Kisah
Beranda » Berita » Al-Qomah, Ahli Ibadah yang Gagap Saat Sakaratul Maut. Kenapa?

Al-Qomah, Ahli Ibadah yang Gagap Saat Sakaratul Maut. Kenapa?

Ilustrasi Al Qomah kesulitan bicara di sakaratul maut
Ilustrasi Al Qomah kesulitan bicara di sakaratul maut

Surau.co – Perjalanan hidup Al-Qomah menjadi salah satu pelajaran yang menyayat hati dalam khazanah kisah-kisah umat muslim terdahulu. Sebab, sebagai seorang ahli ibadah, Al Qomah justru mengalami peristiwa yang menjadi kekhawatiran banyak muslim. Yakni sulit mengucap kalimat syahadat saat sakaratul maut.

Kisah Al qomah tertuang dalam kitab al-Kabair karya Syamsuddin Abu ‘Abdillah Adz-Dzahabi (Beirut: Darun Nadwah, hal. 46). Meski ada sebagian orang yang menganggap kebenarannya lemah, kisahnya memberi pelajaran berharga bagi umat islam. Kisah ini, banyak mendapat ulasan di mimbar masjid, tempat ngaji, hingga sekolah karena relevansinya yang dapat kita rasakan hingga saat ini.

Al Qomah Seorang Ahli Ibadah

Dalam kisah tersebut, Al-Qomah terkenal sebagai sosok muslim yang paripurna dalam beribadah. Ia rajin salat, gemar berpuasa, dan tekun membaca Al-Qur’an. Semua ibadah lahiriah, ia kerjakan secara maksimal.

Sehingga masyarakat sekitar, menganggapnya sebagai panutan dalam urusan agama. Tak heran, ketika ia jatuh sakit keras, orang-orang menyakini bahwa kematiannya akan berjalan mudah. Penuh ketenangan seperti janji Allah kepada orang-orang saleh. Namun yang terjadi justru sebaliknya.

Saat berada di ambang sakaratul maut, lidah Al Qomah kelu. Ia tak mampu mengucapkan kalimat tauhid dengan nafas tersengal-sengal. Setiap kali berusaha mengucap kalimat laa ilaaha illallah, mulutnya terkunci. Seolah, ada sesuatu yang menahannya

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Para kerabat yang panik, lantas memanggil Nabi Muhammad untuk melihat keadaan Al-Qomah. Melihat kondisinya, Nabi lalu bertanya kepada keluarga Al-Qomah, “Apakah ia masih memiliki orang tua?” Mereka menjawab, “Ia masih memiliki seorang ibu yang sudah tua renta.” Maka Nabi pun meminta agar ibu Al-Qomah menemui anaknya.

Sakit Hati Sang Ibu mengganjal Kepergiannya

Selang tak begitu lama, sang ibu datang dengan tubuh yang gemetar. Ketika Nabi bertanya padanya, bagaimana hubungan dengan anaknya, sang ibu mengakui tidak cukup baik. Ia mengaku kerap sakit hati dengan perilaku anaknya.

Mendengar itu, Nabi meminta sang ibu untuk memaafkan anaknya. Harapannya, mulut Al Qomah bisa ringan dalam mengucapkan kalimat tauhid di sakaratul maut. Namun sang ibu yang terlanjur sakit hati, menolak permintaan itu.

Maka Nabi pun membuat pernyataan yang mengguncang semua orang. Nabi memerintahkan semua orang untuk mengumpulkan kayu bakar. Kayu itu untuk membakar jasad Al Qomah yang tak kunjung wafat.

Mendengar itu, sang ibu langsung menangis dan luluh. Dengan sisa-sisa kasih sayangnya, ia mau memaafkan dosa anaknya. Benar saja, bgitu sang ibu memaafkan dengan ikhlas, lidah Al-Qomah pun menjadi ringan. Ia mampu mengucapkan tauhid dengan jelas. Tak lama kemudian, ia wafat dengan tenang.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Peristiwa itu menyentak banyak orang. Mereka yang menyaksikan tersadar. Bahwa ibadah ritual semata, tidak cukup. Kaum muslim juga dituntut berlaku baik kepada orang tuanya.

Banyak Pelajaran dari Kisah Al-Qomah

Terlepas dari perdebatan apakah ini nyata atau tidak, kisah Al Qomah memberi pesan moral yang kuat melintasi jaman. Kisah ini menjadi pengingat keras bahwa restu orang tua, terutama ibu, bisa menjadi penentu ringan atau beratnya kematian seseorang.

Dalam budaya Islam, ridha Allah sangat bergantung pada ridha orang tua. Hal itu sesuai hadits Nabi Muhammad :

رِضَا اَللَّهِ فِي رِضَا اَلْوَالِدَيْنِ, وَسَخَطُ اَللَّهِ فِي سَخَطِ اَلْوَالِدَيْنِ

 “Ridha Allah tergantung kepada ridha orang tua, dan murka Allah tergantung kepada murka orang tua.” (HR. Tirmidzi)

Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi

Dalam konteks hari ini, kisah Al-Qamah juga menjadi kritik terhadap mereka yang tampak religius secara lahiriah, tapi lupa menjunjung tinggi adab. Ibadah tak hanya soal hubungan vertikal kepada Allah, tapi juga hubungan horizontal kepada sesama manusia, terutama orang tua yang telah merawat kita.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement