SURAU.CO-Konflik Thailand–Kamboja telah berlangsung selama beberapa dekade, dan hingga kini belum menemukan titik damai yang hakiki. Konflik Thailand–Kamboja ini bukan sekadar perebutan tanah atau kuil kuno, tetapi juga cermin dari luka kolonial yang belum sembuh. Di balik garis perbatasan yang dipertahankan dengan senjata, ukhuwah insaniyah—persaudaraan kemanusiaan—terus dikorbankan demi ego politik dan nasionalisme yang sempit.
Ketika dua bangsa tetangga masih saling menuding dan menyimpan dendam akibat peta yang diwariskan kolonial Prancis, dunia Islam seharusnya hadir sebagai penyeru damai. Namun sayangnya, hingga kini, suara Islam dalam konflik perbatasan ini nyaris tak terdengar.
Akar Konflik Thailand–Kamboja: Warisan Kolonial dan Kepentingan Politik
Konflik wilayah antara Thailand dan Kamboja berakar pada sengketa terhadap Kuil Preah Vihear—sebuah situs bersejarah yang berada di perbatasan. Pada 1904, Prancis sebagai penjajah Kamboja saat itu, memetakan kawasan ini dan menetapkan kuil berada di wilayah Kamboja. Namun, Thailand (dulu Siam) menolak hasil pemetaan tersebut dan mengklaim kuil itu sebagai miliknya.
Pada 1962, Mahkamah Internasional memutuskan bahwa kuil tersebut adalah milik Kamboja. Namun, keputusan tersebut tidak mengakhiri konflik. Thailand mengklaim wilayah di sekitar kuil, dan perselisihan terus berlanjut. Bahkan pada 2008 dan 2011, bentrokan bersenjata kembali terjadi, memakan korban jiwa di kedua belah pihak.
Dampak Sosial: Ketika Perbatasan Membunuh Rasa Kemanusiaan
Konflik yang terus membara ini menyebabkan ribuan warga sipil mengungsi, kehilangan rumah, dan hidup dalam ketakutan. Di satu sisi, aparat kedua negara mengeklaim sedang “menjaga kedaulatan”, namun di sisi lain, rakyat jelata menjadi korban utama dari ketidakadilan sejarah.
Saya sendiri pernah berbicara dengan seorang relawan kemanusiaan asal Malaysia yang sempat turun ke wilayah perbatasan pada tahun 2012. Ia menyaksikan langsung bagaimana warga sipil, terutama anak-anak, hidup dalam trauma akibat suara ledakan mortir yang sewaktu-waktu bisa kembali terdengar. Di tengah reruntuhan rumah dan fasilitas publik, ia mendengar satu kalimat yang menyayat hati dari seorang ibu: “Kami tidak tahu siapa musuh kami, tapi kami tahu anak kami ketakutan setiap malam.”
Ukhuwah Insaniyah dan Pesan Islam tentang Perdamaian
Dalam Islam, konflik seperti ini sangat dikecam. Islam mengajarkan prinsip ukhuwah insaniyah, yakni persaudaraan antarumat manusia yang melampaui batas ras, negara, dan keyakinan. Allah SWT berfirman:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal…” (QS. Al-Hujurat: 13)
Garis perbatasan tidak seharusnya menjadi alasan untuk membenci. Islam mendorong musyawarah dan penyelesaian damai. Bahkan dalam sejarah Rasulullah SAW, kita mengenal Piagam Madinah yang mengatur hubungan antar-komunitas secara adil dan beradab, tanpa menindas.
ASEAN dan Ketiadaan Suara Dunia Islam
Sebagai sesama anggota ASEAN, Thailand dan Kamboja seharusnya dapat menyelesaikan konflik ini melalui pendekatan regional. Namun ASEAN terbelenggu oleh prinsip non-intervensi, sehingga hanya mampu menjadi penengah yang lemah.
Lebih menyedihkan lagi, suara dunia Islam pun nyaris tak terdengar. Negara-negara Muslim, baik sebagai anggota ASEAN maupun OIC, tidak pernah benar-benar mengambil inisiatif diplomasi damai dalam konflik ini. Padahal, dengan jumlah umat Islam yang besar di Asia Tenggara, seharusnya ada kekuatan moral yang bisa ditunjukkan sebagai teladan dalam resolusi konflik.
Menuju Solusi: Menyatukan Diplomasi dan Spirit Keadilan
Penyelesaian konflik Thailand–Kamboja tidak bisa hanya mengandalkan garis hukum atau kekuatan militer. Diperlukan pendekatan baru yang menggabungkan diplomasi aktif dengan prinsip keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan. Dunia Islam dapat berperan, bukan hanya sebagai penonton, tetapi sebagai penjembatan damai.
Institusi Islam, seperti Majelis Ulama ASEAN atau jaringan ormas Islam, bisa memainkan peran dalam diplomasi sosial—membangun ruang dialog lintas batas dengan semangat ukhuwah. Masyarakat sipil lintas negara, termasuk Indonesia, Malaysia, dan Brunei, dapat menggalang gerakan moral yang menekan pemimpin untuk memilih jalur damai. (Hendri Hasyim)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
