Istilah sleep divorce kini semakin populer. Fenomena ini merujuk pada pasangan suami istri yang memilih tidur terpisah. Mereka bisa tidur di kamar berbeda atau ranjang terpisah. Namun, hubungan mereka tetap berjalan sebagai pasangan. Keputusan ini sering kali bukan karena pertengkaran. Alasan praktis menjadi pemicu utamanya.
Banyak pasangan memilih tidur terpisah untuk meningkatkan kualitas tidur mereka. Berbagai alasan praktis mendorong keputusan ini. Beberapa pasangan melakukannya karena salah satunya mendengkur keras. Pasangan lain juga menjalaninya karena jadwal kerja atau pola tidur yang berbeda. Bahkan, beberapa orang tua memilihnya agar lebih fokus merawat anak di malam hari. Lalu, bagaimana Islam memandang fenomena ini? Apakah sleep divorce memiliki makna yang sama dengan konsep pisah ranjang dalam fikih?”
Artikel ini akan mengupas tuntas hukum sleep divorce dalam Islam. Kita akan membedakannya dengan konsep hajr yang dikenal dalam syariat.
Pisah Ranjang dalam Konteks Fikih Islam
Islam sebenarnya telah mengenal konsep pisah ranjang. Fikih Islam menamai istilah ini hajr fil madhaji’. Namun, praktik ini memiliki tujuan yang sangat spesifik. Islam menetapkan praktik ini sebagai salah satu langkah untuk mendisiplinkan istri yang melakukan nusyuz atau pembangkangan. Allah SWT menjelaskan hal ini dalam firman-Nya di Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 34
Ayat tersebut menjelaskan tiga tahapan dalam menghadapi istri yang dikhawatirkan berbuat nusyuz. Pertama, memberinya nasihat. Kedua, pisah ranjang (hajr). Ketiga, memukul dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Hajr di sini bukanlah sekadar tidur terpisah tanpa sebab. Ia adalah tindakan yang memiliki tujuan edukatif. Tujuannya adalah untuk memperbaiki hubungan dan mengembalikan keharmonisan.
Makna Hajr Menurut Pandangan Ulama
Para ulama memberikan penjelasan detail mengenai makna hajr. Mereka menekankan bahwa esensi hajr adalah sebagai bentuk “protes” suami. Tujuannya agar istri menyadari kesalahannya.
Imam An-Nawawi dalam kitabnya Raudhatut Thalibin menjelaskan makna hajr. Menurutnya, pisah ranjang memiliki beberapa cara.
“Cara dalam ‘meninggalkan mereka di tempat tidur’ (pisah ranjang) ada beberapa pendapat. Pendapat pertama, ia tidak mengajak bicara istrinya, dan membelakanginya dengan punggungnya saat di tempat tidur. Pendapat kedua, ia tidak menyetubuhi istrinya. Pendapat ketiga, ia tidak tidur satu ranjang dengannya.”
Sementara itu, Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu memberikan perspektif lain. Beliau menjelaskan bahwa hajr tidak harus berarti pindah kamar. Suami tetap bisa tidur seranjang dengan istrinya. Namun, ia menunjukkan sikap tidak senang.
“Maksud dari pisah ranjang adalah suami tidak mengajak bicara istrinya, tidak menyetubuhinya, dan membelakanginya dengan punggungnya saat tidur, serta tidak tidur dalam satu selimut. Pisah ranjang ini tetap dilakukan dalam satu rumah, bukan meninggalkan rumah.”
Dari penjelasan kedua ulama, kita bisa melihat dua poin penting. Pertama, hajr adalah tindakan reaktif atas nusyuz. Kedua, tujuannya adalah perbaikan, bukan perpisahan.
Hukum Sleep Divorce: Kunci Ada pada Niat dan Kesepakatan
Sekarang, mari kita kembali ke fenomena sleep divorce. Hukumnya sangat bergantung pada niat dan kondisi yang melatarinya. Ada perbedaan besar antara sleep divorce modern dengan hajr dalam fikih.
1. Berdasarkan Kesepakatan dan Alasan yang Dibenarkan
Jika suami dan istri sepakat tidur terpisah, hukumnya adalah mubah (boleh). Kesepakatan ini harus didasari oleh alasan yang dapat diterima (‘udzur syar’i). Misalnya, untuk menjaga kualitas tidur, karena jadwal kerja yang berbeda, atau salah satu sedang sakit. Dalam kondisi ini, tidak ada unsur menghukum atau menunjukkan kemarahan. Hubungan komunikasi dan batin tetap terjaga baik. Tujuan utamanya adalah kemaslahatan bersama.
2. Sebagai Bentuk Kemarahan atau Tanpa Izin
Situasi menjadi berbeda jika salah satu pihak tidur terpisah karena marah. Apalagi jika dilakukan tanpa komunikasi dan kesepakatan. Jika suami melakukannya sebagai bentuk hukuman tanpa adanya nusyuz dari istri, maka ia telah mengabaikan hak istri. Sebaliknya, jika istri melakukannya tanpa izin suami, syariat menganggap ia tidak memenuhi kewajibannya.
Jika sleep divorce menjadi tanda adanya masalah komunikasi atau keretakan hubungan, maka ini adalah alarm. Pasangan harus segera mencari solusi. Mengabaikan masalah ini hanya akan memperlebar jarak emosional. Pada akhirnya, hal ini dapat mengancam keutuhan rumah tangga.
Kesimpulan: Komunikasi adalah Fondasi Utama
Kesimpulannya, sleep divorce tidak bisa dihukumi secara tunggal. Jika suami dan istri sepakat melakukannya untuk kemaslahatan bersama, maka hukumnya menjadi boleh. Praktik ini tidak termasuk dalam kategori hajr yang bersifat mendisiplinkan.
Namun, jika tidur terpisah menjadi cara untuk lari dari masalah, ini adalah pertanda buruk. Pernikahan dalam Islam dibangun di atas pilar sakinah (ketenangan), mawaddah (cinta), dan rahmah (kasih sayang). Menjaga kedekatan fisik dan emosional adalah bagian penting untuk merawat pilar-pilar tersebut.
Oleh karena itu, komunikasi yang terbuka menjadi kunci. Bicarakan alasan dan perasaan masing-masing. Jika sleep divorce adalah pilihan terbaik untuk kenyamanan, pastikan itu tidak mengurangi kehangatan dan keintiman dalam hubungan Anda.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
