Sosok
Beranda » Berita » Imam al-Bushiri: Sang Pengarang sholawat Burdah 

Imam al-Bushiri: Sang Pengarang sholawat Burdah 

Imam Al Bushiri Pengarang Sholawat Burdah
Imam Al Bushiri Pengarang Sholawat Burdah

SURAU.CO – Di antara lautan karya sastra Islam yang indah, Qasidah Burdah menjulang megah sebagai puisi pujian paling masyhur kepada Nabi Muhammad ﷺ. Seorang tokoh bernama Imam al-Bushiri merangkai karya agung itu dengan penuh cinta. Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Sa’id bin Hammad al-Shanhaji, yang kemudian dikenal sebagai al-Bushiri, dinisbatkan ke kampung leluhurnya di Mesir, yakni Bushir.

Jejak Langkah Sang Penyair

Imam al-Bushiri lahir pada tahun 610 H/1213 M di kota Dalas, Mesir. Ia tumbuh dalam keluarga Syafi’iyah yang taat dan sejak kecil menunjukkan ketertarikan besar pada sastra Arab. Ia menekuni ilmu agama dan bahasa Arab serta berguru kepada banyak ulama dan penyair besar pada zamannya. Di antara gurunya yang paling mempengaruhinya adalah Imam Abu al-‘Abbas al-Mursi, murid dari Syaikh Abul Hasan asy-Syadzili, pendiri Tarekat Syadziliyah.

Sebagai seorang penyair, al-Bushiri piawai merangkai kata. Ia menyusun bait-bait puisinya dengan keindahan bahasa yang sarat cinta kepada Nabi Muhammad ﷺ. Namun, kehidupannya tidak selalu berjalan mulus. Ia pernah menderita penyakit parah yang membuat tubuhnya lumpuh. Dalam kondisi penuh ujian itu, ia melahirkan mahakarya yang menggugah hati dan penuh harapan— Qasidah al-Burdah .

Qasidah yang Menyembuhkan

Al-Bushiri memberi judul lengkap pada qasidah itu “al-Kawakib ad-Durriyyah fī Madḥ Khayr al-Barīyyah” yang berarti “Bintang-Bintang Mutiara dalam Pujian kepada Manusia Terbaik.” Ia menyusun qasidah tersebut dalam 10 bab dan 160 bait, dengan menggunakan bentuk nazham bahar al-bashit —sebuah pola puisi klasik Arab yang kaya irama dan simetri.

Keistimewaan Qasidah Burdah tidak hanya terletak pada isinya, tetapi juga pada kisah yang melatarinya. Setelah menyusun puisi itu, al-Bushiri bermimpi bertemu Rasulullah ﷺ. Dalam mimpi tersebut, Nabi menyentuh tubuhnya dan menyimpannya dengan selendangnya (burdah). Ia pun terbangun dan mendapati tubuhnya telah pulih total dari kelumpuhan.

KH. Abdullah Umar Al-Hafidz: Sosok Ulama Penjaga Al-Qur’an dari Semarang

Peristiwa itu mendorong masyarakat mengundang qasidah tersebut Burdah , sebagai simbol kasih sayang dan syafaat Rasulullah ﷺ. Umat Islam di berbagai belahan dunia kemudian membaca Qasidah Burdah dalam berbagai majelis, perayaan Maulid, dan bahkan dalam ritual kesembuhan.

Makna yang Mendalam

Qasidah Burdah tidak hanya menjadi puisi pujian biasa. Ia menyentuh banyak aspek kehidupan Rasulullah ﷺ—dari kelahiran, akhlak, perjuangan dakwah, hingga syafaat beliau di hari kiamat. Syair-syairnya menyampaikan pelajaran spiritual yang mendalam, memperkuat keimanan, serta membangkitkan rasa cinta kepada Nabi.

Salah satu umpan yang sangat menyentuh berbunyi:

وَإِنَّ مِنْ جُودِكَ الدُّنْيَا وَضَرَّتَهَا
وَمِنْ عُلُومِكَ عِلْمَ اللَّوْحِ وَالْقَلَمِ                                      

“Dan sesungguhnya termasuk karuniamu adalah dunia dan seisinya,
Dan dari ilmumu adalah ilmu tentang Lauhul Mahfuz dan pena (qalam).”

Menggali Peran Pemuda dalam Riyadus Shalihin: Menjadi Agen Perubahan Sejati

Bait ini menggambarkan posisi Rasulullah ﷺ sebagai rahmat bagi seluruh alam, bahkan bagi para nabi dan umat sebelumnya. Cinta kepada Nabi bukan sekedar emosi sesaat, tetapi bentuk penghormatan kepada cahaya ilahi yang membimbing umat manusia dari kegelapan menuju cahaya kebenaran.

Cinta yang Menjadi Syafaat

Wafat Imam al-Bushiri pada tahun 695 H/1296 M dan keluarga serta murid-muridnya memakamkannya di Alexandria, Mesir. Namun, karya dan cintanya kepada Rasulullah ﷺ tetap hidup dan terus menggugah hati kaum Muslimin hingga kini. Umat Islam menerjemahkan Qasidah Burdah ke dalam berbagai bahasa: Persia, Urdu, Turki, Melayu, hingga Jawa. Para santri di Nusantara membacakan Burdah dalam suasana khidmat, mengalunkan syair dengan penuh rasa haru.

Para sejarawan dan ulama besar seperti Imam as-Suyuthi hingga Syaikh Yusuf al-Qaradawi pun mengakui keagungan karya ini. Dalam konteks tasawuf, Qasidah Burdah menjadi contoh nyata bagaimana syair mampu menjadi sarana tazkiyah (penyucian jiwa) dan mahabbah (cinta ilahiah).

Imam al-Bushiri tidak hanya menyandang gelar penyair. Ia menorehkan jejaknya sebagai pengukir cinta yang abadi. Dalam sakitnya, ia menulis puisi yang menyembuhkan. Melalui Qasidah Burdah, ia menyampaikan harapan dan cinta yang tidak hanya menyentuh dirinya, tetapi juga menginspirasi jutaan hati yang merindukan cahaya Rasulullah ﷺ. Karyanya membuktikan bahwa kata-kata bisa menjadi doa, puisi bisa membawa syafaat, dan cinta bisa menjadi obat.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement