SURAU.CO-Gula: nikmat yang bisa jadi musibah jika tidak dijaga hadir dalam hampir setiap makanan yang kita konsumsi. Gula: nikmat yang bisa jadi musibah jika tidak dijaga bukan hanya peringatan kosong, melainkan fakta dari dampak konsumsi berlebihan. Islam mengajarkan kita untuk menjaga tubuh sebagai amanah dari Allah. Namun, sebagian orang lebih memilih kenikmatan sesaat, tanpa peduli bahwa kelebihan gula bisa merusak kesehatan dan mengganggu ibadah.
Gula dan Kesehatan: Nikmat yang Bisa Berubah Jadi Bencana
Islam mendorong umatnya untuk hidup seimbang, termasuk dalam memilih makanan. Gula alami dari buah dan madu membawa manfaat bagi tubuh. Namun, manusia menciptakan gula tambahan dalam jumlah besar, lalu menyebarkannya lewat makanan olahan. Akibatnya, risiko penyakit meningkat drastis.
Penelitian menunjukkan bahwa konsumsi gula berlebihan memicu obesitas, diabetes tipe 2, gangguan jantung, bahkan kanker. Satu kaleng minuman ringan mengandung sekitar 7 sendok teh gula. Padahal, WHO hanya merekomendasikan 6 sendok teh per hari. Artinya, satu minuman saja sudah melampaui batas aman.
Konsumsi Gula Berlebih: Antara Nafsu dan Akal Sehat
Saat membina remaja masjid, saya sering menjumpai anak-anak muda yang mengeluh mudah lelah, sulit fokus, dan cepat lapar. Setelah berbincang, saya menemukan bahwa mereka mengonsumsi minuman manis hampir setiap hari. Mereka lebih tertarik pada minuman kekinian daripada air putih karena rasa dan tren yang menggoda.
Islam mengajarkan kesadaran saat makan. Ucapan “Bismillah” menjadi pengingat bahwa tubuh adalah titipan Allah. Rasulullah SAW mencontohkan pola makan sederhana dengan kurma dan air, yang alami dan minim gula. Oleh karena itu, meneladani beliau bukan hanya menyehatkan jasmani, tapi juga menyucikan hati.
Bahaya Gula dalam Makanan Halal: Nikmat yang Perlu Diwaspadai
Banyak makanan halal mengandung kadar gula tinggi, seperti roti, sereal, saus, dan bahkan makanan bayi. Oleh sebab itu, umat Islam perlu selektif dalam memilih makanan. Kita wajib mencari yang bukan hanya halal, tapi juga thayyib—baik dan menyehatkan.
Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 168:
“Wahai manusia! Makanlah dari apa yang ada di bumi yang halal dan baik, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, dia musuh yang nyata bagimu.”
Ayat ini menegaskan bahwa makanan harus halal dan memberikan manfaat bagi tubuh. Jika kandungan gula merusak tubuh, maka makanan tersebut tidak memenuhi standar “thayyib”. Selain itu, memilih makanan sehat juga bagian dari wujud syukur atas nikmat Allah.
Gula dan Keseimbangan: Kunci Hidup Sehat ala Rasulullah
Rasulullah SAW mengajarkan kesederhanaan dalam segala hal, termasuk makanan. Beliau bersabda:
“Tidak ada wadah yang lebih buruk yang diisi oleh manusia daripada perutnya. Cukuplah bagi anak Adam beberapa suap untuk menegakkan tulang punggungnya.” (HR. Tirmidzi)
Hadis ini mengajak kita menahan nafsu makan. Mengonsumsi gula berlebihan mencerminkan lemahnya pengendalian diri. Bahkan, pola makan buruk bisa menurunkan kualitas ibadah. Oleh karena itu, Islam mendorong keseimbangan sebagai jalan hidup terbaik.
Langkah Bijak Mengurangi Gula: Ibadah dalam Gaya Hidup
Mengurangi gula bukan sekadar menjaga tubuh, tetapi juga bentuk ibadah. Kita bisa memulainya dengan membaca label nutrisi, memilih air putih daripada minuman manis, mengganti gula dengan madu, dan memperbanyak buah segar.
Rasulullah menyukai madu, tetapi tetap mengonsumsinya dengan bijak. Beliau tidak menjadikannya makanan utama. Kita seharusnya mengikuti teladan ini: hidup sederhana, makan secukupnya, dan menjaga tubuh agar tetap kuat untuk beribadah. Terlebih lagi, tubuh yang sehat membuat kita lebih siap menjalankan sunnah dan kewajiban. (Hen)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
