Khazanah
Beranda » Berita » Kedudukan Mulia Bertani dalam Islam: Ibadah, Sedekah, dan Jihad Hijau

Kedudukan Mulia Bertani dalam Islam: Ibadah, Sedekah, dan Jihad Hijau

Pertanian

Islam memandang setiap pekerjaan sebagai hal mulia. Selama pekerjaan itu halal dan bermanfaat. Salah satu profesi yang mendapat perhatian khusus adalah bertani. Aktivitas ini bukan sekadar cara mencari nafkah. Kedudukan bertani dalam Islam sangatlah istimewa. Ia mencakup dimensi ibadah, kontribusi sosial, hingga perjuangan ekologis. Agama kita mendorong umatnya untuk aktif mengolah lahan. Hal ini membawa kebaikan bagi diri sendiri dan lingkungan.

Bertani sebagai Bentuk Ibadah dan Sedekah Jariyah

Banyak orang menganggap bertani sebatas pekerjaan fisik. Namun, Islam mengangkatnya menjadi sebuah ibadah. Setiap benih yang ditanam memiliki nilai pahala. Setiap tanaman yang tumbuh menjadi sumber kebaikan. Rasulullah SAW menegaskan hal ini dalam sebuah hadits. Beliau menjelaskan ganjaran besar bagi para petani.

Rasulullah SAW bersabda:
Tak seorang pun muslim yang menanam pohon atau menabur benih, lalu tanaman itu dimakan oleh burung, manusia, atau binatang, kecuali itu menjadi sedekah baginya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadits ini memberikan perspektif yang luar biasa. Seorang petani tidak hanya memanen hasil bumi. Ia juga memanen pahala yang terus mengalir. Apa pun yang memakan hasil tanamannya akan dihitung sebagai sedekah. Baik itu burung yang singgah, hewan ternak, atau bahkan manusia. Pahala ini terus berlanjut tanpa henti. Ini adalah bentuk sedekah jariyah. Amalannya terus memberikan manfaat meski petani itu telah tiada.

Bahkan, dalam kondisi yang lebih unik, pahala tetap tercatat. Jika hasil panen dicuri, sang penanam tetap mendapat ganjaran. Kebaikan dari niat dan usahanya tidak akan hilang. Rasulullah SAW bersabda:

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Jangkauan pahala ini bahkan ditegaskan lebih luas lagi. Ganjaran kebaikan tidak hanya berhenti saat panen. Islam menjamin pahala itu akan terus mengalir abadi hingga hari kiamat. Lebih menakjubkan lagi, kebaikan itu tetap tercatat sempurna bahkan jika hasil tanamannya dicuri atau dirusak oleh orang lain. Ini menunjukkan bahwa niat dan usaha tulus dalam bertani selalu dihargai di sisi Allah SWT.”

Pesan ini sangat jelas. Aktivitas bertani adalah ladang amal yang subur. Seorang petani yang mencurahkan keringat dan usahanya akan meraih nilai ibadah di sisi Allah SWT..

Dimensi Sosial: Memenuhi Kebutuhan Pangan Umat

Seorang petani memiliki peran sosial yang sangat vital. Ia berdiri di garda terdepan ketahanan pangan. Usahanya memastikan makanan tersedia di meja banyak orang. Tanpa petani, masyarakat akan kesulitan memenuhi kebutuhan pokok. Oleh karena itu, profesi ini menjadi sebuah fardhu kifayah. Artinya, ini adalah kewajiban kolektif yang harus ada dalam suatu komunitas.

Ketika petani bekerja, ia tidak hanya menafkahi keluarganya. Ia juga menopang kehidupan masyarakat luas. Setiap bulir padi yang ia tanam menjadi sumber energi bagi orang lain. Setiap buah yang ia petik memberikan nutrisi bagi sesama. Kontribusi ini menjadikan pekerjaannya sebagai ibadah sosial. Ia menjadi perantara rezeki Allah bagi banyak makhluk. Ini adalah wujud nyata dari konsep khoirunnas anfa’uhum linnas (sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain).

Jihad Ekologis: Merawat Bumi sebagai Khalifah

Di era modern, dunia menghadapi krisis lingkungan. Pemanasan global, polusi udara, dan kerusakan tanah menjadi ancaman nyata. Di sinilah peran petani menjadi semakin krusial, melampaui sekadar urusan pangan. Dalam konteks inilah, bertani menjadi sebuah “jihad ekologis”. Jihad di sini berarti perjuangan sungguh-sungguh untuk kebaikan. Petani berjuang merawat dan menghijaukan bumi.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Ketika petani menanam pohon, ia membantu proses penyerapan karbon dioksida. Tanaman juga menghasilkan oksigen yang kita hirup. Akar-akarnya menahan tanah dari erosi dan banjir. Lahan pertanian yang terawat baik menjaga keseimbangan ekosistem. Ini selaras dengan tugas manusia sebagai khalifah fil ardh atau penjaga di muka bumi. Allah SWT menciptakan alam untuk dimanfaatkan dengan bijak, bukan untuk dirusak.

Dengan bertani, seorang muslim secara aktif menjalankan amanah tersebut. Ia tidak hanya mengambil manfaat dari alam. Ia juga memberi kembali dengan merawat dan melestarikannya. Ini adalah bentuk jihad hijau yang sangat relevan dengan tantangan zaman.

Kesimpulannya, kedudukan bertani dalam Islam jauh melampaui urusan ekonomi. Ia adalah ibadah yang mendatangkan pahala berkelanjutan. Ia adalah tugas sosial mulia untuk menyediakan pangan. Ia juga merupakan jihad ekologis untuk menjaga kelestarian planet kita. Melihatnya dari sudut pandang ini, bertani adalah jalan komprehensif untuk meraih kebaikan dunia dan akhirat.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement