Opinion
Beranda » Berita » Ketika Warteg Disingkirkan Brand Global: Umat Tak Lagi Cinta Produk Sendiri?

Ketika Warteg Disingkirkan Brand Global: Umat Tak Lagi Cinta Produk Sendiri?

Warung Tegal
Warung Tegal

SURAU.CO-Ketika Warteg Disingkirkan Brand Global: Umat Tak Lagi Cinta Produk Sendiri? menjadi pertanyaan tajam di tengah ledakan gerai franchise asing di berbagai sudut kota. Frasa ini menyentil kesadaran umat Islam yang perlahan menjauh dari kekuatan ekonomi sendiri. Bukan sekadar retorika, pertanyaan ini menggugah: apakah umat masih peduli pada keberlangsungan usaha lokal milik saudara seiman?

Cinta Produk Lokal: Bukti Iman dalam Ekonomi

Islam menekankan pentingnya saling menguatkan. Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.” Warteg, sebagai usaha kecil milik masyarakat, menjadi penopang ekonomi umat. Namun sayangnya, gaya hidup modern membuat banyak orang lebih memilih brand global daripada mendukung usaha sekitar.

Mengutamakan produk sendiri bukan sikap eksklusif. Itu adalah bentuk nyata cinta pada sesama Muslim. Konsumsi yang berbasis kesadaran akan berdampak langsung pada kesejahteraan umat. Selain membantu sesama, kita juga menjaga sirkulasi ekonomi agar tetap hidup dalam lingkaran orang-orang terdekat.

Warteg Jelas, Murah, dan Halal: Mengapa Banyak yang Melupakannya?

Kita menyaksikan warteg sepi, sementara franchise luar negeri ramai dikunjungi. Warteg menyediakan makanan halal, murah, dan mengenyangkan. Namun sayangnya, masyarakat terlanjur silau oleh citra mewah dan kemasan modern.

Padahal warteg bukan sekadar tempat makan. Ia mencerminkan keberdayaan rakyat kecil yang ingin bertahan secara halal. Dengan membeli di warung lokal, umat secara langsung ikut menumbuhkan ekonomi masyarakat bawah. Sementara membeli di franchise global, sering kali hanya menambah kekayaan asing tanpa menyentuh lingkungan sekitar.

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

Brand luar menang dalam promosi. Mereka hadir dengan kemasan apik, interior ber-AC, dan iklan bombastis. Namun, apakah keindahan visual bisa menggantikan keberkahan dan niat tulus seorang ibu penjual nasi di pojok gang?

Umat Lemah Karena Tak Peduli Ekonomi Sendiri

Banyak tokoh Islam berpesan tentang pentingnya membangun ekonomi umat. Tapi jika umat sendiri tak peduli, kekuatan itu sulit terwujud. Umat Islam harus mulai sadar bahwa setiap transaksi adalah bentuk dukungan. Ketika memilih produk lokal, kita sedang membantu sesama. Ketika memilih brand asing, kita sering kali memperkaya pihak yang tak peduli pada nasib umat.

Rasulullah SAW pernah membangun pasar sendiri untuk umat Islam. Beliau ingin agar ekonomi umat tidak bergantung pada pihak luar. Maka dari itu, membeli produk sendiri bukan sekadar pilihan konsumsi—itu bentuk perjuangan.

Kita tidak bisa terus berharap ekonomi umat akan kuat, sementara kita sendiri tidak rela mengubah kebiasaan belanja. Apakah mungkin ada perubahan jika setiap hari kita terus mendatangi pusat belanja milik korporasi luar, tetapi warung tetangga justru sepi?

Ubah Gaya Hidup, Mulai dari Meja Makan

Perubahan besar dimulai dari langkah kecil. Pilih warteg, bukan karena murah saja, tetapi karena nilai keberkahannya. Pilih produk buatan tetangga, bukan hanya karena rasa, tetapi karena ada keberlangsungan ekonomi di sana. Islam mengajarkan kita untuk menjaga sesama, termasuk dalam soal dagang dan belanja.

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

Umat yang bijak tidak hanya berhenti pada selera. Mereka memilih berdasarkan nilai. Mereka sadar bahwa uang yang dibelanjakan akan berdampak. Maka mulai hari ini, pilih yang jelas halal, mendukung keluarga Muslim, dan menghidupkan lingkungan sendiri.

Sesungguhnya keberpihakan tidak selalu memerlukan suara lantang. Sering kali, keberpihakan hadir lewat pilihan diam, seperti tempat kita membeli makan siang hari ini. Jika kita terus membela brand asing yang tidak mengenal kita, bagaimana nasib warung lokal yang kita kenal sejak kecil?

Ekonomi Berkah Tidak Dapat Dibeli di Mal

Brand besar memang menjual kenyamanan. Tapi berkah tidak selalu hadir dalam bentuk kemasan elegan. Berkah itu sering kali tersembunyi dalam nasi bungkus warteg yang dibeli dari tangan seorang ibu yang menafkahi tiga anaknya. Di situlah letak keberkahan yang nyata.

Jika umat Islam ingin mandiri secara ekonomi, maka umat harus berani berkata cukup pada budaya konsumtif yang mematikan usaha kecil. Warteg bukan simbol kemiskinan. Warteg adalah simbol perjuangan. Dan perjuangan ini tidak boleh kita abaikan hanya karena gengsi dan ilusi modernitas. (Hen)

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement