Opinion
Beranda » Berita » Negara Dengan Ekonomi Islam Atau Ekonomi Kapitalis

Negara Dengan Ekonomi Islam Atau Ekonomi Kapitalis

Negara Antara Ekonomi Islam dan Kapitalis

Saat Negara Menerapkan Ekonomi Islam.

Setelah melalui berbagai persidangan, Majelis Hakim akhirnya menjatuhkan vonis pada perbuatan Menteri Perdagangan 2015-2016 Tom Lembong dalam kasus impor gula. Hakim menghukum Tom Lembong dengan vonis 4,5 tahun penjara. Yang menjadi kontroversi, Hakim menjatuhkan vonis tersebut karena eks menteri era Jokowi ini menjalankan kebijakan yang dinilai lebih mengedepankan ekonomi kapitalis (Kompas.com, 19/7/2025).

Apa Itu Ekonomi Kapitalis

Sistem ekonomi kapitalis adalah bagian (subsistem) dari ideologi Kapitalisme. Bersama sistem demokrasi (di bidang politik), sistem ekonomi kapitalis adalah pilar utama ideologi Kapitalisme. Kapitalisme berakar pada aqidah Sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Ideologi ini lahir dari pemikiran liberalisme Barat pasca-Renaissance dan Revolusi Industri sekitar Abad ke-18.

Di antara pilar utama utama sistem ekonomi kapitalis adalah kepemilikan pribadi. Penjelasannya: Individu atau perusahaan boleh memiliki sumberdaya ekonomi—termasuk sumberdaya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak—tanpa batas. Wajar jika di negeri ini aneka tambang seperti emas, migas, mineral dan batubara (minerba), nikel dll semuanya dikuasai dan dinikmati oleh segelintir orang. Semua ini terkonfirmasi dalam APBN kita setiap tahun. Dalam APBN tahun 2024, misalnya, PNBP ESDM (mencakup seluruh sektor energi (migas, minerba, dll) hanya sekitar Rp 500 Triliun. Bandingkan dengan pemasukan pajak (yang sebagian besarnya dari rakyat) dalam APBN pada tahun yang sama, yakni nyaris Rp 2.000 Triliun. Demikian pula lahan. Menurut Menteri ATR Nusron Wahid baru-baru ini, sekitar setengah dari 60 juta hektar lahan bersertifikat hanya dikuasai oleh 60 keluarga. Sebaliknya, puluhan juta rakyat lainnya memiliki lahan yang sangat terbatas. Bahkan jutaan lainnya tidak memiliki lahan sama sekali.

Semua penguasaan sumberdaya ekonomi oleh segelintir orang (oligarki) itu tentu mendapatkan legitimasi dari Negara lewat berbagai undang-undang, termasuk UU Cipta Kerja, yang dibuat oleh DPR bersama Pemerintah. Dengan demikian pelaku atau penggerak utama dari sistem ekonomi kapitalis di negeri ini justru DPR dan Pemerintah. Karena itu jika menjalankan kebijakan yang dinilai lebih mengedepankan ekonomi kapitalis dianggap sebagai sebuah kejahatan, sebagaimana alasan Hakim memvonis Tom Lembong dengan penjara 4,5 tahun, maka yang lebih layak diadili dan dipersalahkan adalah DPR dan Pemerintah yang jelas-jelas terbukti menjalankan sistem ekonomi kapitalis. Ditambah lagi Negara menjadikan pajak (yang sebagian besarnya dari rakyat) sebagai andalan utama pemasukan APBN. Pada tahun 2024, misalnya, pendapatan dari pajak hampir Rp 2000 Triliun atau lebih dari 70% dari total pendapatan Negara. Negara juga pelaku utama riba dengan terus menumpuk utang berbasis bunga. Pada tahun 2024, bunga utangnya saja yang harus dibayar oleh Pemerintah hampir Rp 500 Triliun. Padahal jelas, pajak dan riba juga termasuk praktik khas yang berlaku dalam sistem ekonomi kapitalis.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Kritik Terhadap Kapitalisme

Al-‘Allaamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (w. 1977)—seorang ulama besar, pemikir Muslim terkemuka, penulis banyak kitab tentang pemikiran Islam, sekaligus pendiri Hizbut Tahrir—menyampaikan kritik tajam dan mendalam terhadap sistem ekonomi kapitalis, sebagai subsistem ideologi Kapitalisme. Kritik tersebut antara lain tertuang dalam salah satu karya utama (masterpiece)-nya, an-Nizhaam al-Iqtishaadi fii al-Islaam (Sistem Ekonomi dalam Islam).

Diantara kritik pokok Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani terhadap Kapitalisme: Pertama, asas Kapitalisme adalah Sekularisme yang jelas-jelas batil.  Kapitalisme dibangun di atas akidah sekuler (pemisahan agama dari kehidupan), termasuk dari urusan ekonomi. Ini bertentangan total dengan Islam yang menjadikan wahyu Allah SWT (syariah Islam) sebagai sumber hukum dalam segala bidang.

Kedua, konsep kepemilikan yang batil. Kapitalisme membolehkan kepemilikan pribadi atas sumberdaya umum, termasuk barang-barang milik umum seperti air, tambang, migas, listrik, dan lainnya. Padahal dalam Islam, semua itu haram dimiliki oleh individu atau perusahaan swasta. Semua kekayaan milik umum atau yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikelola oleh Negara. Semua hasilnya harus bisa dinikmati oleh seluruh warga Negara, Muslim maupun non-Muslim.

Ketiga, distribusi kekayaan dalam sistem ekonomi kapitalis sangat tidak adil. Sebabnya, sistem ekonomi kapitalis hanya fokus pada peningkatan produksi (akumulasi) kekayaan, bukan pada distribusi yang merata dan adil bagi seluruh warga negara. Akibatnya, terjadi kesenjangan ekstrem antara si kaya dan si miskin. Inilah yang terjadi juga di negeri ini yang memang sejak awal kemerdekaan hingga era reformasi saat ini telah mengadopsi sistem ekonomi kapitalis.

Keempat, Negara lebih melayani korporasi dan kaum kapitalis (para pemilik modal) ketimbang melayani rakyat kebanyakan. Itulah sebabnya mengapa hukum dan kebijakan Negara acapkali tunduk pada lobi dan uang. Sebagaimana pernah disampaikan oleh Mantan Menko Polhukam Mahfud MD, setiap pasal dalam UU yang dibahas oleh DPR dan Pemerintah ada harganya. Termasuk tentu saja UU Cipta Kerja yang lebih berpihak pada oligarki ketimbang rakyat. Dengan demikian Pemerintah dalam sistem Kapitalisme sering hanya menjadi alat di tangan para pemilik modal (kaum kapitalis).

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Kelima, kebebasan ekonomi yang tidak terkontrol dalam sistem ekonomi kapitalis sering menciptakan aneka kezaliman, seperti: monopoli, eksploitasi buruh, dan kriminalitas ekonomi (riba, spekulasi, dll). Karena itulah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menolak secara tegas ideologi Kapitalisme ini.

Keadilan Sistem Ekonomi Islam

Menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, hanya sistem ekonomi Islam yang mampu menciptakan kemakmuran, kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat. Demikian sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab-kitab beliau, terutama Kitab an-Nizhâm al-Iqtishâd fî al-Islâm.
Di antara poin-poin sistem ekonomi Islam, menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani: Pertama, tujuan sistem ekonomi Islam adalah distribusi kekayaan, bukan pertumbuhan (akumulasi) kekayaan. Artinya, tujuan sistem ekonomi Islam bukanlah menciptakan kekayaan nasional (GDP), tetapi mendistribusikan kekayaan kepada seluruh rakyat—secara orang-perorang—secara adil.

Kedua, kepemilikan dalam Islam dibagi 3 (tiga): (1) kepemilikan individu (al-milkiyyah al-fardiyyah); (2) kepemilikan umum (al-milkiyyah al-‘aammah); (3) kepemilikan negara (milkiyyah ad-dawlah).

Terkait kepemilikan individu, dalilnya antara lain firman Allah SWT:
لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا 
Bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan… (TQS an-Nisa’ [4]: 32). 

Terkait kepemilikan umum, dalilnya antara lain sabda Rasulullah saw:
الْمُسْلِمُوْنَ شُركَاَءُ فِي ثَلاَثٍ: الْمَاءُ، وَالْكَلَأُ، وَالنَّارُ 
Kaum Muslim itu berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput dan api (HR Abu Dawud dan Ahmad). 

Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi

Juga ada hadis sahih yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw. penah mencabut hak pengelolaan atas tambang garam di daerah Ma’rib—yang depositnya melimpah—dari Sahabat Abyadh bin Hammal ra. (HR Ibnu Majah [hadis nomor 2475]).
Adapun terkait kepemilikan negara, menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, yaitu harta yang menjadi milik Negara (Khilafah) sebagai lembaga yang mewakili kaum Muslim dalam pengelolaan urusan mereka. Contoh kepemilikan Negara: kharaaj, jizyah,  fai’ dan anfaal, sebagian ghaniimah, harta orang murtad yang terbunuh atau melarikan diri dari Negara Islam; harta tak bertuan yang dikelola Negara; dan harta waris tanpa ahli waris. Dalilnya, antara lain, firman Allah SWT:
فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ 
Sesungguhnya seperlima dari ghaniimah itu adalah untuk Allah dan Rasul… (TQS al-Anfal [8]: 41). 

Dalam praktiknya, bagian Rasul saw. bukan milik pribadi beliau. Pada masa setelah beliau wafat, bagian ini dikelola oleh Negara untuk kemaslahatan rakyat.
Ketiga, larangan atas kepemilikan harta yang haram. Islam melarang transaksi haram yang merusak ekonomi, seperti: riba (bunga); gharar (ketidakjelasan); judi (maysiir); monopoli; spekulasi, dll. Di antara dalil-dalilnya, antara lain, firman Allah SWT:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا 
Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba… (TQS al-Baqarah [2]: 275). 

Di dalam as-Sunnah juga dinyatakan:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ ﷺ عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ 
Rasulullah saw. telah melarang jual-beli yang mengandung gharar (ketidakjelasan) (HR Muslim).

Keempat, Negara wajib menjamin kebutuhan pokok rakyat. Syaikh Taqiyuddin menegaskan bahwa Negara wajib menjamin pemenuhan kebutuhan pokok setiap individu, yaitu: sandang, pangan dan papan; juga pendidikan, kesehatan dan keamanan.  Di antara dalilnya adalah sabda Nabi saw.:
الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ  Imam (Kepala Negara) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya (HR al-Bukhari). 

Kelima, Islam menjamin distribusi sumberdaya alam sehingga hasilnya bisa dinikmati oleh seluruh rakyat. Karena itu Negara haram menyerahkan kepemilikan umum (tambang, hutan, air, gas, listrik, dll) kepada individu atau perusahaan swasta. Syaikh Taqiyuddin sangat tegas menolak privatisasi sumberdaya alam milik umum ini.

Saatnya Menerapkan Sistem Islam

Dengan demikian jelas negeri ini mempertahankan ideologi Kapitalisme, dengan subsistemnya, yaitu sistem ekonomi kapitalis. Sudah jelas terbukti sistem ini gagal karena hanya menghasilkan kemakmuran dan kesejahteraan bagi segelintir orang (oligharki). Di antaranya dengan cara merampas sumberdaya alam yang sangat berlimpah—yang sesungguhnya milik rakyat—yang justru dilegalkan oleh Negara melalui berbagai UU yang berpihak pada mereka.
Saatnya negeri ini diatur oleh ideologi Islam, dengan subsistemnya, yaitu sistem ekonomi Islam. Ini adalah bagian dari ketakwaan kepada Allah SWT, yang pasti akan melahirkan aneka keberkahan bagi seluruh rakyat negeri ini.
WalLaahu a’lam bi ash-shawaab

🄷🄸🄺🄼🄰🄷, Allah SWT berfirman:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ 
Andai penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, Kami pasti akan melimpahkan kepada mereka aneka keberkahan dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami). Karena itulah Kami menyiksa mereka karena perbuatan yang mereka lakukan itu. (TQS al-A’raf [7]: 96). (Candra/Ardiansyah)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement