SURAU.CO – Di balik perjalanan agung Al-Qur’an hingga kita bisa membaca hari ini, tersimpan kisah mulia tentang seorang perempuan tangguh, Hafshah binti Umar. Ia tidak hanya menjadi putri Umar bin Khattab dan istri Rasulullah ﷺ, tetapi juga memegang amanah besar dalam sejarah Islam: menjaga mushaf Al-Qur’an pertama.
Lahir dari Ayah yang Tegas, Menjadi Istri yang Mulia
Hafshah lahir dari keluarga bangsawan Quraisy yang terhormat. Ayahnya, Umar bin Khattab, menjadi tokoh besar Islam yang memimpin sebagai khalifah kedua setelah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Ibunya bernama Zainab binti Mazh’un, membesarkannya dengan nilai-nilai mulia.
Sejak kecil, Hafshah menunjukkan kecerdasannya, daya ingat yang kuat, dan semangat tinggi dalam menuntut ilmu. Setelah suaminya, Khunais bin Hudhafah, gugur dalam Perang Badar, ia menjalani masa sebagai janda. Dalam situasi itu, Rasulullah ﷺ datang meminangnya. Hafshah pun menjadi salah satu Ummul Mukminin—istri Nabi yang mendapat kehormatan tinggi.
Sebagai istri Rasulullah ﷺ, Hafshah hidup dalam lingkaran wahyu. Ia mendengarkan langsung firman Allah, menyaksikan perilaku kenabian, dan menimba ilmu dari sumber yang paling murni.
Mengemban Amanah Besar: Menjaga Mushaf Al-Qur’an
Hafshah memainkan peran penting dalam sejarah pelestarian Al-Qur’an. Setelah Rasulullah ﷺ wafat, umat Islam menghadapi ujian besar. Banyak penghafal Al-Qur’an gugur dalam Perang Yamamah, sehingga Umar bin Khattab merasa khawatir jika umat kehilangan bagian-bagian dari Al-Qur’an.
Ia kemudian menyampaikan kekhawatirannya kepada Khalifah Abu Bakar. Abu Bakar pun menunjuk Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an dari hafalan para sahabat dan catatan yang tersebar. Zaid melaksanakan tugas itu dengan sangat hati-hati dan penuh tanggung jawab.
Setelah Zaid berhasil menyusun mushaf, Abu Bakar menyimpannya. Ketika Abu Bakar wafat, Umar menerima mushaf tersebut. dan saat ajal menjemput Umar, ia menyerahkannya kepada Hafshah. Hafshah lalu menjaga mushaf itu dengan penuh amanah dan kehati-hatian. Ia tidak hanya menyimpannya, tetapi juga melindunginya seolah menyelamatkan nyawanya sendiri.
Mushaf Hafshah Menjadi Rujukan Umat
Pada masa Khalifah Utsman bin Affan, perbedaan dalam pembacaan Al-Qur’an mulai menimbulkan kekhawatiran di kalangan umat. Utsman segera mengambil langkah untuk menyatukan bacaan tersebut. Ia membentuk tim kodifikasi mushaf dan kembali melibatkan Zaid bin Tsabit sebagai.
Langkah penting dalam kodifikasi ini adalah meminjam mushaf milik Hafshah. Utsman meminta izin, dan Hafshah memberikan mushaf itu untuk dijadikan referensi utama. Keputusan Utsman menunjukkan bahwa mushaf yang Hafshah simpan memiliki keabsahan tinggi di mata para sahabat.
Dengan menjadikan mushaf Hafshah sebagai rujukan, Utsman menyusun beberapa salinan-salinan (mushaf utsmani) dan menyebarkannya ke berbagai wilayah Islam. Hingga kini, umat Islam di seluruh dunia membaca Al-Qur’an berdasarkan mushaf Utsmani yang Merujuk pada mushaf yang Hafshah jaga dengan setia.
Setelah tim kodifikasi menyelesaikannya, Utsman mengembalikan mushaf itu kepada Hafshah. Ia terus menyimpannya dengan penuh tanggung jawab hingga akhir hayatnya. Diam-diam, Hafshah telah menyelamatkan generasi demi generasi dari kehilangan Al-Qur’an.
Keteladanan Seorang Penjaga Wahyu
Perjalanan hidup Hafshah membuktikan bahwa perempuan dalam Islam tidak hanya berdiri sebagai pelengkap, tetapi berperan sebagai penopang dakwah dan penjaga risalah. Hafshah hadir sebagai teladan perempuan yang cerdas, amanah, dan berani memikul tanggung jawab besar.
Dari Hafshah, kita bisa mengambil banyak pelajaran berharga:
- Ilmu sebagai pelita kehidupan. Hafshah mencintai ilmu, mencatat wahyu, dan berusaha memahami ayat-ayat Allah.
- Amanah adalah kehormatan. Ia menjaga mushaf dengan kesungguhan hati dan rasa cinta kepada Al-Qur’an.
- Perempuan bisa menjadi penjaga peradaban. Ia memberikan kontribusi nyata, tidak hanya di dalam rumah, tetapi juga dalam sejarah besar umat ini.
Penutup: Amanah Itu Kini di Tangan Kita
Sejarah Islam tidak akan pernah lengkap tanpa mencatat peran besar Hafshah binti Umar sebagai penjaga mushaf Al-Qur’an. Di tangannya, mushaf pertama tersimpan dengan aman. Dari rumahnya, cahaya wahyu menyinari dunia.
Kini, kita memegang tanggung jawab besar. Menjaga Al-Qur’an tidak cukup dengan menyimpannya, tetapi harus kita pahami, kita amalkan, dan kita ajarkan. Hafshah telah memberi teladan—dan kini tugas kita untuk meneruskannya.
Semoga Allah menjadikan kita seperti Hafshah—mencintai wahyu, menjaga agama, dan menjadi penerus cahaya yang menyinari zaman.
“وَإِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ”
“Dan sungguh Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar menjaganya.” (QS. Al-Hijr: 9)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
