Bagaimana Islam Memandang Tradisi Nyekar atau Menabur Bunga Di Atas Makam?
Tradisi menabur bunga di atas makam atau yang dikenal dengan istilah “nyekar”, telah menjadi bagian dari budaya masyarakat Muslim di Indonesia, khususnya menjelang momen sakral seperti Lebaran Idul Fitri atau bahkan dilakukan rutin di hari Jumat. Praktik ini bukan sekadar kebiasaan turun-temurun, melainkan sebuah tradisi yang sarat makna spiritual dan historis. Artikel ini akan mengupas tuntas dasar hukum dan argumen di baliknya.
Nyekar Bentuk Akulturasi Budaya dan Ibadah yang Dianjurkan
Nyekar atau ziarah kubur merupakan salah satu budaya di Indonesia yang sering masyarakat lakukan. Masyarakat melakukan penaburan bunga di makam dan seringkali melanjutkannya dengan doa bersama. Dalam Literatur Tebuireng menjelaskan bahwa tradisi nyekar terbentuk akibat akulturasi budaya Islam, Jawa, dan Hindu. Meskipun awalnya Islam sempat mengharamkan ziarah kubur, kemudian menganjurkannya sebagai ibadah yang memiliki maksud dan tujuan beragam bagi setiap individu.
Menurut perspektif NU, tindakan menabur bunga di atas kuburan hukumnya sunnah. Praktik ini membawa harapan besar, yaitu dapat meringankan beban dosa si mayit. Sebuah analogi (qiyas) terhadap contoh Nabi Muhammad SAW yang menggunakan pelepah kurma melatarbelakangi tradisi ini.
Dalil-Dalil Kuat yang Menjadi Dasar
Beberapa sumber dan argumen syar’i menopang keabsahan praktik menabur bunga di makam:
1. Hadis Nabi Muhammad SAW: Kisah Pelepah Kurma yang Melegakan Siksa
Shahih Bukhari meriwayatkan salah satu dalil utama dari Ibnu Abbas RA. Hadis ini menceritakan bahwa Rasulullah SAW pernah melewati dua kuburan dan kemudian bersabda:
“Sesungguhnya kedua ahli kubur ini sedang disiksa, dan keduanya tidak disiksa karena dosa besar. Adapun salah satunya, maka ia dahulu tidak membersihkan diri dari kencingnya. Dan adapun yang lainnya, maka ia dahulu suka mengadu domba (namimah).”
Kemudian, Nabi meminta pelepah kurma dan membelahnya menjadi dua, lalu meletakkannya masing-masing di atas kuburan tersebut. Ketika ditanya alasannya, beliau menjawab, “Semoga Allah meringankan siksa kedua orang tersebut selama dua pelepah kurma ini belum kering.” (HR. Bukhari)
Hadis ini menjadi fondasi utama. Para ulama mengqiyaskan bahwa jika pelepah kurma yang masih basah dapat meringankan siksa kubur karena tasbihnya (dzikirnya) kepada Allah, maka tumbuhan lain yang masih segar dan basah, seperti bunga, juga berpotensi memberikan efek serupa. Selain itu, para malaikat dipercaya menyukai keharuman bunga. Hadis ini menjadi dasar qiyas (analogi) antara pelepah kurma basah dengan bunga segar, menunjukkan bahwa media yang masih segar dan basah memiliki kesamaan fungsi simbolis dalam meringankan siksa kubur.
2. Pandangan Ulama Klasik: Syekh Abu Bakar al-Syatha dan Syekh As-Syarbini
Seorang ulama terkemuka, Syekh Abu Bakar al-Syatha, dalam karyanya I’anatu al-Thalibin, secara eksplisit mendukung praktik ini. Beliau menyatakan:
يُسَنُّ وَضْعُ جَرِيْدَةٍ خَضْرَاءَ عَلَى الْقَبْرِ، لِلْاِتِّبَاعِ، وَلِأَنَّهُ يُخَفِّفُ عَنْهُ بِبَرَكَةِ تَسْبِيْحِهَا. وَقِيْسَ بِهَا مَا اعْتِيْدَ مِنْ طَرْحِ نَحْوِ الرَّيْحَانِ الرَّطْبِ.
Artinya: “Disunnahkan meletakkan pelepah kurma yang masih hijau di atas kuburan, karena mengikuti (Nabi), dan karena hal tersebut meringankan (siksa) ahli kubur dengan keberkahan tasbihnya pelepah. Dan diqiyaskan (dianalogikan) dengan itu apa yang biasa dilakukan seperti meletakkan wewangian basah (bunga atau tumbuh-tumbuhan harum).” (Muhammad bin Umar al-Jawi, Nihayat al-Zain, Jilid 1, halaman 54)
Syekh As-Syarbini dalam kitab Al-Iqna juga memberikan penjelasan rinci mengenai praktik menabur bunga di makam. Beliau menyebutkan bahwa kita dapat menggunakan benda-benda beraroma sedap atau bersifat segar, seperti aneka flora, untuk nyekar. Pernyataan ini secara tegas memperkuat bahwa meletakkan bunga basah di atas kuburan merupakan praktik sunnah karena menganalogikannya dengan pelepah kurma. Selama bunga masih basah, ia terus bertasbih, dan keharumannya menjadi penarik bagi malaikat.
3. Hadis Nabi Muhammad SAW: Menyiram Air di Kuburan
Sebuah hadis lain juga memberikan konteks tambahan, meskipun tidak secara langsung menyebut bunga:
أَنَّ النَّبِيَّ ( صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ) رَشَّ عَلَى قَبْرِ اِبْرَاهِيْمَ اِبْنِهِ وَوَضَعَ عَلَيْهِ حَصْبَاءَ
Artinya: “Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW menyiram (air) di atas kubur Ibrahim, anaknya dan meletakkan kerikil di atasnya.” (HR. Al-Syafi’i)
Kita dapat memahami penyiraman air di kuburan sebagai upaya menjaga kelembaban yang secara tidak langsung mendukung keberlanjutan tasbih dari tumbuhan atau bunga yang ditaburkan. Air juga bisa memberikan efek mendinginkan bagi area kuburan.
Manfaat dan Hikmah Tradisi Nyekar
Tradisi nyekar membawa berbagai manfaat dan hikmah bagi yang melakukan, baik secara spiritual maupun sosial:
- Menguatkan Iman dan Takwa, Mengingat kematian mendorong kita untuk lebih mempersiapkan diri menghadapi akhirat. Merenungkan perjalanan hidup leluhur dapat menjadi inspirasi untuk berbuat kebaikan.
- Memperkuat Ikatan Keluarga, Momen berkumpul bersama keluarga besar dalam suasana spiritual. Ini menjadi kesempatan untuk saling memaafkan dan mempererat silaturahmi.
- Meningkatkan Kesadaran Sejarah, Mengenang jasa dan perjuangan leluhur. Kita harus melestarikan nilai-nilai luhur warisan generasi sebelumnya.
- Sarana Introspeksi Diri, Merefleksikan perjalanan hidup dan pencapaian diri. Ini mendorong kita untuk memperbaiki diri dan meningkatkan amal ibadah.
- Menjaga Keseimbangan Spiritual, Menghubungkan diri dengan alam spiritual di tengah kesibukan duniawi. Ini menenangkan jiwa dan pikiran, terutama menjelang bulan suci.
Harmonisasi Ajaran Islam dan Kearifan Lokal
Dari berbagai dalil, penjelasan ulama, dan perspektif sejarah, praktik menabur bunga di kuburan dalam tradisi nyekar mendapatkan pijakan yang kuat dalam Islam sebagai amalan sunnah. Ini bukan sekadar tradisi tanpa makna, melainkan sebuah bentuk permohonan agar Allah meringankan siksa ahli kubur melalui keberkahan tasbih dari tumbuhan yang masih hidup dan harum. Tradisi ini mencerminkan harmonisasi antara ajaran Islam dan budaya lokal, menunjukkan bagaimana nilai-nilai universal agama dapat beradaptasi dengan kearifan setempat tanpa menghilangkan esensinya, sekaligus memperkuat kesadaran spiritual umat Islam.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
