SURAU.CO – Setiap hari, kita berkomunikasi melalui lisan. Kata-kata yang terucap memiliki kekuatan dahsyat; ia bisa menjadi penyejuk hati yang gelisah, atau sebaliknya, menjadi pedang tajam yang melukai perasaan. Karena kekuatan inilah, Islam menempatkan perhatian besar pada adab berbicara, dengan konsep utama berupa penerapan hikmah dalam setiap ucapan.
Berbicara tanpa pertimbangan dapat menjadi sumber beragam masalah. Sebuah ucapan yang ceroboh bisa menyulut fitnah, merusak persaudaraan, bahkan mengundang murka Allah SWT. Lisan yang tidak terjaga pada hakikatnya adalah gerbang menuju dosa-dosa besar, seperti ghibah, namimah, dan dusta.
Dalam sebuah nasihat penting kepada Mu’adz bin Jabal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang lidahnya seraya bersabda, “Tahanlah ini (lisanmu).” Mu’adz lantas bertanya, “Wahai Nabi Allah, apakah kami akan disiksa karena apa yang kami ucapkan?” Beliau menjawab, “Celaka engkau, wahai Mu’adz! Bukankah manusia tersungkur di neraka di atas wajah mereka atau di atas hidung mereka tidak lain karena hasil lisan mereka?” (HR. Tirmidzi).
Hadis ini menegaskan betapa krusialnya menjaga lisan. Oleh karena itu, menguasai seni bicara penuh hikmah bukanlah sekadar pilihan, melainkan sebuah keharusan. Lantas, apa saja pertimbangan yang perlu kita terapkan sebelum berbicara?
1. Berpikir Sebelum Berucap
Aturan paling fundamental adalah mendahulukan akal sebelum lisan. Untuk itu, sebelum sebuah kalimat meluncur, tanyakan pada diri sendiri: Apakah ucapan ini benar dan jujur? Apakah ia akan membawa manfaat? Adakah pihak yang akan tersakiti karenanya? Jika jawabannya cenderung negatif, maka diam adalah pilihan yang jauh lebih bijak dan aman.
2. Memilih Waktu yang Paling Tepat
Hikmah juga berarti memahami momentum. Sebuah nasihat yang baik bisa menjadi buruk jika disampaikan pada waktu yang salah. Sebagai contoh, menasihati seseorang di tengah amarahnya yang memuncak sering kali tidak efektif. Justru, tindakan itu bisa membuat suasana semakin keruh. Prinsip yang sama berlaku saat menyampaikan kabar gembira di tengah suasana duka; hal itu menunjukkan ketiadaan empati. Maka, tunggulah momen yang tepat ketika hati lawan bicara sedang tenang dan terbuka.
3. Mengenali Kondisi Lawan Bicara
Setiap individu memiliki latar belakang dan kondisi yang unik. Berbicara dengan hikmah menuntut kita untuk mampu menyesuaikan gaya bahasa. Cara kita berkomunikasi dengan anak kecil tentu berbeda dengan cara kita berinteraksi dengan orang tua. Lebih jauh lagi, kita perlu memperhatikan kondisi emosional lawan bicara. Apakah ia sedang sedih, bahagia, atau lelah? Memahami konteks ini menunjukkan rasa hormat dan membuat komunikasi jauh lebih efektif.
4. Menyampaikan dengan Cara yang Baik (Qaulan Ma’rufa)
Isi pembicaraan yang bernilai harus diiringi dengan cara penyampaian yang mulia. Al-Qur’an berulang kali menekankan pentingnya menggunakan tutur kata terbaik. Dalam hal ini, kita diperintahkan untuk menggunakan qaulan ma’rufa (perkataan yang pantas) dan qaulan layyina (perkataan yang lembut). Hindari suara yang meninggi, diksi yang kasar, atau nada yang merendahkan. Sebab, cara penyampaian sering kali menentukan bagaimana sebuah pesan diterima oleh pendengarnya.
5. Berorientasi pada Tujuan dan Maslahat
Setiap pembicaraan yang bijak harus memiliki tujuan yang jelas: mendatangkan kebaikan (maslahat) atau mencegah keburukan (mudarat). Hindari obrolan yang tidak bertujuan, apalagi jika hanya untuk pamer atau mencari perhatian. Prinsip ini selaras dengan sabda Nabi: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam.” (HR. Bukhari dan Muslim). Jika ucapan tidak mengandung kebaikan, diam menjadi pilihan yang bernilai ibadah.
6. Menghindari Perdebatan yang Sia-Sia
Salah satu penyakit lisan yang umum adalah kegemaran berdebat kusir. Debat yang tujuannya bukan untuk mencari kebenaran, melainkan sekadar untuk menang, adalah perbuatan yang hanya akan mengeraskan hati dan merusak hubungan. Orang yang bijak tahu kapan harus berbicara dan kapan harus berhenti. Bahkan, meninggalkan perdebatan yang tidak bermanfaat adalah ciri orang yang berilmu dan berakhlak mulia.
Pada akhirnya, lisan adalah cerminan hati. Dari wadah yang bersih, akan keluar isi yang jernih pula. Melatih diri untuk berbicara dengan hikmah merupakan bagian tak terpisahkan dari proses penyucian jiwa. Semoga Allah senantiasa menolong kita, agar setiap kata yang terucap menjadi pemberat timbangan kebaikan di akhirat kelak.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
