Sosok
Beranda » Berita » 80 Tahun Merdeka, Siapa Saja Tokoh Proklamasi Indonesia?

80 Tahun Merdeka, Siapa Saja Tokoh Proklamasi Indonesia?

Tokoh Proklamasi
Pembacaan Teks Proklamasi oleh Ir. Soekarno.

SURAU.CO. Kemerdekaan Republik Indonesia tidak lama lagi akan dirayakan untuk yang ke 80 tahun. Presiden Prabowo Subianto secara resmi meluncurkan logo dan tema Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia, bertempat di Istana Negara, Jakarta. Pada peringatan HUT ke-80 Kemerdekaan RI, Pemerintah mengusung tema besar “Bersatu Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju”, yang mencerminkan semangat Bangsa Indonesia untuk bersatu padu dalam mengusung kesepahaman sebagai satu bangsa, menjembatani harapan satu sama lain, dan bergerak maju bersama dalam menyongsong kemajuan bangsa.

Sudah 80 tahun Indonesia merdeka, sejak Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta membacakan proklamasi tahun 1945. Proklamasi kemerdekaan adalah hari bersejarah yang sangat berarti bagi masyarakat Indonesia. Hari ini menjadi tanda bahwa penjajahan di Indonesia telah berakhir dan Indonesia secara resmi menjadi negara yang merdeka dan berdaulat.

Peristiwa bersejarah ini tidak lepas dari peran dan jasa para tokoh yang telah berjuang demi kemerdekaan Indonesia. Para tokoh tersebut memiliki peran masing-masing yang penting dalam menyukseskan perjuangan bangsa mencapai kemerdekaan. Tanpa bermaksud mengesampingkan peran tokoh yang lain, kali ini kita akan mengenal lebih dekat beberapa tokoh proklamasi yang memiliki peran penting dalam peristiwa proklamasi Indonesia.

Ir  Soekarno

Soekarno adalah presiden pertama Indonesia yang membacakan teks proklamasi bersama Mohammad Hatta. Ia anak seorang guru Sekolah Rakyat bernama Raden Soekami (Ayah) dan ibunya Ida Ayu Nyoman seorang wanita Bali berdarah banvsawan. Soekarno lahir di Blitar pada 6 Juni 1901 dengan nama Koesno Sosrodihardjo.

Terlahir dari keluarga bangsawan, Soekarno memiliki kesempatan untuk sekolah hingga perguruan tinggi dan lulus dari Technische Hoogeschool te Bandoeng (kini Institut Teknologi Bandung) pada 1925 dengan mengambil jurusan teknik sipil. Setelah lulus kuliah, Soekarno rajin menuliskan ide-ide politiknya di media massa dengan artikel berjudul “Nasionalisme, Islam, dan Marxisme”. Tulisan ini begitu menekankan pentingnya ide-ide persatuan antar kelompok, yang kemudian menandai pemikiran politik sepanjang kariernya.

Menggali Peran Pemuda dalam Riyadus Shalihin: Menjadi Agen Perubahan Sejati

Perjuangan politiknya berlanjut dengan membentuk Algemeene Studie Club (ASC) di Bandung pada 1926, yang merupakan hasil inspirasi dari Indonesische Studie Club oleh Dr. Soetomo. Organisasi ini di kemudian hari menjadi cikal bakal pendirian Partai Nasional Indonesia (PNI) pada 1927.

Soekarno menerapkan sikap nonkooperatif dengan Belanda yang membuatnya beberapa kali masuk tahanan. Aktivitasnya di PNI menyebabkan dirinya ditangkap oleh Belanda pada 29 Desember 1929 di Yogyakarta, dan esoknya kemudian dipindahkan ke Bandung untuk dijebloskan ke Penjara Banceuy. Pada 1930, dia dipindahkan ke Sukamiskin dan membacakan pleidoinya yang fenomenal Indonesia Menggugat di pengadilan Landraad Bandung 18 Desember 1930, hingga dibebaskan kembali pada 31 Desember 1931.

Tidak lama setelah Jepang takluk kepada Sekutu pada tanggal 17 Agustus 1945 atas desakan para aktivis pemuda yang sempat menculiknya ke Rengasdengklok, Soekarno dan Hatta diangkat menjadi presiden wakil presiden pertama Indonesia.

Mohammad Hatta

Mohammad Hatta adalah putra Minangkabau, lahir di Bukittinggi, Sumatra Barat pada 12 Agustus 1902 dengan nama Muhammad Athar. Saat ini rumah kelahirannya menjadi museum di kota Bukittinggi. Dia lahir dari pasangan Muhammad Djamil dan Siti Saleha. Ayahnya merupakan seorang keturunan ulama tarekat di Batuhampar, dekat Payakumbuh, Sumatra Barat dan ibunya berasal dari keluarga pedagang di Bukittinggi.

Dalam perjalanan hidupnya, Mohammad Hatta berguru pada syech Muhammad Jamil Jambek, Abdullah Ahmad dan banyak ulama Minangkabau. Hatta menempuh pendidikan formal pertama kali di sekolah swasta dan kemudian pindah ke Sekolah Rakyat setelah belajar enam bulan. Setelah itu, Hatta pindah ke Europeesche Lagere School (ELS) di Padang (kini SMA Negeri 1 Padang) sampai tahun 1913, dan melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) sampai tahun 1917.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Hatta menikah dengan Rahmi Hatta dan tiga hari sesudahnya mereka bertempat tinggal di Yogyakarta. Mohammad Hatta adalah wakil presiden pertama Indonesia, sekaligus tokoh proklamasi yang bertugas menyusun teks proklamasi, memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, dan menandatangani teks proklamasi atas nama bangsa Indonesia bersama Ir. Soekarno. Selain itu, dia juga pemberi ide kalimat teks proklamasi “hal-hal tentang pemindahan kekuasaan dan lain-lain dilaksanakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”. Hatta menjadi pendamping Ir. Soekarno dalam upacara proklamasi dengan menggunakan pakaian serba putih.

Dalam karier politik nya, Hatta pernah menjabat sebagai Perdana Menteri dalam Kabinet Hatta I, Kabinet Hatta II, dan Kabinet Republik Indonesia Serikat (RIS). Kemudian, Hatta mundur dari jabatan wakil presiden pada 1956.

Keluarga dan kerabat memakamkan Mohammad Hatta di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan, setelah dia meninggal di RSCM pada 14 Maret 1980. Pemerintah Indonesia menetapkan Mohammad Hatta sebagai salah seorang Pahlawan Nasional Indonesia pada 23 Oktober 1986 melalui Keppres nomor 081/TK/1986. Atas jasanya bagi Republik Indonesia, Presiden Soeharto menganugerahkan Bintang Republik Indonesia Kelas I kepada Mohammad Hatta.

Fatmawati

Sebagai istri dari Ir. Soekarno, presiden pertama Indonesia, Fatmawati menjadi ibu negara pertama sejak tahun 1945-1967. Fatmawati adalah istri ketiga dari presiden Soekarno. Soekarno menikahi Fatmawati pada 1 Juni 1943 dan memiliki lima anak, yaitu Guntur Soekarnoputra, Megawati Soekarnoputri, Rachmawati Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri, dan Guruh Soekarnoputra.

Fatmawati menjahit Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih untuk dikibarkan pada upacara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Ia bersusah payah menjahit bendera merah putih dalam kondisi hamil tua anak sulungnya.

Birrul Walidain: Membangun Peradaban dari Meja Makan untuk Generasi Mulia

Fatmawati lahir dari pasangan Hasan Din dan Siti Chadijah, dengan nama Fatimah. Orang tuanya merupakan keturunan Putri Indrapura, salah seorang keluarga raja dari Kesultanan Indrapura, Pesisir Selatan, Sumatra Barat. Ayahnya merupakan salah seorang pengusaha dan tokoh Muhammadiyah di Bengkulu.

Fatmawati meninggal dunia karena serangan jantung ketika dalam perjalanan pulang umroh dari Makkah pada 14 Mei 1980. Keluarga memakamkan jenazah Fatmawati di Taman Pemakaman Umum (TPU) Karet Bivak, Jakarta Pusat.

Sayuti Malik

Sayuti lahir pada 22 November 1908 di Sleman, Yogyakarta dengan nama Mohamad Ibnu Sayuti. Anak dari pasangan Abdul Mu’in alias Partoprawito dengan Sumilah. Ayahnya seorang bekel jajar  atau kepala desa di Sleman, Yogyakarta. Sayuhi Malik bersekolah di Sekolah Ongko Loro (setingkat SD) di Desa Srowolan hingga kelas IV, kemudian melanjutkan pendidikannya di Yogyakarta hingga lulus dan mendapatkan ijazah.

Ayah Sayuti Malik menanamkan nasionalisme kepadanya sejak kecil dengan menentang Belanda yang menggunakan sawahnya untuk menanam tembakau. Ketika belajar di sekolah guru yang berada di Solo tahun 1920, Sayuti belajar nasionalisme dari guru sejarahnya yang berkebangsaan Belanda, yaitu H.A. Zurink.

Sayuti Melik berperan penting dalam sejarah Indonesia dengan mengetik naskah Proklamasi Kemerdekaan. Ia mengusulkan perubahan kalimat menjadi “atas nama bangsa Indonesia” dalam teks proklamasi.

Sayuti termasuk dalam kelompok Menteng 31, yang berperan dalam penculikan Ir. Soekarno dan Moh. Hatta pada 16 Agustus 1945. Sayuti dan para pemuda yang lain membawa Ir. Soekarno (bersama Fatmawati dan Guntur yang baru berusia sembilan  bulan) dan Moh. Hatta ke Rengasdengklok. Tujuannya adalah agar mereka tidak terpengaruh oleh Jepang.

Setelah Indonesia merdeka, Sayuti menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan dikenal sebagai pendukung Ir. Soekarno, tetapi juga sebagai orang yang berani menentang gagasan Nasakom (nasionalisme, agama, komunisme).

Sayuti mengusulkan agar Nasakom diubah menjadi Nasasos (nasionalisme, agama, sosialisme). Tidak hanya itu, dia juga menentang pengangkatan Ir. Soekarno sebagai presiden seumur hidup oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS).

Sayuti meninggal dalam usia 80 tahun di Jakarta, pada 27 Februari 1989 setelah setahun sakit. Dia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata. Sayuti menerima Bintang Mahaputra Tingkat V (1961) dari Ir. Soekarno dan Bintang Mahaputra Adipradana (II) dari Presiden Soeharto (1973).

Sutan Syahrir

Sutan Syahrir lahir pada 5 Maret 1909 di Padang Panjang, Sumatra Barat, dari pasangan Mohammad Rasad gelar Sutan Palindih dan Puti Siti Rabiah. Orang mengenalnya sebagai seorang intelektual, perintis, dan revolusioner kemerdekaan Indonesia.

Sjahrir mengenyam pendidikan dasar di Europeesche Lagere School (ELS) dan sekolah menengah di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) yang berada di Medan. Pada 1926, dia selesai sekolah dari MULO dan masuk ke sekolah lanjutan atas Algemeene Middelbare School (AMS) di Bandung.

Pada 20 Februari 1927, Syahrir termasuk sepuluh orang penggagas pendirian himpunan pemuda nasionalis, yaitu Jong Indonesië. Perhimpunan itu kemudian berubah nama menjadi Pemuda Indonesia yang menjadi motor terselenggaranya Kongres Pemuda Indonesia, kongres monumental yang mencetuskan Sumpah Pemuda pada 1928.

Syahrir melanjutkan pendidikan ke Belanda di Fakultas Hukum, Universitas Amsterdam untuk mendalami tentang sosialisme. Akhir tahun 1931, Syahrir meninggalkan kampusnya untuk kembali ke tanah air dan terjun dalam pergerakan nasional. Dia bergabung dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) Baru dan kemudian menjadi ketua partai tersebut pada Juni 1932.

Sutan Syahrir memainkan peran penting dalam Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dengan mempercepat proses proklamasi dan menyebarkan berita kekalahan Jepang. Dia mengasingkan Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok untuk menjauhkan mereka dari pengaruh Jepang dan mendesak proklamasi kemerdekaan. Syahrir juga mendukung pembentukan BPUPKI dan PPKI, yang menjadi fondasi bagi Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Setelah Indonesia merdeka, dia menjadi politikus dan perdana menteri pertama Indonesia dengan masa jabatan dari 14 November 1945 hingga 3 Juli 1947. Syahrir pernah menjabat ketua Partai Sosialis Indonesia (PSI), Ketua Delegasi Republik Indonesia dalam Perundingan Linggarjati, dan sebagai Duta Besar Keliling (Ambassador-at-Large) Republik Indonesia.

Sutan Sjahrir meninggal dunia sebagai tawanan politik pada 9 April 1966 di Zürich, Swiss, dalam usia 57 tahun, dan jenazahnya dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta. Pemerintah Indonesia menetapkan dirinya sebagai Pahlawan Nasional melalui Keppres nomor 76 tahun 1966.

Soekarni

Soekarni Kartodiwirjo lahir tanggal 14 Juli 1916 di Desa Sumberdiran, Blitar, Jawa Timur, sebagai anak keempat dari sembilan bersaudara dari pasangan Dimoen Kartodiwirjo dan Pidjah.  Ia menempuh pendidikan di Sekolah Mardisiswo Blitar (semacam Taman Siswa yang didirikan Ki Hajar Dewantara). Soekarni di sekolah itu belajar mengenai nasionalisme melalui Moh. Anwar, pendiri Mardidiswo sekaligus tokoh pergerakan Indonesia.

Pada 1934, dia berhasil menjadi Ketua Pengurus Besar Indonesia Muda. Sementara itu, Belanda mulai mencurigainya sebagai anak muda militan. Pada 1936, Belanda melakukan penggerebekan terhadap para pengurus Indonesia Muda, tetapi Soekarni berhasil kabur dan hidup dalam pelarian selama beberapa tahun.

Soekarni dan golongan muda lainnya menculik Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok untuk mendesak proklamasi kemerdekaan. Setelah keduanya setuju, Achmad Soebardjo membawanya kembali ke Jakarta untuk menyusun naskah proklamasi.

Begitu naskah selesai dibuat, Ir. Soekarno yang didukung oleh Moh. Hatta mengusulkan agar semua peserta yang hadir dalam rapat menandatangani teks tersebut. Namun, Soekarni mengusulkan agar hanya mereka berdua sajalah yang menandatangani naskah proklamasi sebagai wakil dari bangsa Indonesia.

Pada 1961, pemerintah menunjuk Soekarni sebagai Duta Besar Indonesia di Peking, RRT, dan dia kembali ke Indonesia pada Maret 1964. Konon, dalam pertemuan di Istana Bogor pada Desember 1964, dia sempat memperingatkan Ir. Soekarno atas sepak terjang PKI.

Pemerintah membekukan Partai Murba pada 1965, memenjara Soekarni dan pemimpin lainnya, namun kemudian membebaskan mereka dan merehabilitasi partai pada 17 Oktober 1966 selama Orde Baru.

Pemerintah menunjuk Soekarni sebagai anggota DPA pada 1967. Soekarni meninggal pada 7 Mei 1971 dan jenazahnya dimakamkan di TMP Kalibata dengan upacara kenegaraan, sebelumnya Soekarni telah menerima Bintang Mahaputra.

Achmad Soebardjo

Pemilik nama lengkap Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo lahir pada 23 Maret 1896 di Teluk Jambe, Karawang, Jawa Barat. Desa Teluk Jambe adalah sebuah desa kecil di tepi Sungai Citarum dan merupakan daerah penghasil beras di Provinsi Jawa Barat. Achmad Soebardjo merupakan anak bungsu dari empat bersaudara, hasil perkawinan dari Teuku Muhammad Yusuf dengan Wardinah. Ayahnya berasal dari keturunan bangsawan Aceh dari Pidie, sedangkan ibunya seorang putri camat di Telukagung, Cirebon keturunan Jawa–Bugis yang berasal dari Jawa Tengah.

Achmad Soebardjo turut menyukseskan terjadinya proklamasi yang diproklamirkan Ir. Soekarno dan Moh. Hatta. Perannya. Dia ikut membawa mereka kembali ke Jakarta setelah dibawa dengan paksa oleh para pemuda ke Rengasdengklok. Perjalanannya ke Rengasdengklok penuh dengan rintangan dan bahaya. Namun, ini tidak menyurutkan langkahnya untuk menyelamatkan kedua pemimpin bangsa Indonesia tersebut. Sesampainya di lokasi, dia berhasil membujuk para pemuda yang menyembunyikan Ir. Soekarno dan Moh. Hatta agar membawanya kembali ke Jakarta. Selain itu, dia juga meyakinkan para pemuda bahwa keduanya akan segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Tidak hanya itu, Achmad Soebardjo menjadi salah satu tokoh penting yang terlibat langsung dalam penyusunan naskah proklamasi. Soekarno menuliskan konsep teks proklamasi pada secarik kertas, sedangkan Mohammad Hatta dan Ahmad Soebardjo menyumbangkan pemikiran mereka secara lisan.

Tokoh Lain

Tokoh lain juga berperan dalam proklamasi kemerdekaan Indonesia, selain tokoh yang telah disebutkan.

Diantaranya, Laksamana Maeda menyediakan tempat tinggal untuk perumusan teks proklamasi. Laksamana Maeda merupakan seorang perwira tinggi Angkatan Laut Jepang. Soekarno, Hatta, dan Ahmad Soebardjo menyusun teks proklamasi di rumahnya di Jalan Imam Bonjol No. 1, Jakarta. Meskipun seorang perwira Jepang, Maeda tidak segan untuk memberikan bantuan kepada tokoh-tokoh Indonesia dalam proses proklamasi.

Kemudian ada Latif Hendraningrat, seorang tokoh militer Indonesia yang memiliki peran mengamankan Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Sebagai komandan pasukan PETA (Pembela Tanah Air), Latif Hendraningrat dan pasukannya berjaga-jaga di sekitar rumah Soekarno di Pegangsaan Timur 56 untuk memastikan upacara Proklamasi berjalan lancar tanpa gangguan dari pihak Jepang.

Ada nama Chaerul Saleh dan Wikana yang terlibat bersama Soekarni dalam peristiwa Reangasdengklok, yaitu saat Soekarno dan Hatta dibawa keluar Jakarta untuk mendapatkan kepastian bahwa mereka akan segera memproklamasikan kemerdekaan. Chaerul Saleh adalah tokoh yang gigih mendesak Soekarno agar segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Sedangkan Wikana adalah sosok yang berani menantang Soekarno secara langsung pada malam 16 Agustus 1945 agar segera memproklamasikan kemerdekaan.

Setelah proklamasi kemerdekaan dilaksanakan, Adam Malik menjadi tokoh pergerakan kemerdekaan yang memimpin Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Adam Malik berperan dalam menyebarluaskan berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Peran Adam Malik dalam menginformasikan Proklamasi ke seluruh dunia ini menjadi bagian penting untuk mendapatkan pengakuan internasional atas kemerdekaan Indonesia.

Itulah beberapa tokoh yang berjasa dalam Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Kemerdekaan yang diraih dengan perjuangan panjang oleh seluruh Rakyat Indonesia. Semoga dapat menambah wawasan.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement