SURAU.CO-Doa untuk tetap waras di zaman edan terasa makin penting ketika dunia menghadirkan absurditas tanpa henti. Fitnah meluas, kebodohan dibanggakan, dan kepalsuan bertebaran seperti kebenaran. Dalam situasi ini, doa untuk tetap waras di zaman edan bukan hanya anjuran spiritual, tetapi kebutuhan mendesak bagi setiap jiwa yang ingin tetap berpijak di jalan lurus.
Kita menyaksikan bagaimana nilai-nilai luhur tergerus oleh nafsu, dan suara akal sehat seringkali tenggelam di tengah keramaian opini. Namun, orang-orang yang memilih tetap jernih tak kehilangan arah—mereka justru sedang memelihara cahaya di tengah gelapnya zaman.
Doa dan Zaman Edan: Iman Menjadi Pelindung
Doa bukan lagi pelengkap, melainkan fondasi. Saat dunia kehilangan arah, doa menjadi kompas batin. Ia bukan sekadar permohonan, tapi juga pengakuan bahwa kita tak ingin ikut hanyut dalam kegilaan kolektif.
Ulama besar seperti Imam Al-Ghazali pernah mengingatkan, “Orang yang waras di tengah kebatilan adalah pejuang paling sunyi.” Nasihat ini menggambarkan bahwa menjaga kewarasan butuh kekuatan iman, bukan semata kekuatan logika.
Kisah Nyata: Menjaga Akal adalah Perlawanan
Seorang teman bekerja di lingkungan yang penuh topeng. Ia menyaksikan ketidakadilan menjadi bagian dari sistem. Namun, ia tak larut. Setiap pagi, ia membaca doa sebelum berangkat:
“Ya Allah, jagalah akalku dari rusaknya hati dan kotornya kekuasaan.”
Keteguhannya bukan karena jabatan atau harta. Ia hanya ingin pulang setiap hari dengan nurani yang masih utuh. Ia tahu, waras itu perjuangan, bukan hasil pemberian instan.
Dzikir dan Doa: Terapi Paling Dalam
Dzikir dan doa menyuplai kekuatan batin yang tidak tampak. Penelitian psikologi spiritual menunjukkan bahwa orang yang rutin berdoa cenderung lebih tenang dan fokus. Dalam Islam, dzikir membersihkan hati (tazkiyatun nafs) yang kemudian melahirkan pikiran sehat.
Banyak ulama sufi menggambarkan dzikir sebagai “cahaya dalam dada.” Saat dunia mulai gelap, kita bisa menyalakan cahaya itu lewat doa-doa sederhana.
Diam yang Bijak di Tengah Kegaduhan
Di zaman edan, berbicara sembarangan bisa merusak lebih cepat daripada bom. Maka, diam sering menjadi pilihan paling bijak. Bukan berarti takut, tapi karena orang waras tahu kapan harus bersuara, dan kapan harus menarik diri.
Saat orang berlomba menunjukkan eksistensi, mereka yang menjaga ketenangan justru memegang kendali. Mereka tidak reaktif, tidak baper, dan tidak mudah dimanipulasi oleh kebisingan sosial.
Ibadah Sehari-hari: Menjadi Waras Bukan Lagi Pilihan
Menjadi waras adalah ibadah yang harus dijaga setiap hari. Dunia memang tak akan berhenti memproduksi absurditas, tapi kita bisa memilih untuk tetap sadar.
Doa berikut bisa menjadi pegangan harian:
اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي عَاقِلًا فِي زَمَانِ الْجُنُونِ، وَصَادِقًا فِي وَقْتِ الْخِدَاعِ، وَثَابِتًا عَلَى الْإِيمَانِ فِي زَمَانِ الْفِتَنِ.
Allāhumma ij‘alnī ‘āqilan fī zamānil-junūn, wa ṣādiqan fī waqtil-khidā‘, wa ṯābitan ‘alal-īmān fī zamānil-fitan.
“Ya Allah, jadikan aku orang yang berakal di zaman kegilaan, jujur di masa penuh tipu daya, dan tetap teguh dalam iman di masa penuh fitnah.”
Tetap Waras: Jalan Sunyi yang Mulia
Kita tidak bisa memilih era, tapi bisa menentukan sikap. Dunia akan terus berubah, tetapi nilai tetap harus dijaga. Doa untuk tetap waras adalah komitmen untuk tidak ikut rusak, meski lingkungan mengajak begitu.
Bersikap tenang di tengah kegaduhan bukan berarti kalah. Tetap jujur di tengah kepalsuan bukan tanda lemah. Justru, di situlah kekuatan sejati terlihat—pada mereka yang mampu waras tanpa perlu ramai. (Hen)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
