SURAU.CO. Pemandangan para santri dengan sarung di pagi hari sampai dengan malam hari adalah hal yang biasa. Mereka berjalan menuju pesantren, sliwar-sliwer membawa kitab, membawa peralatan mandi, dan sebagian menguap karena masih ngantuk -musyawarah,mujahadah, ronda dan sebagainya. Sarung yang mereka kenakan bukan hanya pakaian. Sarung nusantara adalah simbol yang kaya makna. Ia adalah identitas yang melekat erat dan menjadi warisan budaya yang berharga.
Sarung memang bukan barang mewah. Harganya sangat terjangkau, dan modelnya sederhana. Namun, justru di situlah letak kekuatannya, kain melingkar ini begitu membumi bagi masyarakat Muslim Indonesia, terutama di kalangan santri, ia bahkan menjadi pakaian harian sekaligus lambang keanggunan. Ia hadir dalam berbagai momen penting: salat, mengaji, belajar, bersantai, dan makan bersama.
Sarung Nusantara dan Filosofinya
Filosofi sarung sangat kaya dan berlapis-lapis, mencerminkan sejarah panjang dan perannya dalam budaya di berbagai wilayah, terutama di Indonesia dan negara-negara Muslim lainnya.
Selain itu ia mencerminkan nilai-nilai kesederhanaan, identitas budaya dan agama, fleksibilitas, keintiman, keterampilan, persatuan, dan banyak lagi. Sarung bukan hanya selembar kain, tetapi juga cerminan dari cara hidup, nilai-nilai, dan sejarah suatu masyarakat.
Sarung: Pembentuk Adab dan Nilai-nilai Luhur
Di banyak pondok pesantren, sarung mengajarkan adab. Lilitan kain ini mengingatkan santri untuk bersikap sopan. Memakainya adalah sebuah penanda untuk menjaga kesucian dan menjauhi kemewahan yang tidak perlu. Penampilan boleh sederhana. Namun, isi kepala dan sikap hati harus selalu tertata. Nilai utama di pesantren bukan pada gaya berpakaian. Melainkan akhlak dan ilmu.
Di rumah-rumah Muslim, sarung adalah pakaian pertama yang dikenalkan kepada anak laki-laki saat belajar salat. Dari sana, muncul kebiasaan yang tumbuh menjadi kesadaran dan menanamkan cara hidup yang sederhana. Yaitu: cukup, rapi, dan terhormat.
Sarung di Era Modern
Zaman terus berubah, namun sarung tidak ditinggalkan. Ia kembali ke panggung dengan cara yang berbeda. Sarung kini dikenakan anak muda sebagai simbol gaya Islami yang keren dan membumi.
Kampanye seperti #SarungIsMyStyle dan Sarung untuk Negeri menarasikan ulang sarung. Sarung tampil di berbagai tempat. Mulai dari mall hingga acara kenegaraan. Desain sarung pun beragam. Mulai dari motif klasik, batik kontemporer, hingga tenun urban. Pabrikan seperti Gajah Duduk, BHS, Atlas, dan Wadimor menangkap tren ini. Mereka menawarkan sarung yang lebih ringan, warna-warni, dan kekinian. Iklan sarung bahkan merambah televisi. Artis-artis ternama juga memakainya.
Tantangan dan Pelestarian Makna Sarung
Di tengah semangat ini, muncul kegelisahan. Jangan sampai sarung hanya menjadi tren sesaat. Jangan sampai kehilangan makna. Sarung lahir dari ruang-ruang pengabdian. Mulai dari lantai masjid hingga ruang ngaji sederhana. Sarung berasal dari peluh santri yang belajar diam-diam.
Dalam beberapa konteks, sarung ditarik-tarik maknanya untuk kepentingan lain. Politisi sering mengenakan sarung dalam kampanye. Mereka ingin menampilkan kesan merakyat dan religius. Padahal, mengenakan sarung membutuhkan sikap yang baik. Yaitu: rendah hati, tidak silau dunia, dan selalu menyatu dengan rakyat.
Di tengah kehidupan yang konsumtif, sarung adalah lambang perlawanan. Ia tidak memamerkan. Ia tetap memuliakan. Ia bukan tren cepat saji. Sarung nusantara adalah tradisi panjang yang membentuk jati diri dan menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini. Ia menjembatani nilai dan gaya dan juga menjembatani spiritualitas dan sosialitas.
Menjaga Ruh Sarung Tetap Hidup
Tugas kita adalah menjaga ruh sarung tetap hidup. Sarung boleh masuk ke ruang-ruang baru. Namun, jangan biarkan ia kehilangan makna. Islam merangkul perubahan. Namun, nilai dasarnya harus tetap kuat.
Kita diajak untuk hidup dengan cara yang sama. Tidak berlebihan. Namun, punya isi. Tidak menonjolkan diri. Namun, punya prinsip, yang genuine atau asli dari Nusantara berasal dari budaya yang kita rawat. Semua itu berasal dari sarung yang kita kenakan dengan adab dan niat yang baik.(kareemustofa)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
