Opinion
Beranda » Berita » Menjadi Pemuda Halim: Belajar Kepatuhan dari Nabi Ismail AS

Menjadi Pemuda Halim: Belajar Kepatuhan dari Nabi Ismail AS

Memaknai Sifat Halim

SURAU.CO – Masa muda adalah fase yang identik dengan kekuatan dan semangat. Akan tetapi, energi yang meluap tersebut seringkali tidak diimbangi dengan kedewasaan mental. Akibatnya, banyak pemuda mudah terpancing emosi dan sulit mengendalikan diri. Untuk itu, Islam memberikan kita sebuah teladan sempurna melalui sosok Nabi Ismail AS. Allah SWT bahkan mengabadikan pujian untuknya di dalam Al-Qur’an. Ia adalah seorang pemuda yang dianugerahi sifat ḥalīm, sebuah kunci ketangguhan karakter dalam menghadapi ujian terberat.

Dialog Agung yang Menggetarkan Jiwa

Kisah monumental Nabi Ismail AS bermula dari sebuah perintah Ilahi. Perintah ini turun kepada ayahnya, Nabi Ibrahim AS, melalui sebuah mimpi. Dalam mimpi tersebut, Nabi Ibrahim melihat dirinya menyembelih putra kesayangannya. Tentu saja, mimpi seorang nabi bukanlah bunga tidur biasa, melainkan wahyu yang harus dilaksanakan. Tidak diragukan lagi, ini adalah ujian keimanan yang luar biasa berat bagi seorang ayah.

Meskipun demikian, Nabi Ibrahim tidak langsung bertindak secara otoriter. Beliau justru memilih jalan komunikasi yang penuh hikmah dan kelembutan. Pertama-tama, ia memanggil Ismail, yang saat itu sedang beranjak remaja. Dengan hati-hati, ia kemudian menyampaikan perintah Allah tersebut. Dialog abadi di antara keduanya pun terekam dalam Surah Ash-Shaffat ayat 102:

“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!”

Coba kita renungkan sejenak posisi Ismail saat itu. Ia mendengar sebuah permintaan yang paling tidak masuk akal dari ayahnya. Namun, reaksinya menunjukkan kualitas jiwa yang sangat agung. Tidak ada pemberontakan, drama, ataupun amarah. Sebaliknya, dengan tenang dan penuh keyakinan, ia memberikan jawaban yang menggetarkan:

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”

Pada hakikatnya, jawaban ini adalah puncak dari kepatuhan dan kesabaran. Jawaban inilah manifestasi sejati dari sifat ḥalīm.

Memahami Makna Sejati dari Sifat Ḥalīm

Lalu, apa sebenarnya sifat ḥalīm itu? Kata ini sering diterjemahkan sebagai penyantun atau sabar. Akan tetapi, maknanya jauh lebih dalam dari itu. Ḥalīm adalah kemampuan untuk mengendalikan gejolak emosi saat ada alasan kuat untuk marah. Sifat ini merupakan ketenangan jiwa yang lahir dari kebijaksanaan mendalam. Dengan demikian, orang yang ḥalīm tidak akan gegabah dalam mengambil keputusan. Ia akan berpikir jernih bahkan di bawah tekanan terberat sekalipun.

Nabi Ismail menunjukkan sifat ini dengan begitu sempurna. Ia tidak panik ataupun mempertanyakan cinta ayahnya. Ia juga tidak menggugat keadilan Tuhannya. Sebaliknya, ia langsung memahami bahwa ini adalah perintah mutlak dari Allah. Ia bahkan menguatkan hati ayahnya dan menyerahkan dirinya dengan penuh keikhlasan. Inilah kekuatan karakter yang sesungguhnya. Sebuah kekuatan yang tidak timbul dari otot, melainkan dari hati yang tunduk patuh pada Sang Pencipta.

Rangkaian Pelajaran bagi Pemuda Masa Kini

Kisah agung ini bukanlah sekadar cerita pengantar tidur. Di dalamnya, terkandung pelajaran yang sangat relevan bagi para pemuda hari ini.

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

  1. Mendahulukan Perintah Allah. Ismail mengajarkan kita untuk menempatkan perintah Allah di atas segalanya, bahkan di atas nyawanya sendiri. Hal ini menjadi cerminan bagi kita. Sudahkah kita rela mengorbankan waktu nyaman untuk beribadah?

  2. Berbakti kepada Orang Tua. Kepatuhan Ismail adalah wujud bakti terbaik. Selama perintah orang tua tidak melanggar syariat, menaatinya adalah sebuah keharusan. Oleh karena itu, dialog yang baik menjadi kuncinya.

  3. Ketenangan dalam Masalah. Sifat ḥalīm adalah bekal utama untuk menghadapi masalah. Jangan bersikap reaktif. Sebaliknya, ambil waktu untuk berpikir dan mencari solusi dengan kepala dingin.

  4. Keyakinan pada Janji Allah. Ismail yakin bahwa kesabarannya akan berbuah kebaikan. Keyakinan inilah yang membuatnya tenang. Benar saja, Allah menggantikan Ismail dengan seekor domba besar sebagai tebusan.

Ḥalīm Adalah Kekuatan 

Menjadi pemuda ḥalīm bukanlah berarti menjadi pribadi yang lemah atau penakut. Justru, sifat ini adalah tanda kekuatan jiwa yang luar biasa. Ia adalah kemampuan untuk tetap tegak di saat badai kehidupan menerpa dengan dahsyat. Nabi Ismail AS telah memberikan teladan terbaik bagi kita semua. Semoga para pemuda Islam dapat meneladani akhlak mulianya, sehingga menjadi pribadi tangguh, bijaksana, dan dicintai oleh Allah SWT.

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement