Surau.co. Pro dan kontra tentang rokok dalam Islam masih berlangsung hingga kini. Hukum merokok sangat bergantung pada sudut pandang fiqih, data kesehatan, dan konteks sosial umat Islam.
Perdebatan ini mencakup aspek hukum, kesehatan, budaya, serta pengaruhnya terhadap umat Islam, khususnya di wilayah Nusantara.
Hukum Merokok
Sebagian ulama menyatakan bahwa hukum merokok adalah haram, merujuk pada kaidah fiqih yang berbunyi “La dharara wa la dhirara” (tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain)
Selain itu, dalam Al-Qur’an surah Al-A’raf Ayat 157 “…dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk…” sehingga rokok dikategorikan sebagai “khaba’its” (hal-hal buruk), karena baunya tidak enak dan merusak kesehatan.
Lembaga seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 2009 mengeluarkan fatwa haram terhadap merokok di tempat umum, dan mengharamkan rokok secara keseluruhan bagi anak-anak dan ibu hamil.
Hal ini dikuatkan oleh hasil riset medis yang menyebutkan bahwa rokok menyebabkan kanker, jantung, stroke, serta menimbulkan efek negatif terhadap lingkungan (secondhand smoke).
Sebaliknya, sebagian ulama lain menyatakan hukum makruh, bukan haram. Selain itu, sebagian ulama juga berpendapat bahwa hukum rokok bisa berubah tergantung konteks. Jika membahayakan kesehatan dan merugikan orang lain, maka bisa menjadi haram. Namun jika tidak menimbulkan mudarat besar, hukumnya bisa makruh.
Perkembangan Rokok di Nusantara
Di wilayah Nusantara, terutama Indonesia, rokok menjadi bagian yang tak terpisahkan dari budaya dan kehidupan sosial. Beberapa pesantren tradisional bahkan tidak melarang merokok, asalkan dilakukan di tempat yang ditentukan.
Namun, sejak berkembangnya gerakan Islam modernis dan masuknya kajian kesehatan global, banyak pesantren dan organisasi Islam mulai mengambil sikap tegas terhadap rokok.
Muhammadiyah, misalnya, telah mengharamkan rokok sejak tahun 2010 bagi warganya karena mempertimbangkan bahaya kesehatan dan kerugian sosial-ekonomi.
Kontroversi Rokok dalam Islam
Kontroversi utama muncul dari ketidaksepakatan dalam menafsirkan dalil-dalil syar’i dan data ilmiah. Bagi yang pro terhadap pengharaman rokok, dalil-dalil kesehatan dan prinsip maqashid syariah (menjaga jiwa) adalah bukti kuat.
Mereka menganggap bahwa Islam sebagai agama rahmat menuntut umatnya menjauhi hal-hal yang merusak diri dan masyarakat.
Namun pihak yang kontra terhadap pengharaman total rokok berpendapat bahwa tidak semua kebiasaan buruk langsung haram hukumnya. Mereka menyamakan rokok dengan konsumsi gula atau makanan cepat saji yang juga memiliki dampak negatif tetapi belum tentu dihukumi haram.
Selain itu, terdapat juga faktor ekonomi yang mempengaruhi kontroversi ini. Industri rokok di Indonesia melibatkan jutaan petani tembakau, buruh pabrik, dan pedagang kecil.
Beberapa kalangan menyuarakan bahwa pengharaman rokok dapat membawa dampak ekonomi serius bagi umat Islam sendiri, terutama di pedesaan.
Sikap Organisasi Islam
Organisasi Islam di Indonesia memiliki sikap beragam terhadap rokok. MUI menyatakan hukum merokok adalah haram dalam konteks tertentu seperti untuk anak-anak dan tempat umum.
Muhammadiyah tegas mengharamkan rokok untuk semua kalangan, sedangkan Nahdlatul Ulama (NU) cenderung bersikap lebih moderat, dan menyerahkan kembali pada kondisi serta niat individu.
Lembaga internasional seperti Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengeluarkan laporan bahwa rokok membunuh lebih dari 8 juta orang per tahun, termasuk 1,2 juta perokok pasif.
Umat Islam dianjurkan untuk memilih sikap yang mendekatkan diri pada nilai-nilai Islam yaitu menjaga kesehatan, menghargai lingkungan, dan tidak membahayakan orang lain.
Pendekatan yang bijak dan edukatif lebih efektif daripada hanya menyalahkan tanpa solusi. Maka, pemahaman kontekstual serta ilmu pengetahuan harus berjalan seiring dalam melihat persoalan rokok ini. *TeddyNs
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
