Surau.co Konflik antara Thailand dan Kamboja merupakan salah satu perselisihan paling berlarut di kawasan Asia Tenggara. Perseteruan ini tidak hanya mencerminkan pertentangan wilayah semata, tetapi juga menyingkap lapisan-lapisan sejarah yang kompleks—bermula dari era kekaisaran kuno hingga dinamika geopolitik modern. Di pusat pusaran tersebut berdirilah Kuil Preah Vihear, simbol sakral yang menyatukan spiritualitas, kekuasaan, dan identitas budaya.
Jejak Kekaisaran Khmer dan Akar Sengketa
Untuk memahami akar sengketa ini, kita harus menengok jauh ke masa silam, ketika Kekaisaran Khmer berjaya antara abad ke-9 hingga ke-12. Di masa itulah mereka membangun Kuil Preah Vihear—atau Prasat Preah Vihear— dan mempersembahkannya untuk dewa Hindu Siwa. Lokasinya yang menjulang di atas tebing Pegunungan Dângrêk bukan sekadar strategis, tetapi juga sarat makna simbolik. Kuil ini merupakan manifestasi kejayaan arsitektur dan spiritualitas klasik Khmer, sekaligus titik batas wilayah kekaisaran.
Namun demikian, seiring dengan melemahnya kekuasaan Khmer dan bangkitnya kerajaan-kerajaan tetangga seperti Siam (sekarang Thailand), batas-batas kekuasaan menjadi kabur. Meskipun secara historis kuil ini lebih erat terhubung dengan pusat budaya dan pemerintahan Khmer yang kini menjadi bagian dari identitas nasional Kamboja, akses geografis yang lebih mudah dari sisi Thailand menambah kompleksitas statusnya. Maka, dari sinilah benih-benih sengketa mulai tumbuh.
baca juga: Majapahit dan Cahaya Islam: Awal Dakwah di Tengah Kejayaan Hindu-Buddha
Peran Kolonialisme dan Kontroversi Peta
Lompatan waktu membawa kita ke abad ke-19, ketika kolonialisme Eropa merambah kawasan ini. Saat Prancis menjadikan Kamboja sebagai protektorat, kekuatan kolonial mulai menetapkan batas wilayah berdasarkan kepentingannya. Pada tahun 1907, Otoritas Prancis membuat sebuah peta secara sepihak menempatkan Kuil Preah Vihear di wilayah Kamboja.
Thailand, yang kala itu tidak berada di bawah kolonialisme, tidak sepenuhnya menerima keabsahan peta tersebut. Walaupun demikian, tidak adanya protes resmi dari Thailand selama bertahun-tahun menjadi dasar hukum ketika Kamboja membawa kasus ini ke Mahkamah Internasional (ICJ) pada 1962. Dalam putusannya, ICJ memutuskan bahwa Preah Vihear sah berada dalam wilayah Kamboja, mengacu pada prinsip acquiescence—yakni anggapan bahwa diamnya Thailand selama bertahun-tahun dianggap sebagai bentuk persetujuan.
Situs Warisan Dunia dan Ketegangan Baru
Meski keputusan ICJ mengakhiri sengketa secara hukum, konflik belum berakhir di lapangan. Ketegangan memuncak kembali pada tahun 2008, ketika Kamboja berhasil mendaftarkan Preah Vihear sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO. Langkah ini dipandang Thailand sebagai tindakan sepihak yang mengabaikan status wilayah di sekitar kuil yang masih menjadi sengketa. Akibatnya, muncul gelombang protes nasionalis di Thailand, yang kemudian mendorong mobilisasi militer di perbatasan.
Antara tahun 2008 hingga 2011, bentrokan senjata beberapa kali pecah. Mereka menembakkan artileri berat , desa-desa terkena dampaknya, dan ribuan warga sipil harus mengungsi. Meskipun sempat menyepakati gencatan senjata , rasa saling curiga tidak pernah benar-benar hilang. Untuk memperjelas status wilayah sekeliling kuil, Kamboja mengajukan penafsiran ulang terhadap putusan ICJ tahun 1962.
Akhirnya, pada tahun 2013, Mahkamah Internasional menegaskan bahwa tidak hanya kuil, tetapi juga wilayah sekitarnya yang menunjang fungsionalitas kuil tersebut, merupakan bagian dari wilayah Kamboja. Putusan ini menjadi kemenangan hukum dan diplomatik besar bagi Kamboja, namun sekaligus menyulut kekecewaan dan sentimen nasionalis di Thailand.
Lebih dari Sekadar Candi: Kuil sebagai Simbol Identitas
Dalam konteks yang lebih dalam, Kuil Preah Vihear bukan hanya struktur batu kuno atau monumen arkeologis. Bagi rakyat Kamboja, kuil ini adalah lambang kejayaan leluhur, kebanggaan budaya, dan identitas nasional yang tak tergantikan. Ia menjadi penanda eksistensi dan warisan Kekaisaran Khmer yang pernah menguasai sebagian besar daratan Asia Tenggara.
Sebaliknya, bagi sebagian warga Thailand, kuil ini merupakan bagian dari warisan budaya bersama yang memiliki makna emosional dan historis. Ketika akses ke kuil dikendalikan oleh otoritas Kamboja, muncul perasaan kehilangan atas bagian penting dari sejarah peradaban Thailand. Perasaan ini kemudian dimobilisasi dalam bentuk protes, tuntutan politik, dan retorika nasionalisme.
Dengan demikian, sengketa ini tidak semata soal garis batas atau kepemilikan hukum, melainkan juga soal siapa yang berhak mengklaim makna atas peninggalan sejarah. Konflik menjadi ruang tarik-menarik antara memori kolektif, identitas, dan narasi kebangsaan yang berkompetisi.
baca juga: Alasan Masjid Al Aqsa Diperebutkan, Situs Bersejarah 3 Agama
Peluang Rekonsiliasi dan Jalan ke Depan
Hingga kini, ketegangan belum sepenuhnya reda. Bahkan pada tahun 2025, insiden perbatasan kembali terjadi, menandakan bahwa perdamaian yang ada masih rapuh dan bergantung pada komitmen politik jangka pendek. Meski begitu, berbagai inisiatif diplomatik dan mediasi regional, terutama yang dimotori oleh ASEAN, terus memberikan harapan akan penyelesaian damai yang lebih berkelanjutan.
Sebagai alternatif dari konflik, muncul wacana untuk menjadikan Preah Vihear sebagai pusat pembelajaran lintas budaya dan sejarah. Pendekatan ini tidak hanya akan mengurangi ketegangan politik, tetapi juga menumbuhkan kesadaran akan warisan bersama yang bisa dirawat secara kolektif. Mengakui kompleksitas sejarah dan saling menghargai memori budaya masing-masing pihak mungkin menjadi kunci rekonsiliasi.
Dengan demikian, konflik yang telah berlangsung lebih dari satu abad ini bukan tidak mungkin diakhiri dengan pendekatan yang lebih manusiawi dan beradab—yakni dengan dialog, pendidikan, dan penghormatan terhadap sejarah bersama.(Samsul R Fausto)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
