SURAU.CO – Setiap manusia secara alami membenci ketidakadilan. Perasaan ini menjadi lebih rumit ketika kezaliman datang dari seorang pemimpin. Hati mungkin bergejolak, dan lisan ingin menentang. Namun, Islam sebagai agama yang sempurna memberikan panduan yang jelas. Lalu, bagaimana prinsip dalam menyikapi pemimpin yang zalim? Prinsip ini berpusat pada kesabaran untuk menjaga persatuan umat. Jalan ini mungkin terasa berat, tetapi penuh dengan hikmah dan keutamaan.
Perintah Tegas untuk Bersabar
Landasan utama dalam menyikapi penguasa adalah sabar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan arahan yang sangat jelas. Beliau tidak menafikan bahwa akan ada pemimpin yang kebijakannya tidak kita sukai. Dalam kondisi seperti itu, sabar menjadi kewajiban.
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadis dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa yang melihat dari penguasa sesuatu yang benci maka hendaklah dia bersabar, sebab barangsiapa yang keluar (dengan tidak mentaati) penguasa satu jengkal maka dia mati dengan kematian jahiliyah.” (Muttafaq ‘alaihi).
Hadis ini memberikan dua pesan penting. Pertama, perintah untuk bersabar saat melihat hal yang tidak kita senangi dari pemimpin. Kedua, ancaman keras bagi mereka yang memilih jalan pemberontakan. Istilah “mati dalam keadaan jahiliah” menunjukkan betapa besarnya dosa memecah belah persatuan kaum muslimin. Ini bukan berarti ia mati dalam kekafiran, tetapi kematiannya menyerupai kondisi orang-orang jahiliah yang hidup tanpa pemimpin dan ikatan jamaah.
Dalam hadis lain, Nabi bahkan telah memberitakan akan datangnya para pemimpin yang egois. Mereka akan mementingkan diri sendiri dan kelompoknya di atas hak-hak rakyat. Dari Usaid bin Khudair radhiyallahu anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya kalian akan menemukan setelahku orang yang mementingkan dirinya (dengan kekuasaan). Maka bersabarlah sehingga kalian bertemu denganku pada haudh (telaga).” (Muttafaq ‘alaihi).
Pesan ini memberikan kekuatan dan penghiburan. Nabi menjanjikan balasan besar bagi mereka yang mampu bersabar, yaitu kesempatan bertemu beliau di telaganya kelak. Ini menunjukkan bahwa kesabaran terhadap kezaliman pemimpin adalah sebuah ibadah yang berbuah manis di akhirat.
Ketaatan dan Tanggung Jawab Masing-Masing
Lalu, bagaimana jika pemimpin secara terang-terangan mengambil hak rakyat? Pertanyaan ini pernah diajukan langsung kepada Rasulullah. Salamah bin Yazid Al-Ja’fi bertanya kepada Nabi tentang pemimpin yang menuntut haknya namun menahan hak rakyat. Nabi awalnya berpaling, namun setelah ditanya berulang kali, beliau memberikan jawaban yang menjadi kaidah penting. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Dengarkanlah mereka dan taatilah sesungguhnya mereka akan bertanggung jawab terhadap apa yang dibebankan kepada mereka dan kalian akan bertanggung jawab terhadap apa-apa yang dibebankan kepada kepada kalian.” (HR. Muslim).
Jawaban Nabi ini memisahkan dua tanggung jawab yang berbeda. Pemimpin akan mempertanggungjawabkan kepemimpinannya di hadapan Allah. Rakyat juga akan mempertanggungjawabkan kewajiban taatnya di hadapan Allah. Kezaliman pemimpin tidak menggugurkan kewajiban rakyat untuk taat dalam hal yang bukan maksiat. Setiap pihak akan memikul bebannya sendiri-sendiri di hari kiamat.
Menjaga Jamaah di Tengah Badai Fitnah
Prinsip sabar dan taat ini bertujuan untuk menjaga satu hal yang sangat berharga: persatuan (jamaah) kaum muslimin. Perpecahan selalu membawa kerusakan yang jauh lebih besar daripada kezaliman seorang pemimpin. Inilah mengapa Nabi sangat keras memperingatkan bahaya keluar dari jamaah.
Dalam hadis panjang dari Hudzaifah bin Al-Yaman radhiyallahu anhu, beliau bertanya tentang zaman-zaman yang penuh fitnah. Ketika sampai pada deskripsi tentang adanya “penyeru ke pintu-pintu Jahannam”, Hudzaifah bertanya apa yang harus ia lakukan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
“Tetaplah komitmen dengan jama’ah kaum muslimin dan pemimpin mereka.”
Hudzaifah bertanya lagi, “Bagaimana jika mereka tidak memiliki jamaah dan pemimpin?” Nabi memberikan instruksi yang mengejutkan:
“Jauhilah semua kelompok tersebut sekalipun engkau terpaksa harus menggigit akar pohon sampai kematian menjemputmu dan engkau tetap berada dalam keadaan tersebut.” (Muttafaq ‘alaihi).
Perintah ini menunjukkan betapa krusialnya persatuan. Jika jamaah yang lurus tidak ada, mengasingkan diri lebih baik daripada bergabung dengan kelompok sempalan yang menyeru pada perpecahan. Keselamatan akidah pribadi lebih diutamakan daripada terlibat dalam fitnah yang hanya akan menumpahkan darah kaum muslimin. Sabar, menasihati dengan cara yang hikmah, dan menjaga persatuan adalah jalan keselamatan yang diajarkan oleh syariat kita yang mulia.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
