Opinion
Beranda » Berita » Memahami Realitas: Saat Logika Iman Bertemu dengan Logika Sains

Memahami Realitas: Saat Logika Iman Bertemu dengan Logika Sains

Logika iman bertemu logika pengetahuan

SURAU.CO – Banyak orang menganggap iman dan sains sering bertentangan. Keduanya kerap ditempatkan pada posisi yang berlawanan. Logika sains menuntut bukti fisik yang terukur. Sementara itu, logika iman berbicara tentang hal-hal gaib. Pertentangan ini seolah-olah memaksa kita untuk memilih salah satu. Kita harus memilih antara menjadi orang beriman atau menjadi seorang ilmuwan.

Padahal, dalam perspektif Islam, keduanya tidak untuk dipertentangkan. Iman dan sains adalah dua alat yang berbeda. Keduanya kita gunakan untuk memahami dua dimensi realitas yang berbeda pula. Logika ilmu pengetahuan dan logika iman tidak saling meniadakan. Justru, keduanya saling melengkapi untuk memberikan kita gambaran utuh tentang eksistensi.

Wilayah Kerja Logika Sains: Alam yang Teramati

Logika ilmu pengetahuan atau sains bekerja di alam fisik. Wilayah kerjanya adalah dunia yang dapat kita lihat, dengar, sentuh, dan ukur. Metode ilmiah menjadi landasannya. Ia membutuhkan pengamatan, hipotesis, eksperimen, dan verifikasi. Sebuah teori ilmiah harus bisa diuji berulang kali. Hasilnya pun harus konsisten dan dapat dibuktikan oleh siapa saja.

Sebagai contoh, sains bisa menjelaskan dengan detail bagaimana hujan terbentuk. Ia memaparkan siklus evaporasi, kondensasi, dan presipitasi. Sains juga mampu menjelaskan mengapa sebuah apel jatuh ke bawah, bukan ke atas. Hukum gravitasi memberikan jawaban yang logis dan terukur. Islam sendiri sangat mendorong penggunaan akal dan pengamatan. Al-Qur’an seringkali bertanya, “Afala ta’qilun?” (Apakah kamu tidak menggunakan akalmu?).

Batas Kemampuan Logika Sains

Namun, logika sains memiliki batasan yang jelas. Ia hanya bisa menjawab pertanyaan “bagaimana”. Ia tidak akan pernah bisa menjawab pertanyaan “mengapa”. Sains bisa menjelaskan bagaimana alam semesta beroperasi. Akan tetapi, ia tidak bisa menjawab mengapa alam semesta ini ada sejak awal.

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

Sains dapat memetakan seluruh genom manusia. Namun, ia tidak bisa memberi tahu kita apa tujuan hidup manusia. Sains bisa menganalisis aktivitas otak. Tetapi, ia tidak bisa menjelaskan apa itu kesadaran atau ruh. Di sinilah logika sains berhenti. Ia menemui sebuah dinding yang tidak bisa ia tembus. Instrumennya memang tidak dirancang untuk menjelajahi dunia metafisik.

Wilayah Kerja Logika Iman: Alam Gaib

Di sinilah, logika iman mengambil perannya. Jika sains menjelajahi alam yang tampak (alam asy-syahadah), maka iman menjelajahi alam gaib (alam al-ghaib). Logika iman tidak berdasarkan pada eksperimen di laboratorium. Ia berdasarkan pada keyakinan dan kepercayaan pada sumber informasi yang absolut, yaitu wahyu dari Allah SWT.

Logika ini bekerja seperti kita mempercayai seorang ahli. Kita percaya diagnosis dokter karena ilmunya. Maka, kita percaya kepada Allah karena Dia adalah Sang Pencipta Yang Maha Mengetahui segalanya. Iman memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan fundamental yang tidak mampu dijawab oleh sains. Ia menjelaskan tujuan penciptaan, kehidupan setelah kematian, serta konsep baik dan buruk.

Harmoni antara Iman dan Sains

Bagi seorang muslim, tidak ada pertentangan antara keduanya. Justru, penemuan sains modern semakin memperkuat keimanan. Ketika sains mengungkap betapa kompleksnya sebuah sel tunggal, seorang beriman melihatnya sebagai tanda kebesaran Sang Pencipta. Ketika astronomi menunjukkan keteraturan galaksi yang luar biasa, seorang beriman teringat akan firman-Nya.

Allah berfirman:

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal.” (QS. Ali ‘Imran: 190).

Ayat ini secara eksplisit menghubungkan aktivitas berpikir (sains) dengan penemuan tanda-tanda kebesaran Tuhan (iman). Semakin dalam seseorang mempelajari alam, semakin ia seharusnya merasa kagum pada Perancangnya. Sains menunjukkan kepada kita “lukisan” yang luar biasa. Sementara itu, iman memperkenalkan kita kepada Sang Pelukisnya.

Pada akhirnya, menggunakan sains tanpa iman akan membuat kita kehilangan arah dan tujuan. Sebaliknya, beriman tanpa mau menggunakan akal akan membuat kita jumud dan tertinggal. Manusia yang utuh adalah manusia yang mampu menggunakan kedua logika ini secara seimbang. Ia menggunakan logika sains untuk memahami ciptaan-Nya. Dan ia menggunakan logika iman untuk mengenal Penciptanya.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement