Sejarah
Beranda » Berita » Kisah Iblis dan Tafsir Pilihan Bebas dalam Teologi Islam

Kisah Iblis dan Tafsir Pilihan Bebas dalam Teologi Islam

Ilustrasi Iblis dan Teologi dalam Islam

SURAU.CO – Kisah pembangkangan Iblis merupakan salah satu narasi paling fundamental dalam teologi Islam. Lebih dari sekadar cerita tentang kesombongan dan kejatuhan, peristiwa ini membuka gerbang perdebatan filosofis yang mendalam. Terutama, ia menyentuh persoalan krusial tentang kehendak bebas (ikhtiyar) dan takdir (jabr). Kisah Iblis menantang umat untuk merenungkan hakikat pilihan, tanggung jawab, dan kedaulatan mutlak Tuhan.

Peristiwa ini bermula dari perintah Allah SWT kepada para malaikat dan Iblis. Mereka diperintahkan untuk bersujud kepada Adam sebagai bentuk penghormatan. Semua malaikat patuh tanpa ragu. Namun, Iblis secara tegas menolak perintah tersebut.

Alasannya didasari oleh arogansi dan rasa superioritas. Ia merasa dirinya lebih mulia. Sebab, Allah menciptakannya dari api, sementara Adam diciptakan dari tanah. Penolakan inilah yang menjadi titik awal pengusiran Iblis dari surga. Akibatnya, ia menjadi simbol pembangkangan abadi terhadap Tuhan.

Persimpangan Teologis: Pilihan atau Ketetapan?

Penolakan Iblis secara langsung memicu dua pandangan teologis yang saling bertentangan dalam sejarah pemikiran Islam. Perdebatan ini berpusat pada satu pertanyaan: Apakah Iblis memiliki kebebasan penuh untuk memilih tindakannya, ataukah pembangkangannya sudah menjadi bagian dari ketetapan ilahi?

Ada kelompok Qadariyah. Aliran ini sangat menekankan kehendak bebas manusia (dan jin). Menurut mereka, setiap makhluk bertanggung jawab penuh atas perbuatannya. Oleh karena itu, Iblis memiliki kemampuan dan kebebasan untuk memilih antara patuh atau menolak. Ia secara sadar memilih jalan pembangkangan. Konsekuensinya, ia pantas menerima hukuman dari Allah. Pandangan ini menegaskan keadilan Tuhan, karena Dia tidak akan menghukum makhluk atas perbuatan yang tidak mereka pilih.

Fenomena Flexing Sedekah di Medsos: Antara Riya dan Syiar Dakwah

Kemudian, muncul kelompok Jabariyah. Aliran ini berpendapat sebaliknya. Mereka meyakini bahwa Tuhan adalah pencipta segala sesuatu, termasuk perbuatan makhluk-Nya. Dalam perspektif ini, tindakan Iblis bukanlah murni pilihannya. Sebaliknya, hal itu sudah tertulis dalam skenario ilahi yang agung. Pembangkangan Iblis terjadi atas kehendak dan ciptaan Allah. Pandangan ini menonjolkan kemahakuasaan Tuhan yang absolut atas seluruh ciptaan-Nya.

Argumen Iblis: Tauhid yang Terdistorsi?

Menariknya, beberapa tafsir sufistik mencoba melihat argumen Iblis dari sudut pandang yang berbeda, meskipun kontroversial. Mereka melihat penolakan Iblis sebagai bentuk tauhid yang kaku. Iblis menolak bersujud kepada selain Allah, bahkan ketika perintah itu datang dari Allah sendiri.

Seorang pemikir pernah menjelaskan dilema ini dengan kalimat:

“Puncak tragedi Iblis adalah ketika ia harus memilih antara menyalahi esensi tauhid dengan bersujud pada selain Tuhan, atau menyalahi perintah Tuhan dengan tidak bersujud pada Adam. Apa pun yang dipilihnya, ia akan tetap salah. Dan ia dijebak dalam situasi itu.”

Namun, pandangan ini secara luas ditolak oleh ulama arus utama. Alasannya jelas. Hakikat ketaatan adalah kepatuhan terhadap perintah eksplisit dari Tuhan. Dengan menolak, Iblis telah menempatkan logikanya sendiri di atas wahyu ilahi. Ini adalah inti dari kesombongan, bukan bentuk pemurnian tauhid.

Meredam Polarisasi Bangsa Melalui Esensi Bab “Mendamaikan Manusia”

Jalan Tengah: Konsep Usaha dan Akuisisi

Untuk menjembatani dua pandangan ekstrem antara Qadariyah dan Jabariyah, teologi Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Asy’ariyah dan Maturidiyah) menawarkan jalan tengah. Konsep ini dikenal sebagai al-kasb (akuisisi atau usaha).

Menurut pandangan ini, Allah memang menciptakan semua perbuatan. Namun, makhluk memiliki peran dalam “mengusahakan” atau “memilih” perbuatan tersebut. Dengan kata lain, Allah menciptakan potensi untuk patuh dan membangkang. Iblis, dengan kehendak bebas yang diberikan kepadanya, memilih untuk “mengakuisisi” tindakan pembangkangan.

Oleh karena itu, Iblis tetap bertanggung jawab atas pilihannya. Sementara itu, kedaulatan Tuhan sebagai satu-satunya Pencipta tetap terjaga. Model ini secara elegan menyeimbangkan antara keadilan Tuhan dan kekuasaan-Nya yang tak terbatas.

Pelajaran yang Abadi

Pada akhirnya, kisah Iblis dan pilihan bebasnya bukan hanya diskursus teologis. Ia berfungsi sebagai cermin bagi kemanusiaan. Kisah ini mengajarkan bahaya kesombongan, pentingnya ketaatan, dan konsekuensi dari setiap pilihan yang kita ambil. Perdebatan yang lahir darinya terus mendorong umat Islam untuk menggali lebih dalam hubungan mereka dengan Sang Pencipta, memahami batas kehendak mereka, dan menerima takdir dengan penuh kesadaran.

Riyadus Shalihin: Antidot Ampuh Mengobati Fenomena Sick Society di Era Modern

Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement