SURAU.CO- Dalam ajaran Islam, kita mengenal tiga jenis pemberian sukarela yang populer: hibah, hadiah, dan sedekah. Banyak orang menganggap ketiganya sama, padahal terdapat perbedaan mendasar. Semua merujuk pada tindakan memberikan harta kepada orang lain tanpa mengharapkan imbalan. Namun, niat dan tujuan di baliknya membuat ketiganya memiliki makna dan konsekuensi hukum yang berbeda. Memahami perbedaannya membantu kita menempatkan setiap amalan sesuai niat dan syariat.
Apa Sebenarnya Hibah Itu?
Secara bahasa, kata “hibah” berarti memberikan sesuatu secara sukarela. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) juga mendefinisikan hibah dengan makna serupa. Dalam Al-Qur’an, Allah menggunakan istilah ini saat menganugerahkan anak kepada hamba-Nya. Ini menunjukkan bahwa hibah adalah pemberian murni tanpa pamrih.
Dalam istilah fikih, para ulama mendefinisikan hibah sebagai sebuah akad. Akad ini bertujuan memindahkan kepemilikan harta kepada orang lain. Proses pemindahan ini terjadi saat pemberi masih hidup dan dilakukan secara cuma-cuma. Karena sifatnya sukarela, hibah berbeda dari kewajiban seperti zakat. Hibah secara spesifik memindahkan kepemilikan aset, bukan sekadar hak guna seperti pinjaman (‘ariyah). Karena itu, hibah juga berbeda dari wasiat yang baru berlaku setelah pemberi wafat.
Niat Menjadi Pembeda Utama
Faktor utama yang membedakan hibah, hadiah, dan sedekah adalah niat di baliknya. Hibah dan hadiah umumnya bertujuan membangun atau mempererat hubungan baik. Anda memberikannya untuk menunjukkan rasa sayang atau penghargaan. Di sisi lain, sedekah memiliki tujuan yang lebih vertikal. Anda bersedekah semata-mata untuk mencari pahala dan mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan hal ini dengan gamblang. Menurut beliau, sedekah merupakan ibadah murni kepada Allah. Pemberi tidak mengharapkan imbalan duniawi dari penerima. Biasanya, kita memberikan sedekah kepada mereka yang membutuhkan, seperti fakir miskin. Sebaliknya, hadiah bertujuan untuk memuliakan orang tertentu. Kita memberikannya karena dorongan cinta, persahabatan, atau untuk menjalin hubungan baik.
Syekh Ibnu ‘Utsaimin juga memberikan pandangan serupa yang mudah dipahami. Beliau merincinya sebagai berikut:
- Jika tujuan utama Anda adalah meraih pahala akhirat, maka itu sedekah.
- Jika tujuan Anda adalah menjalin keakraban dan persahabatan, maka itu hadiah.
- Jika Anda murni ingin memberi manfaat bagi penerima tanpa motif lain, maka itu hibah.
Meskipun tujuannya berbeda, ketiganya sama-sama merupakan bentuk kedermawanan. Semuanya lahir dari keikhlasan tanpa mengharap balasan dari manusia.
Landasan Syariat Anjuran Memberi Hibah
Praktik hibah memiliki landasan kuat dalam syariat Islam. Kita menemukan dalil anjuran hibah dalam Al-Qur’an, As-Sunnah, dan kesepakatan ulama (ijma’).
1. Dalil dari Al-Qur’an
Allah Ta’ala berfirman dalam Surat An-Nisa’ ayat 4. Ayat tersebut mengizinkan suami menerima kembali mahar dari istrinya jika ia memberikannya dengan tulus. Pemberian tulus ini adalah bentuk hibah. Allah juga menjelaskan kebajikan dalam Surat Al-Baqarah ayat 177. Salah satunya adalah memberikan harta yang kita cintai kepada kerabat dan kaum yang membutuhkan. Terakhir, Allah memerintahkan kita untuk saling tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa (QS. Al-Ma’idah: 2), dan hibah adalah wujud nyata dari kebajikan itu.
2. Dalil dari As-Sunnah
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mendorong umatnya untuk saling memberi. Beliau bersabda, “Saling memberi hadiah-lah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. Bukhari). Hadis ini menunjukkan kekuatan hadiah dalam membangun cinta dan keharmonisan sosial. Dalam riwayat lain, Nabi menasihati para wanita agar tidak meremehkan hadiah dari tetangganya, sekecil apa pun. Beliau bersabda, “Wahai para wanita muslimah, janganlah seorang tetangga meremehkan hadiah tetangganya, walaupun hanya berupa ujung kaki kambing.” (HR. Bukhari dan Muslim). Pesan ini mengajarkan kita untuk ikhlas memberi dan selalu bersyukur saat menerima.
3. Dalil dari Ijma’
Para ulama kaum muslimin telah sepakat (ijma’) mengenai disyariatkannya hibah. Tidak ada satu pun ulama yang mengingkari anjuran ini. Mereka memandang hibah sebagai sarana efektif untuk menumbuhkan kasih sayang. Praktik ini juga menciptakan kepedulian dan mempererat ikatan persaudaraan di tengah masyarakat. Dengan membudayakan saling memberi, umat Islam dapat membangun komunitas yang solid dan penuh kehangatan.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
