Sosok
Beranda » Berita » KH. Hasyim Asy’ari: Pendiri Nahdlatul Ulama

KH. Hasyim Asy’ari: Pendiri Nahdlatul Ulama

KH. Hasyim Asy'ari
KH. Hasyim Asy'ari

Di antara deretan tokoh besar bangsa Indonesia, nama KH. Hasyim Asy’ari bersinar sebagai ulama yang tak hanya alim dalam ilmu agama, namun juga teguh dalam mempertahankan kemerdekaan negeri. Sosoknya menjadi simbol kekuatan moral, spiritual, dan nasionalisme yang menyatu dalam pribadi seorang santri sejati. Dialah pilar utama dunia pesantren modern dan pembelaan bangsa yang tak gentar menghadapi penjajahan.

KH. Hasyim Asy’ari tumbuh dalam Tradisi Ilmu

Hasyim Asy’ari lahir pada tanggal 14 Februari 1875 di Desa Gedang, Jombang, Jawa Timur. Ia tumbuh dalam lingkungan keluarga yang menjunjung tinggi ilmu dan agama. Ayahnya, KH. Asy’ari, adalah ulama terkemuka yang mendidiknya sejak kecil dengan nilai-nilai keislaman dan kecintaan pada ilmu.

Sejak usia muda, Hasyim kecil telah menempuh perjalanan intelektual yang luar biasa. Ia menimba ilmu dari pesantren ke pesantren, mulai dari Pesantren Wonokoyo, Langitan, hingga Bangkalan. Tak berhenti di tanah Jawa, KH. Hasyim Asy’ari pun melanjutkan pendidikannya ke Mekkah. Di sana, ia berguru kepada para ulama besar Haramain dan memperdalam ilmu hadits, fiqh, tafsir, hingga tasawuf. Ketekunannya dalam mencari ilmu menjadikannya bukan hanya alim, tetapi juga sangat disegani.

Mendirikan Pesantren Tebuireng: Oase Pendidikan di Tengah Penjajahan

Sekembalinya ke tanah air pada tahun 1899, KH. Hasyim Asy’ari merasakan kegelisahan. Ia menyaksikan umat Islam dalam keterbelakangan, serta tekanan penjajah yang semakin menggencet. Maka, ia mendirikan Pesantren Tebuireng di Jombang. Pesantren ini tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga menjadi pusat pemberdayaan umat dan perlawanan intelektual terhadap penjajahan.

Tebuireng kemudian berkembang pesat dan menjadi pesantren yang disegani. Melalui lembaga ini, KH. Hasyim Asy’ari melahirkan generasi ulama, guru, dan pemimpin yang diwajibkan pada nilai-nilai Islam dan cinta tanah air.

Cara Ampuh Mengobati Iri dan Dengki Menurut Imam Nawawi: Panduan Membersihkan Hati

Nahdlatul Ulama: Mewujudkan Organisasi Umat

Pada tahun 1926, KH. Hasyim Asy’ari bersama para ulama mendirikan Nahdlatul Ulama (NU) . Organisasi ini lahir sebagai respons atas kegelisahan umat terhadap dominasi pemikiran luar yang mengabaikan kearifan lokal dan tradisi keislaman nusantara. NU menjadi wadah perjuangan keagamaan, sosial, dan kebangsaan yang berdiri kokoh hingga kini.

Sebagai Rais Akbar pertama NU, KH. Hasyim Asy’ari meletakkan dasar-dasar pemikiran Islam Ahlussunnah wal Jama’ah yang moderat, inklusif, dan kontekstual. Ia menekankan pentingnya menjaga tradisi sambil tetap terbuka terhadap dinamika zaman. Di sini letak kebesaran visi beliau: menyatukan tradisi dan modernitas dalam satu tarikan nafas perjuangan.

Resolusi Jihad: Ketika Ulama Memanggil Umat untuk Bangkit

Puncak peran kebangsaan KH. Hasyim Asy’ari terjadi ketika Indonesia menghadapi ancaman kembalinya penjajah Belanda pasca proklamasi kemerdekaan. Pada tanggal 22 Oktober 1945, KH. Hasyim Asy’ari bersama para ulama NU mengeluarkan Resolusi Jihad , yang mencerminkan bahwa mempertahankan kemerdekaan adalah fardhu ain, kewajiban setiap umat Islam.

Seruan ini membakar semangat rakyat, terutama di Surabaya, yang kemudian menjadi titik pertempuran dahsyat melawan pasukan Sekutu. Resolusi ini pun menjadi bukti bahwa KH. Hasyim Asy’ari tidak hanya berdakwah dari mimbar, namun juga berdiri di garis depan perjuangan fisik dan ideologi melawan penjajahan.

Mbah Mangli: Ulama Kharismatik dari Lereng Andong Magelang

Berkat peran vital inilah, pemerintah Indonesia kemudian menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional, menghormati fatwa jihad KH. Hasyim Asy’ari dan kontribusi para santri dalam mempertahankan kemerdekaan.

Warisan Pemikiran: Ilmu, Akhlak, dan Nasionalisme

Hasyim Asy’ari tidak hanya meninggalkan lembaga, tetapi juga mewariskan pemikiran yang sangat mendalam. Dalam kitabnya Adabul ‘Alim wal Muta’allim , beliau menekankan pentingnya adab dalam menuntut ilmu. Menurutnya, ilmu tanpa akhlak ibarat senjata tanpa kendali—dapat merusak lebih dari membangun.

Ia juga menegaskan bahwa cinta tanah air adalah bagian dari iman. Pemikiran ini kemudian menjadi fondasi perjuangan umat Islam Indonesia dalam konflik keislaman dan persahabatan secara seimbang.

Di tengah zaman yang terus berubah, gagasan KH. Hasyim Asy’ari tetap hidup. Santri yang ia didik bukan hanya pembaca kitab, tetapi penjaga moral bangsa. Pesantrennya bukan hanya tempat belajar, tetapi kawah candradimuka kepemimpinan bangsa.

Akhir Hayat dan Keharuman Namanya

Hasyim Asy’ari wafat pada tanggal 25 Juli 1947, dalam usia 72 tahun. Namun, namanya tak pernah padam. Jutaan santri, ulama, dan masyarakat Indonesia terus mengenangnya sebagai Bapak Umat dan Bangsa .

Menangkal Hoaks dengan Bab “Menjaga Lisan”: Perspektif Imam Nawawi untuk Era Digital

Ia tidak hanya dikenang sebagai pendiri NU atau pengasuh pesantren, namun sebagai pejuang yang mewakafkan hidupnya untuk umat dan negeri . Di tengah derasnya arus zaman, kita harus meneladani semangat beliau: menggabungkan kekuatan ilmu, keagamaan, dan nasionalisme dalam satu langkah perjuangan.

Penutup: Dari Santri untuk Negeri

Hasyim Asy’ari telah menunjukkan bahwa menjadi santri bukan berarti menjauh dari kenyataan bangsa. Sebaliknya, menjadi santri berarti menjadi pembela negeri dengan cara yang beradab, cerdas, dan penuh cinta.

Kini, tanggung jawab berada di tangan generasi penerus. Jika para santri mampu melanjutkan warisan KH. Hasyim Asy’ari dengan semangat yang sama—menjaga agama, mencintai tanah air, dan mengabdi kepada umat—maka Indonesia akan tetap berdiri kokoh sebagai negeri yang berkeadaban dan mengarahkan.

 


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement