Opinion
Beranda » Berita » Menjaga Iman: Menjadi Muslim di Tengah Dunia yang Tergila-gila Popularitas

Menjaga Iman: Menjadi Muslim di Tengah Dunia yang Tergila-gila Popularitas

Ilustrasi Pesatnya Dunia Digital Modern

SURAU.CO – Dunia modern kini menawarkan sebuah panggung raksasa. Panggung itu bernama media sosial. Di sana, semua orang bisa tampil. Akibatnya, semua orang berlomba mencari perhatian. Angka likes, followers, dan shares pun menjadi tolok ukur baru kesuksesan. Fenomena ini jelas menciptakan budaya mengejar popularitas. Lantas, bagaimana seorang Muslim menavigasi dunia ini? Tentunya, tantangan ini nyata dan terasa berat, terutama bagi generasi muda.

Godaan Popularitas di Era Digital

Media sosial memang memiliki kekuatan luar biasa. Berbagai platform seperti Instagram, TikTok, dan X (Twitter) mendorong kita untuk terus berbagi. Kita membagikan momen terbaik dalam hidup. Selain itu, kita juga menunjukkan pencapaian kita kepada dunia. Secara naluriah, manusia memang menyukai pengakuan. Oleh karena itu, kita merasa senang saat karya atau penampilan kita mendapat penghargaan. Godaan ini menjadi semakin kuat di dunia digital.

Akan tetapi, di sinilah letak jebakan pertamanya. Mengejar popularitas sering kali dapat menggeser niat tulus. Seseorang mungkin mulai melakukan sesuatu bukan lagi karena Allah. Sebaliknya, ia melakukannya demi pujian manusia. Keinginan untuk viral bisa menodai tindakan yang awalnya baik. Inilah yang dalam Islam kita kenal sebagai riya’ atau pamer. Sebuah penyakit hati yang tentu saja menggerogoti pahala amal.

Seorang pendakwah pernah mengingatkan, “Popularitas itu seperti air laut. Semakin kau meminumnya, semakin kau merasa haus.” Kutipan ini sangat relevan dengan kondisi sekarang. Sebab, hasrat untuk terkenal tidak akan pernah ada habisnya. Selalu ada target baru yang ingin kita capai. Oleh karena itu, seorang Muslim harus memiliki pondasi iman yang kokoh untuk menghadapinya.

Mengembalikan Kompas Niat kepada Allah

Pada dasarnya, Islam mengajarkan sebuah prinsip fundamental. Prinsip itu adalah ikhlas. Artinya, kita melakukan segala sesuatu semata-mata untuk Allah. Bukan untuk ketenaran. Juga bukan untuk validasi dari orang lain. Jumlah pengikut di dunia maya tidak mengukur nilai sejati seorang hamba. Sebaliknya, tingkat ketakwaannya di hadapan Sang Pencipta yang menjadi ukuran utama.

Hidup Lambat (Slow Living) ala Rasulullah: Menemukan Ketenangan di Kitab Nawawi

Dengan demikian, seorang Muslim perlu terus mengevaluasi dirinya sendiri. Mengapa saya mengunggah konten ini? Apakah untuk menyebarkan kebaikan? Ataukah hanya untuk memuaskan ego pribadi? Evaluasi niat menjadi kunci utama dalam setiap tindakan. Hal ini membantu kita menjaga kemurnian ibadah dan aktivitas sehari-hari.

Menjaga niat memang bukanlah perkara mudah. Godaan untuk pamer akan selalu mengintai. Namun, kita bisa terus melatihnya. Misalnya, mulailah dengan amalan-amalan yang tersembunyi. Lakukan amalan yang hanya kita dan Allah saja yang tahu, seperti sedekah diam-diam atau shalat malam di keheningan. Latihan semacam ini jelas akan memperkuat keikhlasan kita.

Media Sosial sebagai Ladang Dakwah, Bukan Ajang Pamer

Meskipun penuh tantangan, kita tidak harus menghindari media sosial sepenuhnya. Justru sebaliknya, platform digital bisa menjadi sarana dakwah yang sangat efektif. Kita dapat menggunakan akun kita untuk berbagi ilmu yang bermanfaat. Di samping itu, kita bisa menyebarkan pesan-pesan positif. Lebih lanjut, kita juga dapat membangun komunitas yang saling mendukung dalam kebaikan.

 “Gunakan jarimu untuk sesuatu yang akan menjadi saksi kebaikanmu di akhirat kelak, bukan saksi keburukanmu.” Pernyataan ini sungguh menjadi pengingat yang kuat. Sebab, setiap unggahan adalah jejak digital. Allah akan mencatat jejak ini dan kita akan mempertanggungjawabkannya kelak.

Oleh karena itu, mari kita ubah fokus kita. Alih-alih mengejar popularitas pribadi, mari kita fokus menyebarkan manfaat. Buatlah konten yang menginspirasi banyak orang. Bagikan kutipan Al-Qur’an atau hadis yang menenangkan jiwa. Tunjukkan pula keindahan akhlak Islam melalui interaksi yang santun. Dengan cara ini, media sosial pun berubah dari panggung pamer menjadi ladang pahala.

Riyadus Shalihin dan Fenomena FOMO: Mengapa Kita Takut Tertinggal?

Langkah Praktis Menjadi Muslim Autentik

Menjadi Muslim di tengah arus popularitas tentu membutuhkan strategi yang cerdas. Berikut beberapa langkah praktis yang bisa kita terapkan dalam kehidupan.

Pertama, luruskan kembali niat sebelum mengunggah sesuatu. Tanyakan pada diri sendiri, “Apakah ini bermanfaat dan Allah meridhainya?”

Kedua, batasi waktu di media sosial. Terlalu lama berselancar dapat membuat kita mudah membandingkan diri dengan orang lain. Akibatnya, perasaan iri dan tidak puas pun mudah muncul.

Ketiga, ikuti akun-akun yang memberikan pengaruh positif. Pilihlah panutan yang menginspirasi kita untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Kemudian, hindari konten yang hanya mempromosikan gaya hidup hedonis dan pamer.

Keempat, perkuat hubungan di dunia nyata. Sebab, interaksi tatap muka dengan keluarga, sahabat, dan komunitas pengajian jauh lebih bernilai. Ukhuwah yang nyata akan menjadi benteng pertahanan iman kita.

Urgensi Riyadhus Shalihin sebagai Pondasi Utama Pendidikan Karakter Bangsa

Pada akhirnya, popularitas di mata manusia bersifat fana. Ia bisa datang dan pergi secepat kilat. Akan tetapi, kemuliaan di sisi Allah adalah abadi. Setiap Muslim harus memperjuangkan tujuan sejati itu. Mari kita menjadi hamba yang sibuk memperbaiki hubungan dengan Allah, bukan sibuk mencari pengakuan dari makhluk-Nya.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement