Pentingnya Psikologi Perkawinan
Perkawinan bukan hanya penyatuan dua individu, tetapi juga penyatuan dua kepribadian, latar belakang, dan pola pikir. Di sinilah psikologi perkawinan memainkan peranan penting, karena pernikahan tidak hanya membutuhkan cinta, tetapi juga pemahaman mendalam tentang jiwa, emosi, dan cara berinteraksi antara suami-istri.
Pengertian Psikologi Perkawinan
Psikologi perkawinan adalah ilmu yang mempelajari dinamika hubungan suami-istri dari aspek mental, emosional, dan perilaku. Ini mencakup:
Cara berkomunikasi yang sehat.
Pemahaman kebutuhan emosional masing-masing.
Penanganan konflik secara dewasa.
Adaptasi terhadap perubahan-perubahan dalam rumah tangga.
Seperti yang sering diungkapkan pakar keluarga, “Cinta mungkin membuat kita menikah, tetapi psikologi yang sehat membuat kita tetap bersama.”
Mengapa Psikologi Penting dalam Perkawinan?
1. Mencegah Konflik Berkepanjangan
Sebagian besar perceraian bukan karena tidak ada cinta, tetapi karena ketidakmampuan mengelola konflik. Psikologi perkawinan mengajarkan cara memahami akar masalah, bukan hanya gejalanya.
2. Membangun Komunikasi Efektif
Komunikasi adalah kunci utama. Psikologi membantu pasangan memahami cara berbicara dan mendengar dengan empati.
3. Menumbuhkan Rasa Aman dan Percaya
Pernikahan yang sehat memerlukan kepercayaan dan rasa aman secara emosional. Psikologi membantu membangun fondasi ini.
4. Menghadapi Perbedaan Karakter
Setiap individu membawa kepribadian dan kebiasaan masing-masing. Pemahaman psikologi membantu pasangan saling menerima perbedaan.
5. Meningkatkan Keharmonisan dan Intimasi
Dengan komunikasi yang baik dan pemahaman kebutuhan emosional, keharmonisan rumah tangga dapat terjaga.
Ajaran Islam tentang Kesehatan Psikologis dalam Rumah Tangga
Islam telah memberikan prinsip-prinsip psikologis yang mendalam:
Sakinah, Mawaddah, Rahmah (QS. Ar-Rum: 21) – tiga pilar yang mengandung makna ketenangan jiwa, cinta yang mendalam, dan kasih sayang yang abadi.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya, dan aku adalah yang terbaik terhadap istriku.”
(HR. Tirmidzi)
Prinsip ini mengajarkan bahwa hubungan rumah tangga bukan hanya soal fisik, tetapi juga keseimbangan mental dan emosional.
Strategi Psikologi untuk Rumah Tangga Bahagia
Belajar Komunikasi Non-Toksik: Hindari kata-kata kasar, belajar mendengar dengan hati.
Mengelola Emosi: Jangan membuat keputusan saat marah.
Berempati dan Saling Menghargai: Tempatkan diri pada posisi pasangan.
Menguatkan Iman dan Spiritualitas: Pasangan yang dekat dengan Allah akan lebih kuat menghadapi masalah.
Mengatur Waktu Berkualitas: Luangkan waktu bersama tanpa gangguan pekerjaan atau gadget.
Psikologi Perkawinan dan Tantangan Zaman Modern
Di era digital, tantangan seperti perselingkuhan online, stres pekerjaan, dan gaya hidup individualistis bisa mengikis keharmonisan rumah tangga. Di sinilah pentingnya pemahaman psikologi perkawinan agar pasangan mampu menavigasi masalah dengan sehat
Kesimpulan: Psikologi perkawinan membantu pasangan membangun rumah tangga yang harmonis, sabar, dan penuh pengertian. Bukan hanya cinta yang membuat rumah tangga bertahan lama, tetapi juga pemahaman jiwa, komunikasi yang sehat, dan komitmen bersama untuk tumbuh.
بِسْــــــــــــــــــــــم اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم SUAMI YANG TIDAK PERNAH SHALAT
Permasalahan tentang suami yang meninggalkan shalat adalah hal serius dalam hukum Islam. Kasus semacam ini pernah ditanyakan kepada Imam Ibnu Utsaimin rahimahullah, dan beliau memberikan jawaban yang tegas:
> Jika seorang wanita menikah dengan lelaki yang meninggalkan shalat—baik shalat berjamaah maupun sendirian—maka nikahnya tidak sah.
Hal ini karena orang yang meninggalkan shalat dihukumi sebagai orang kafir, sebagaimana disebutkan dalam dalil Al-Qur’an, hadis, dan perkataan para sahabat.
Di antara perkataan yang tegas datang dari Abdullah bin Syaqiq rahimahullah, ia berkata:
> “Para sahabat Nabi tidak beranggapan ada satu amal yang jika ditinggalkan menyebabkan kekafiran, kecuali shalat.”
Allah berfirman tentang larangan wanita mukmin menikah dengan orang kafir:
> “Jika kamu telah mengetahui bahwa para wanita itu beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka (para wanita itu) tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi mereka…”
(QS. Al-Mumtahanah: 10)
Kewajiban Istri dalam Kondisi Ini
Berdasarkan penjelasan tersebut, wajib bagi seorang wanita untuk memisahkan diri dari suami yang meninggalkan shalat hingga suaminya bertaubat dan melaksanakan shalat, meskipun mereka sudah memiliki anak. Dalam keadaan seperti ini, suami tidak memiliki hak pengasuhan anak karena statusnya yang tidak sah secara syariat. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Fatwa Arkan Islam, hlm. 279. Jika Berpendapat Meninggalkan Shalat Tidak Kafir. Sebagian ulama memiliki pendapat bahwa meninggalkan shalat tidak sampai pada kekafiran, tetapi tetap merupakan dosa besar. Namun, istri tetap disyariatkan untuk memisahkan diri sampai suami kembali bertaubat dan mendirikan shalat.
Al-Mardawi rahimahullah menyatakan:
> “Apabila suami meninggalkan hak Allah, maka istri dalam hal ini sebagaimana suami, dia disyariatkan memisahkan diri darinya dengan gugat cerai atau semacamnya.”
(Al-Inshaf, 13:321)
Pesan untuk Kaum Muslimah
Shalat adalah tiang agama. Menikahi laki-laki yang meremehkan shalat bisa membawa dampak buruk bagi keberkahan rumah tangga. Karenanya, penting bagi wanita untuk memilih calon suami yang menjaga shalatnya. Rasulullah ﷺ bersabda:
> “Perjanjian antara kami dan mereka adalah shalat. Barang siapa meninggalkan shalat, maka dia telah kafir.”
(HR. Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah)
(Tengku Iskandar, M. Pd)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
