SURAU.CO – Dalam pusaran sejarah perjuangan bangsa Indonesia, kita menyaksikan KH. Hasyim Asy’ari berdiri kokoh sebagai tonggak perlawanan, kebangkitan spiritual, dan pencerahan intelektual. Pendiri Nahdlatul Ulama ini tak hanya memimpin secara spiritual, namun juga menggugah semangat kebangsaan. Ia berhasil memadukan nilai-nilai keislaman dengan cinta tanah air secara menyatu dan harmonis.
Kini, lebih dari seabad sejak kelahirannya, pemikiran KH. Hasyim Asy’ari tetap menyala. Justru di tengah situasi bangsa yang kian kompleks, masyarakat semakin membutuhkan pijakan moral dan spiritual seperti yang beliau wariskan. Polarisasi politik, krisis moral, dan gelombang radikalisme terus menggerus sendi-sendi kehidupan berbangsa. Oleh karena itu, kita harus kembali menggali aktualisasi pemikiran beliau dalam kehidupan masa kini.
Islam dan Nasionalisme: Dua Pilar yang Tak Terpisahkan
KH. Hasyim Asy’ari secara tegas mengajarkan bahwa Islam tidak pernah bertentangan dengan nasionalisme. Melalui berbagai fatwanya, ia menanamkan bahwa mencintai tanah air merupakan bagian dari iman. Ajaran terkenalnya, “Hubbul wathan minal iman” (cinta tanah air adalah bagian dari iman), berhasil menumbuhkan semangat juang para santri dan umat Islam dalam mempertahankan kemerdekaan.
Contoh nyata, ketika Jepang menduduki Indonesia dan Belanda berusaha kembali merebut kekuasaan, KH. Hasyim Asy’ari segera merespons situasi tersebut. Melalui Resolusi Jihad pada tanggal 22 Oktober 1945, beliau bertemu umat Islam untuk mempertahankan kemerdekaan sebagai bentuk jihad fi sabilillah. Dengan demikian, beliau menunjukkan kemampuan luar biasa dalam mengaktualisasikan ajaran Islam dalam konteks sosial-politik yang sedang berlangsung.
Lebih jauh lagi, semangat ini mengajarkan kita bahwa agama bukan hanya mencakup ritus pribadi, melainkan menjadi landasan moral serta kekuatan spiritual dalam membangun peradaban bangsa.
Menanamkan Akhlak dalam Politik dan Pendidikan
Tak hanya berbicara soal nasionalisme, KH. Hasyim Asy’ari juga memberikan perhatian besar terhadap pentingnya akhlak dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam politik dan pendidikan. Dalam kitabnya Adabul ‘Alim wal Muta’allim, beliau menjelaskan bahwa ilmu harus berjalan seiring dengan adab. Ia menegaskan, tanpa akhlak, ilmu justru bisa berubah menjadi senjata yang merusak, bukan membangun.
Kenyataan hari ini membuktikan pandangan beliau. Kita menyaksikan banyak cendekiawan dan elit politik yang mengabaikan akhlak. Mereka mungkin cerdas, tapi kehilangan integritas. Korupsi, otoritas, dan dekadensi moral menjadi bukti bahwa kecerdasan tanpa adab tak akan membawa maslahat. Dalam konteks ini, kita harus menghidupkan kembali pemikiran KH. Hasyim Asy’ari: bahwa pendidikan seharusnya melahirkan manusia berilmu yang beradab dan bertanggung jawab.
Refleksi Kebangsaan: Jalan Menuju Persatuan
Terlebih lagi, ketika bangsa ini memasuki era digital dan menghadapi tantangan globalisasi, kita harus mengakui bahwa persoalan terbesar adalah perebutan kembali persatuan. Polarisasi politik, maraknya hoaks, dan tumbuhnya kebencianan kebencian secara terang-terangan mulai mencabik tenunan kebangsaan yang telah dirajut dengan susah payah.
KH. Hasyim Asy’ari telah memberikan warisan berharga berupa konsep ukhuwah atau persaudaraan. Ia mengajarkan pentingnya membangun ukhuwah islamiyah (persaudaraan sesama muslim), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sebangsa), dan ukhuwah basyariyah (persaudaraan antarumat manusia). Nilai ketiga ini seharusnya kita jadikan sebagai fondasi dalam menjaga keharmonisan sosial dan integrasi nasional di tengah kemajemukan.
Dengan menanamkan nilai-nilai tersebut, kita dapat membentengi bangsa ini dari perpecahan serta membangun peradaban yang damai, toleran, dan berkeadaban.
Santri dan Generasi Muda: Pewaris Nilai Kebangsaan
Lebih jauh lagi, KH. Hasyim Asy’ari menaruh harapan besar pada generasi muda, khususnya para santri. Beliau memandang santri bukan sekedar penghafal kitab, melainkan sebagai agen perubahan. Oleh karena itu, tugas santri masa kini adalah meneruskan perjuangan estafet dengan menjaga semangat kebangsaan yang religius dan inklusif.
Menjadi santri hari ini berarti aktif menyuarakan nilai-nilai kejujuran, kerja keras, toleransi, dan cinta tanah air, baik di dunia nyata maupun dunia digital. Mereka harus siap melawan disinformasi, menyebarkan narasi kebaikan, dan menegakkan kebenaran dengan cara yang bijak serta santun.
Aktualisasi pemikiran KH. Hasyim Asy’ari di era ini membutuhkan peran santri yang tidak hanya saleh dalam ibadah, tetapi juga cakap dalam menjawab tantangan zaman dengan ilmu dan akhlak.
Penutup: Meneladani, Bukan Sekadar Mengagumi
Akhirnya, kita harus menyadari bahwa memahami KH. Hasyim Asy’ari tidak cukup hanya sekedar mengagumi tokohnya. Kita harus meneladani seluruh pemikirannya dalam praktik kehidupan sehari-hari: memadukan keimanan dengan nasionalisme, menegakkan akhlak dalam segala bidang, serta menjaga persatuan dalam keberagaman.
Refleksi kebangsaan tidak boleh berhenti sebagai seremoni tahunan. Kita harus menjadikannya sebagai kesadaran kolektif untuk terus merawat Indonesia dengan semangat para ulama pejuang. KH. Hasyim Asy’ari telah mewakafkan seluruh hidupnya demi agama dan negara. Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi kita untuk hidup diam menghadapi tantangan zaman. Sudah saatnya kita melangkah, membawa warisan nilai beliau menuju masa depan bangsa yang lebih berpotensi dan berkeadaban.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
