Mode & Gaya
Beranda » Berita » Tren Hijab Pakaian Ketat: Syar’i kah?

Tren Hijab Pakaian Ketat: Syar’i kah?

tren hijabers
ilustrasi tren hijab ketat

Surau.co. Fenomena hijab modern telah berkembang pesat di kalangan muslimah. Namun, munculnya tren berpakaian ketat sambil berhijab menimbulkan perdebatan di berbagai kalangan.

Hijab secara bahasa berarti “penghalang” atau “penutup”. Secara istilah, hijab adalah aturan berpakaian dan berperilaku yang ditetapkan Allah untuk perempuan Muslim.

Dalam Al-Qur’an surat An-Nur ayat 31, Allah memerintahkan wanita untuk menutup aurat dan tidak menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada mahram. Begitu pula dalam surat Al-Ahzab ayat 59, wanita diperintahkan mengenakan jilbab agar dikenal dan tidak diganggu.

Mayoritas ulama sepakat bahwa aurat perempuan adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Karenanya, pakaian muslimah harus longgar, tidak transparan, dan tidak memperlihatkan bentuk tubuh.

Fenomena Fashion Hijab Modern

Dalam satu dekade terakhir, industri fashion muslimah mengalami lonjakan besar. Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar menjadi pusat tren hijab dunia. Indonesia sendiri menargetkan menjadi pusat model fashion dunia pada tahun 2024.

Mengenal Perbedaan Hijab, Jilbab, dan Khimar dalam Tren Fashion Muslimah

Namun, tren ini membawa pergeseran makna hijab. Banyak hijabers mengenakan kerudung namun dipadukan dengan pakaian ketat seperti celana pensil, kaos lengan panjang pas badan, hingga outer pendek. Akun media sosial seperti Instagram dan TikTok mempopulerkan gaya ini melalui influencer yang menggaet jutaan pengikut.

Kontroversi dan Kritik Ulama

Gaya berpakaian ketat sambil berhijab menuai kritik tajam dari berbagai tokoh agama. Menurut Ustaz Khalid Basalamah, hijab bukan sekadar menutup rambut, tetapi juga menjaga bentuk tubuh agar tidak terlihat.

Dr. Erwandi Tarmizi menegaskan bahwa mengenakan pakaian ketat sambil berjilbab tetap tidak memenuhi syarat hijab syar’i. Menurutnya, pakaian yang membentuk lekuk tubuh justru mengundang syahwat dan bertentangan dengan prinsip menundukkan pandangan.

Begitu juga dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), disebutkan bahwa pakaian wanita Muslimah harus menutupi seluruh tubuh, longgar, dan tidak menarik perhatian.

Antara Ekspresi Diri dan Ketaatan

Sebagian perempuan Muslimah berdalih bahwa gaya mereka adalah bentuk ekspresi diri. Mereka berargumen bahwa Islam tidak melarang berpenampilan menarik selama tetap berhijab.

Fenomena Suami Takut Istri: Meneladani Sikap Sahabat Nabi dan Psikologi Modern

Menurut psikolog sosial, ekspresi diri melalui fashion adalah hal alami, terutama bagi remaja dan dewasa muda. Banyak wanita merasa bingung antara keinginan tampil stylish dan tuntutan agama. Di sinilah peran edukasi dan komunitas menjadi penting untuk menumbuhkan kesadaran akan makna hijab sejati.

Dampak Sosial dan Budaya

Gaya hijab dengan pakaian ketat menimbulkan dampak sosial tertentu. Di satu sisi, gaya ini menjembatani antara budaya populer dan identitas Islam. Di sisi lain, ada kekhawatiran normalisasi pakaian yang tidak sesuai syariat.

Menurut penelitian oleh Lembaga Survei Indonesia (2021), sebanyak 45% muslimah usia 15–35 tahun mengaku mengutamakan tampilan modis meski belum memahami aturan hijab syar’i secara utuh. Ini menunjukkan perlunya pendidikan agama yang lebih membumi.

Kritik juga datang dari komunitas konservatif yang menganggap tren ini mencederai kesucian simbol hijab. Mereka menyuarakan pentingnya kembali kepada konsep hijab sebagai bentuk ketundukan kepada Allah, bukan tren pasar.

Peran Influencer dan Media

Influencer memiliki peran besar dalam membentuk opini publik. Banyak hijabers populer menjadi panutan bagi remaja muslimah. Konten mereka kerap menggabungkan hijab dengan gaya kekinian, make-up, dan gaya hidup modern.

Budaya Workaholic: Mengancam Kesehatan Tubuh dan Kualitas Ibadah

Beberapa dari mereka mulai menyuarakan gaya syar’i yang elegan dan tetap fashionable. Influencer seperti Hamidah Rachmayanti dan Indadari mulai membagikan gaya berpakaian longgar namun tetap anggun.

Namun, masih banyak yang mempopulerkan gaya “syar’i minimalis” namun tetap ketat dan mencolok. Di sinilah pentingnya etika digital dan tanggung jawab moral dari para tokoh publik.

Menuju Hijab yang Berkesadaran

Solusi dari polemik ini adalah pendekatan edukatif, bukan menghujat. Komunitas hijrah, lembaga dakwah, hingga sekolah-sekolah Islam harus memperkenalkan hijab sebagai jalan taqwa, bukan sekadar busana.

Kajian, buku, dan media dakwah visual yang menyentuh hati lebih efektif dalam mengajak muslimah memahami hakikat hijab. Pendekatan emosional dan rasional bisa membantu mereka berpindah dari gaya ke kesadaran. Hijab bukanlah penghalang kreativitas, melainkan bingkai nilai yang membimbing penampilan sesuai tuntunan Ilahi.

Hijab dengan pakaian ketat adalah fenomena yang muncul akibat pertemuan antara tren modern dan simbol keislaman. Di satu sisi, ia mencerminkan semangat muslimah muda menegakkan identitas.

Namun di sisi lain, ia bisa menyalahi esensi hijab jika tidak sesuai syariat. Maka diperlukan keseimbangan antara gaya dan ketaatan, antara tren dan syariat.

Hijab sejati adalah perwujudan ketundukan hati kepada Allah. Ia bukan hanya menutup kepala, tapi juga menjaga diri, sikap, dan kemuliaan. *TeddyNs


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement