SURAU.CO – Memilih pasangan hidup merupakan salah satu keputusan terpenting dalam perjalanan manusia. Akan tetapi, banyak orang masih mempertimbangkan kesetaraan status sosial atau kekayaan sebagai tolok ukur utama. Islam, sebagai panduan hidup, justru menawarkan perspektif yang lebih mendalam dan abadi. Salah satu pelajaran paling berharga datang dari kisah Fatimah binti Qais. Melalui nasihatnya, Nabi Muhammad ﷺ mengajarkan sebuah prinsip fundamental. Beliau menekankan bahwa ketaatan serta akhlak mulia melampaui standar duniawi. Sebab, kebahagiaan sejati dalam pernikahan tidak lahir dari harta atau kedudukan. Sebaliknya, ia tumbuh subur dari kepatuhan tulus kepada Allah dan Rasul-Nya.
Nasihat Berharga Rasulullah ﷺ untuk Fatimah binti Qais
Kisah ini bermula setelah Fatimah binti Qais menyelesaikan masa iddahnya. Suaminya baru saja mentalaknya tiga kali. Dengan berakhirnya masa iddah, ia pun berhak menerima pinangan baru. Tak lama kemudian, kabar tentangnya sampai kepada beberapa sahabat. Dua pria terkemuka, yaitu Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm, segera datang melamarnya. Keduanya memiliki posisi terpandang di kalangan masyarakat Quraisy. Meskipun demikian, Fatimah tidak gegabah dalam mengambil keputusan. Ia justru mencari petunjuk terbaik dengan mendatangi langsung Rasulullah ﷺ untuk meminta nasihat.
Dengan penuh kejujuran, Rasulullah ﷺ memberikan pandangannya. Beliau tidak menutupi kekurangan kedua calon tersebut demi kebaikan Fatimah. Mengenai Mu’awiyah, Beliau menjelaskan, “Adapun Mu’awiyah itu miskin, tidak punya banyak harta.” Selanjutnya, mengenai Abu Jahm, Beliau memaparkan, “Abu Jahm itu biasa memukul istri.” Setelah menyampaikan hal itu, Rasulullah ﷺ memberikan sebuah alternatif yang mengejutkan. Beliau menyarankan, “Nikahlah saja dengan Usamah bin Zaid.”
Awalnya, Fatimah ragu mendengar nama Usamah. Usamah adalah putra dari Zaid bin Haritsah, mantan budak yang sangat Nabi cintai. Tentu saja secara status sosial, Usamah tidak sebanding dengan Fatimah yang bernasab Quraisy. Keraguan Fatimah merupakan sebuah reaksi yang manusiawi. Namun, Rasulullah ﷺ kembali menegaskan nasihatnya dengan sabda yang kuat, “Taat Allah dan Rasul-Nya itu baik untukmu.”
Mendengar penegasan ini, hati Fatimah pun menjadi mantap. Ia membuang keraguannya dan menempatkan ketaatan di atas segalanya. Pada akhirnya, Fatimah mengikuti arahan Sang Nabi. Imam Muslim meriwayatkan dalam hadits sahihnya bahwa Fatimah kemudian berkata, “Aku pun memilih menikah dengan Usamah, akhirnya aku merasakan kebahagiaan.” Pernikahan mereka terbukti membawa keberkahan dan kebahagiaan yang melimpah.
Memahami Kembali Makna Sekufu (Kesetaraan)
Kisah Fatimah binti Qais secara langsung memberikan pencerahan tentang konsep kafa’ah atau sekufu. Selama ini, masyarakat sering mengartikan sekufu sebagai kesetaraan dalam hal nasab, kekayaan, atau status sosial. Akan tetapi, hadits ini meruntuhkan pandangan tersebut. Ia menunjukkan bahwa parameter utama kesetaraan dalam Islam adalah agama dan akhlak. Oleh karena itu, para ulama menganggap dalil ini sebagai salah satu landasan terkuat dalam pembahasan pernikahan.
Seorang wanita dari suku Quraisy yang mulia menikah dengan seorang pria yang merupakan anak dari mantan budak. Pernikahan ini menjadi bukti nyata bahwa Islam mengangkat derajat manusia berdasarkan ketakwaan, bukan keturunan. Ketika agama dan akhlak seorang calon pasangan sudah teruji baik, maka perbedaan lainnya menjadi tidak lagi signifikan. Fondasi pernikahan yang kokoh sesungguhnya dibangun di atas landasan agama.
Rangkaian Hikmah dari Sebuah Hadits
Selain makna utama tentang sekufu, hadits ini juga mengandung banyak hikmah berharga lainnya. Berikut adalah beberapa pelajaran penting yang dapat kita petik:
-
Kejujuran dalam Memberi Nasihat. Rasulullah ﷺ menunjukkan bahwa menyebut kekurangan calon pasangan untuk tujuan nasihat pernikahan adalah boleh. Tindakan ini tidak termasuk ghibah terlarang karena bertujuan untuk kemaslahatan.
-
Pentingnya Kesiapan Finansial. Beliau mempertimbangkan kondisi finansial Mu’awiyah. Ini mengisyaratkan bahwa kemampuan memberi nafkah tetap menjadi bagian penting dari ikhtiar membangun rumah tangga.
-
Menghindari Pasangan Kasar. Sifat Abu Jahm yang ringan tangan menjadi alasan utama penolakannya. Islam sangat melindungi perempuan dari segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga.
-
Menerima Bimbingan Orang Saleh. Meskipun awalnya ragu, Fatimah menunjukkan kebesaran hati. Ia menerima arahan dari orang yang lebih berilmu dan saleh, yaitu Nabi Muhammad ﷺ.
-
Ketaatan Membawa Berkah. Inilah inti dari keseluruhan kisah. Kepatuhan Fatimah kepada Allah dan Rasul-Nya menjadi kunci yang membuka pintu kebahagiaan sejati dalam pernikahannya.
Agama Adalah Fondasi Utama
Dalam perjalanan mencari jodoh, kita seringkali terjebak pada kriteria fisik dan duniawi. Kisah Fatimah binti Qais dan Usamah bin Zaid berfungsi sebagai pengingat yang kuat. Kisah ini mengarahkan kita kembali pada prioritas yang sesungguhnya, yaitu agama dan akhlak mulia. Pada hakikatnya, pernikahan yang dilandasi ketaatan akan senantiasa diliputi keberkahan dari Allah. Perbedaan status, harta, atau rupa bukanlah penghalang kebahagiaan. Dengan demikian, pilihlah pasangan yang dapat membimbingmu lebih dekat kepada-Nya, karena itulah investasi terbaik untuk dunia dan akhirat.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
