SURAU.CO. Makanan memiliki pengaruh besar bagi tubuh manusia. Namun bagi para pencari kebenaran, makanan juga memengaruhi jiwa. Sebuah hidangan bisa memberikan energi untuk beribadah. Sebaliknya, makanan dari sumber tidak jelas dapat memadamkan semangat. Inilah kisah sufi dan kambing curian yang menjadi pelajaran berharga. Kisah ini menyoroti betapa pentingnya kehalalan sesuatu yang kita konsumsi.
Kisah ini bermula dari sebuah undangan makan. Sekelompok sufi memenuhi undangan dari seorang dermawan. Untuk itu mereka datang dengan hati yang gembira. Namun salah satu rombongan itu terdapat seorang ulama besar. Beliau adalah Syekh Syairazi, seorang sufi masyhur pada masanya. Kemudian setelah tiba, acara Tuan rumah menyambut mereka dengan sangat terhormat. Berbagai hidangan lezat telah ada untuk para tamunya.
Selanjutnya suasana terasa hangat dan penuh keakraban. Para sufi menikmati jamuan yang tersaji. Mereka menyantap aneka hidangan dengan penuh syukur. Namun, sebuah keanehan terjadi saat mereka mulai mencicipi masakan kambing. Hidangan itu terasa sangat lezat di lidah. Akan tetapi, efeknya terasa sangat aneh pada tubuh dan jiwa mereka.
Kantuk Aneh
Satu per satu dari mereka mulai merasakan kantuk. Bukan kantuk biasa karena lelah atau kekenyangan. Ini adalah rasa kantuk yang berat dan tak tertahankan. Kelopak mata mereka seolah ditarik oleh kekuatan gaib. Semangat untuk berdiskusi dan berzikir mendadak hilang. Mereka semua dilanda kelesuan yang luar biasa. Kondisi ini membuat Syekh Syairazi merasa sangat penasaran.
Beliau merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Firasatnya sebagai seorang ahli spiritual sangat tajam. Beliau tahu rasa kantuk ini bukanlah fenomena biasa. Ada sebab spiritual di balik kelelahan fisik ini. Dengan penuh kelembutan, sang Syekh bertanya kepada tuan rumah.
“Apa yang menyebabkan kami tiba-tiba merasa kantuk yang amat sangat?” tanya Syekh Syairazi dengan penuh selidik.
Tuan rumah tampak bingung mendengar pertanyaan itu. Ia hanya bisa menggelengkan kepalanya perlahan. “Tidak tahu,” jawabnya singkat, menyiratkan ketidaktahuannya.
Pencarian
Melihat wajah penasaran para tamunya, tuan rumah melanjutkan bicara. Ia mencoba memberikan penjelasan yang mungkin relevan.
Tuan rumah tersebut berkata, ”Mungkin syekh dapat mencari penyebabnya dengan mendengar cerita saya. Sebelum mengadakan jamuan ini, saya telah berusaha keras mengumpulkan hidangan yang tersaji tadi dengan bahan-bahan yang jelas asal usulnya, kecuali seekor kambing. Saya memang belum sempat menanyakan status hukum kambing itu.”
Pengakuan jujur dari tuan rumah membuka sebuah petunjuk. Syekh Syairazi dan tuan rumah akhirnya bersepakat. Mereka harus menelusuri asal-usul kambing tersebut. Keputusan pun dibuat. Esok pagi, mereka akan mendatangi penjual kambing itu. Mereka ingin memastikan status hukum hewan yang telah menjadi hidangan.
Terungkapnya Kebenaran
Keesokan paginya, rombongan para sufi itu berangkat. Mereka menuju pasar tempat kambing itu dibeli. Tekad mereka sudah bulat untuk menemukan jawaban. Setelah tiba di tujuan, mereka langsung menemui si penjual. Tanpa basa-basi, Syekh Syairazi menanyakan asal mula kambing itu.
Jawaban si pedagang kambing sangat mengejutkan. Ia mengaku dengan wajah tertunduk.
“Saya sebetulnya mulanya tidak mempunyai apa-apa. Kemudian saya mencuri seekor kambing lalu menjualnya,” ungkap si pedagang kambing.
Sontak rombongan sufi itu terperanjat. Ternyata, hidangan kambing lezat yang mereka santap berasal dari hasil curian. Makanan haram itulah yang menjadi penyebab kantuk aneh mereka. Energi negatif dari makanan tersebut telah memengaruhi kejernihan spiritual mereka.
Harga Sebuah Keridaan
Mereka tidak berhenti sampai di situ. Rombongan sufi tersebut segera mencari petani pemilik kambing. Mereka ingin meminta maaf dan keridaan dari orang yang terzalimi. Setelah bertemu, mereka menjelaskan semuanya dan memohon keikhlasan sang petani.
Petani itu mendengarkan dengan saksama. Namun, ia mengajukan syarat yang sangat berat. Ia meminta ganti rugi sebanyak 100 ekor anak kambing. Sebuah permintaan yang luar biasa untuk seekor kambing yang hilang.
Tanpa berpikir panjang, tuan rumah dan para sufi menyanggupi syarat itu. Mereka tidak hanya memenuhi permintaan tersebut. Mereka bahkan menambahkan sebidang tanah, dua anak sapi, seekor himar, dan berbagai alat pertanian. Semua itu mereka berikan demi mendapatkan keridaan sang petani. Mereka sadar bahwa membersihkan diri dari efek makanan haram jauh lebih berharga dari harta benda. Kisah sufi dan kambing curian ini mengajarkan bahwa apa yang masuk ke perut akan menentukan kualitas ibadah dan ketenangan jiwa.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
