perekat, bukan pemecah.
Melalui dakwah yang hikmah, iman ditanamkan, dijaga, dan dikuatkan. Dengan demikian, akan tumbuh generasi yang tidak hanya hafal ayat, namun juga menjunjung tinggi nilai kejujuran, disiplin, kasih sayang, dan cinta tanah air sebagai bagian dari keimanan.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“من لا يحب لن يُحَبَّ” (رواه البخاري ومسلم)”
“Barangsiapa tidak menyayangi, maka ia tidak akan disayangi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Bayangkan, jika kasih sayang ini meresap ke seluruh masyarakat , tak ada korupsi, tak ada fitnah, tak ada perpecahan. Alhasil, negeri pun tenteram, adil, dan makmur.
Iman dan Cinta Tanah Air
Lebih lanjutnya, cinta tanah air bukan hal yang dibandingkan dengan agama. Dalam Islam, tanah air bukan sekedar tempat tinggal, tapi amanah yang harus dijaga. Rasulullah ﷺ sendiri menunjukkan kecintaannya yang mendalam kepada Makkah dan Madinah. Ketika beliau hijrah, beliau berdoa agar kota yang ditinggalkannya tetap berkahi, dan kota yang dituju diberi ketenangan.
Dalam konteks Indonesia, mencintai negeri berarti menjaga kebhinekaan, menjunjung toleransi, dan aktif membangun peradaban. Oleh karena itu, dakwah hendaknya tidak hanya mengajak manusia shalat dan puasa, tetapi juga mengajak umat untuk menjadi warga negara yang cinta damai, taat hukum, dan peduli sesama.
Merajut Negeri Lewat Perbuatan
Akhirnya, kita harus menyadari bahwa konflik negeri bukan pekerjaan para pemimpin saja . Ia adalah tanggung jawab kita semua. Mungkin kita bukan pejabat, bukan tokoh besar, tapi kita bisa mulai dari hal kecil: jujur dalam berdagang, adil dalam memimpin keluarga, tidak menyebarkan hoaks, menyapa tetangga dengan senyuman, dan mendoakan negeri dalam sujud malam kita.
Ketika iman hadir dalam tindakan, maka negeri pun terasa damai. Ketika setiap Muslim sadar bahwa akhlaknya adalah cerminan agamanya, maka masyarakat akan memandang Islam sebagai rahmat, bukan ancaman. Oleh karena itu, marilah kita semua—para da’i, guru, orang tua, pemuda, dan pelajar—menjadikan dakwah sebagai jalan cerminan iman. Lalu dari iman itu, kita bersama-sama menjahit harapan, mengirimkan masa depan, dan membangun negeri yang dirahmati Allah ﷻ.
Merajut iman bukan sekadar ibadah pribadi. Ia adalah jalan kolektif menuju negeri yang penuh berkah dan cinta.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
