Kiat Betah Sukses Barakah Bagi Santri Dengan Ber-SIAP SEDIA.
Pada 1 Juli 2009, keluarga besar Darunnajah Jakarta dan cabangnya, termasuk Darunnajah 2 Cipining Bogor mengadakan silaturrahmi ke Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo Jawa Timur. Bertempat di aula wisma Gontor, pertemuan yang dimulai pukul 21.26 wib itu diawali dengan sambutan Ketua Umum Yayasan Darunnajah, KH. Saefuddin Arif, S.H., M.H. yang menyampaikan poin pentingnya tetap menjaga dan meningkatkan semangat perjuangan, juga menciptakan keakraban antar anggota keluarga besar Darunnajah. Oleh karenanya mereka diajak melihat langsung Gontor untuk belajar hal tersebut. Turut duduk di barisan kursi para pimpinan pesantren tersebut KH. Jamhari Abdul Jalal, Lc.
Berikutnya, Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor, KH. Hasan Abdullah Sahal menyampaikan kalimat tarhib atau ucapan selamat datang dan juga menyampaikan pemaparan penting tentang pesantren masa depan. Menurut Kiai Hasan, pesantren adalah lembaga kegiatan pendidikan kehidupan Islami dalam lingkungan khusus terpimpin langsung oleh Kiai, menyatukan Tripusat Pendidikan Islam; keluarga/rumah, masjid, dan masyarakat/lingkungan. Maka, setiap pesantren pasti mempunyai: Sejarah, Identitas, Spesifikasi, Status, Pengelola/Pola, Fungsi dan lain-lain. “Setiap pondok punya kebijakan sendiri, bebas dari intervensi. Mengintervensi Kyai, tanpa diminta, itu melanggar etika, meskipun antar kiai. Apalagi oleh pihak luar!”, ungkap Kiai Hasan tegas dengan gaya khas.
Pada kesempatan emas tersebut, KH. Hasan juga menjelaskan bagaimana dan mengapa santri betah di pondok?, jawabannya: Terpenuhi kesejahteraan utama. Tersalurkannya bakat dan minat. Keuntungan dirasakan benar. Lingkungan mendukung tercapainya cita-cita
Agar santri betah dan sukses barakah di pesantren maka penulis rumuskan kiat yang disingkat ber’SIAP SEDIA’. Perumusan kiat ini dimaksudkan agar lebih mudah diingat dan difahami oleh para santri, termasuk para guru dan atau wali santri ketika hendak menasehati santri dan atau putra-putrinya yang sedang goyah belajar di pesantren. Bagi santri pada umumnya dan khususnya santri baru untuk memulai hidup di asrama pesantren tentulah merupakan sebuah pengalaman baru. Oleh karenanya diperlukan usaha lahir batin Untuk bisa ‘survive’ dan lulus ‘seleksi alam’.
Penulis pernah mendengar langsung Bapak KH. Jamhari Abdul Jalal, Lc menjelaskan bahwa secara fisik manusia itu semakin lama akan semakin jauh dengan orang tuanya, namun secara batin akan lebih dekat dengan mereka, terutama jika sang anak juga sudah menjelma menjadi orang tua yang mendidik anaknya. Mari kita perhatikan, ketika bayi si anak tidur di gendongan dan pelukan ibunya. Masuk usia 7 tahun tidurnya pisah kamar. Tamat SD pisah rumah: sang anak di asrama pesantren dan orang tua di rumah. Bahkan tamat pesantren bisa jadi pisah negara: sang anak lanjut study di luar negri, orang tua di dalam negri.
Berikut ini kiat yang penulis susun agar santri merasa ‘at home’ di asrama pesantren :
S-SABAR. Asrama pesantren merupakan miniatur masyarakat. Di dalamnya terdapat berbagai macam Santri dengan latar belakang keluarga yang heterogen, sikap dan perilaku serta asal daerah yang beragam. Kuncinya santri harus sabar dalam menjalani berbagai problematika di asrama. Lama atau sebentar itu bukan karena durasi tetapi lebih disebabkan suasana hati.
I-IKHLAS. Dengan keikhlasan maka santri akan menjalani proses pendidikan dan pengajaran serta sakralitas kehidupan di pesantren dengan damai, aman, sentosa dan bahagia. Ia yakin di manapun berada, Allah selalu bersamanya. Semua terjadi atau tidak terjadi karena Kehendak Allah SWT. Salah-satu tanda ikhlas adalah istiqomah dalam kebaikan dan ketaatan kepada Allah SWT, dimanapun dan kapanpun.
A-AKTIF. Santri harus mengikuti berbagai agenda harian, mingguan, bulanan dan tahunan pesantren. Dengan aktif ikut kegiatan maka waktu yang ada terasa cepat. Sebaliknya, jika santri cenderung pasif biasanya akan TB (Tekanan Batin) dan terkondisi BT (Butuh Taujihat). Ingat, air yang mengalir akan jernih, sementara air menggenang diam akan menimbulkan bau busuk dan berbagai penyakit badan.
P-PEMAAF. Santri hendaknya tidak menjadi pribadi pendemdam sehingga ia merasa tenang dan nyaman di asrama. Seribu kawan kurang, satu musuh terlalu banyak. Bisa jadi ada kawan yang iseng, maka maafkanlah dia. Bisa jadi keisengan orang lain sebenarnya akibat dari keisengan diri sendiri.
S-SYUKUR. Bersyukurlah dipilih oleh Allah SWT menjadi santri untuk belajar dan mempraktekkan ilmu pengetahuan agama Islam agar bahagia di dunia dan alam baka. Tidak semua orang berkesempatan menjadi santri. Tidak sedikit orang lain yang sangat ingin mesantren tetapi orang tua dan atau keluarganya tidak ada dana/biaya.
E-EMPATI. Berupaya mengerti kondisi orang lain. Kebersamaan membawa keberkahan. Berjama’ah dalam sholat fardhu di masjid maupun dalam aktifitas keseharian seperti makan, mencuci dan lainnya juga menambah kebetahan di asrama. Jangan pelit agar hidup tidak sulit. Jika kita orang lain berbuat baik kepada kita maka kita juga harus berbuat baik kepada orang lain. Hukum kauslaitas atau timbal-balik itu sebuah aksioma (mutlak kebenarannya).
D-DISIPLIN. Santri harus mulai adaptasi dengan aturan Pesantren. Memang dengan disiplin terasa tidak enak karena segalanya diatur, namun akan lebih tidak enak lagi tanpa disiplin karena akan berlaku hukum rimba (siapa yang kuat akan menang). Tanamkan berdisiplin karena cinta kesuksesan dan bukan karena takut hukuman (اطيعوا النظام محبة لامخافة).
I-INISIATIF. Santri yang gemar berorganisasi untuk menyalurkan ide-ide briliannya cenderung betah tinggal di pesantren. Ia merasa memiliki komunitas yang sehati di bidang ekstrakurikuler yang diminati : Public Speaking, Seni Beladiri, Kepramukaan, Pecinta Alam dan sebagainya.
A-AMANAH. Santri harus menggunakan dana dari orang tua sesuai peruntukannya. Harus faham betul kewajiban menabung di TAS (Tabungan Amanat Santri) di TU Keuangan pesantren sehingga terhindari dari kehilangan uang dan atau pemborosannya. Semua barang miliknya juga harus dijaga dengan baik, belajar dan prkatek sense of belonging. Dan yang terpenting bahwa kesempatan mesantren merupakan amanah dari orang tua dan keluarga besar yang harus dijaga dan dijawab dengan kesungguhan dan kesuksesan.
Kiat Untuk Wali Santri: TITIPKANLAH
Adapun kiat bagi wali santri yang penulis pernah dengar langsung dari Bapak Kiai yang biasanya disampaikan dalam program silaturrahmi dan orientasi wali santri baru pada awal tahun pelajaran adalah TITIP. Kiat ini juga pernah penulis baca dari sebuah tulisan yang disarikan dari pengarahan Pimpinan Darunnajah Jakarta, KH. Drs. Mahrus Amin dan Pimpinan Pondok Modern Gontor, KH. Hasan Abdullah Sahal.
Darunnajah, 18/07/2010. Bertempat di masjid Jami’ Darunnajah Cipining Bogor, di hadapan ratusan wali santri baru, santri baru dan kerabat santri baru, dalam acara silaturahmi wali santri dan santri baru dengan Bapak Kiai, setelah menguraikan panjang lebar mengenai beberapa hal terkait sejarah, visi, misi, program, hingga manajemen pesantren, ada hal menarik juga dalam sesi tersebut yang disampaikan. Berikut petikan pencerahan tersebut, “Bapak/Ibu sekalian, jika putra putri Bapak dan Ibu mau suskes dan betah di Pesantren Darunnajah ada 5 kata kunci yang disingkat dengan T.I.T.I.P. Apa saja T.I.T.I.P ini? berikut uraiannya”:
T-TEGA, “Artinya wali santri harus tega membiarkan anaknya di Pesantren, jangan sampai di rumah ditangisi, sampai-sampai bapak/ibu tidak bisa makan dan tidak tidur karena gak tega dengan anak, kalau bapak/ibu tidak tega boleh anaknya dibawa lagi pulang ke rumah sekarang” ungkap beliau pelan namun tegas dan tandas.
I-IKHLAS, “Artinya adalah bapak/ibu harus ikhlaskan putra putri bapak/ibu berada di pesantren untuk kami didik dan kami asuh, karena tujuannya baik untuk menuntut ilmu dan menjadi ahli ibadah dan akan dibekali dengan berbagai hal postif” lanjut Bapak Kiai.
T-TAWAKKAL, “Maksudnya, di rumah bapak sama ibu do’akan putra putrinya , minta sama Allah, agar putra putrinya di pesantren sehat, betah, tidak banyak mengalami kendala”, arahan Bapak Kiai yang langsung diamini wali-wali santri.
I-IKHTIAR, “Maksudnya adalah dengan ikhtiarnya bapak ibu semua, anak dipenuhi kebutuhannya, kebutuhan sehari-harinya, seperti jajan, pakaian, kebutuhan bayaran, kebutuhan sekolah, dan lain-lain”.
P-PERCAYA, “Jadi bapak/ibu wajib percaya sepenuhnya kepada kami bahwa kami mampu mendidik dan mengasuh putra putri bapak/ibu sekalian, tidak usah takut Pa..Bu..putra putrinya menjadi anak-anak yang bisa membawa manfaat untuk kita semua..”
Sambil menutup 5 kiat suksesnya tersebut, Bapak Kiai juga menegaskan “Dan jangan lupa bapak/ibu harus menjalin hubungan silaturahmi yang baik dengan kami, bapak bisa kapan saja mengetahui perkembangan anak-anaknya melalui Hp-Hp yang dimiliki wali kamar, asalkan ya itu tadi, jalin silaturrahmi yang baik dengan kami, khususnya wali-wali kamar!”.
Berdasarkan pengalaman penulis selama bersosialisasi, berkomunikasi, menemui atau ditemui para wali santri dengan berbagai macam latar belakang daerah dan sikap serta perkataan mereka, maka perlu ditambahkan beberapa masukan:
K- KOMUNIKATIF, wali santri harus berupaya komunikasi dengan pihak pesantren sehingga terhindar dari kesalahpahaman atau miss understanding. Jika ada informasi sepihak yang disampaikan oleh putra atau putrinya maka jangan langsung ditelan mentah-mentah tetapi harus dikonfirmasi secara langsung ke penanggungjawabnya di pesantren.
A-AMANAH, sebagai orang beriman kepada Allah SWT dan hari Akhir maka wali santri harus tetap menyakini bahwa pada hakekatnya amanah mendidik putra-putrinya merupakan kewajiban asasinya. Pada saatnya akan dimintai pertanggungjawaban olehNYA. Dengan demikian wali santri akan berupaya sekuat tenaga, lahir bathin, memberikan support kepada pesantren yang dilimpahi amanat berat namun mulia tersebut.
N- NYADAR DIRI, sangat penting sekali bagi wali santri untuk menyadari bahwa putra dan putrinya yang diserahkan ke pesantren adalah seorang manusia yang juga punya rasa dan karsa, bukan barang atau benda. Artinya, konsep saling kerjasama harus senantiasa terjaga. Tidak boleh semena-mena menyalahkan pesantren dan atau anaknya saja ketika sedang mendapatkan dinamika atau problematika, semisal anaknya tidak betah mesantren, kabur dari asrama, mendapat surat penagihan dana dan sebagainya. Perlu juga interopeksi diri, mungkin masih kurang berdo’a, misalnya, atau ada sebagian hartanya yang diperoleh dengan cara yang tidak halal, ma’aadzallaahu min dzaalik.
L-LOYAL, jangan merusak tatanan pesantren seperti memprovokasi wali santri lainnya untuk demontrasi, mengadakan penggalangan dana wali santri secara tidak resmi dan menyalahgunakannya, atau menjual nama baik pesantren untuk kepentingan politik praktis atau golongannya. Perbaiki niat. Jadikan pesantren sebagai mitra dalam berbagai macam program kebaikan dan kemaslahatan umat.
A-AKTIF, berusahalah untuk menghadiri undangan ke pesantren seperti orientasi wali santri, sosialisasi Kegiatan Santri Akhir, pembagian Raport, menyaksikan Panggung Gembira (Malam Pagelaran Seni dan Kreatifitas Santri), penyelesaian tanda-tangan Surat Pernyataan (SP), hingga silaturrahmi kepada Bapak Kiai, Pengurus Pesantren, wali kamar dan dewan guru.
H-HUMANIS, jangan bersikap sombong, arogan, mau menang sendiri, merasa paling berjasa dan harus dituruti segala keinginannya karena merasa sudah membayar kewajiban keuangan. Tidak boleh demikian. Berusahalah untuk berempati, belajar merasakan seandaiya dirinya pada posisi pihak pesantren yang sudah dengan segala daya upaya menjalankan amanah meski memang belum sempurna.
Dengan demikian, kiat untuk wali santri yang telah diuraikan di atas bisa disingkat TITIPKANLAH. Untuk detailnya, bisa dibaca dalam buku perdana Muhlisin Ibnu Muhtarom, Sabilun Najihin, Senarai Inspirasi & Motivasi Sang Kiai Jalan Sukses Pendidikan Islami, Bogor: Pustaka Darunnajah, Oktober 2021. (Muhlisin Ibnu Muhtarom, M.Pd)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
