Opinion
Beranda » Berita » Kejujuran: Menulis Sebagaimana Berpikir

Kejujuran: Menulis Sebagaimana Berpikir

Kejujuran: Menulis Sebagaimana Berpikir

Kejujuran.

“There are, first of all, two kinds of authors: those who write for the sake of what they have to say, and those who write for the sake of writing.” — Arthur Schopenhauer, On Authorship and Style

Menulis bukanlah keterampilan teknis semata. Ia adalah tindakan keberanian untuk berpikir jernih, merasa dalam, dan mengungkapkan kebenaran—meskipun menyakitkan, meskipun sunyi. Dalam esainya yang tajam dan penuh sindiran, On Authorship and Style, Arthur Schopenhauer membedah dunia kepengarangan dengan pisau pemikiran yang tanpa basa-basi. Ia membagi penulis ke dalam dua kategori: mereka yang menulis karena memiliki sesuatu yang sungguh-sungguh untuk dikatakan, dan mereka yang menulis karena hanya ingin menulis—mengejar reputasi, uang, atau kekaguman kosong.

Jenis Schopenhauer

Dua jenis bagi Schopenhauer, bukan hanya soal motivasi, tetapi soal keberadaan. Yang pertama adalah penulis sejati, yang menjadikan tulisan sebagai wadah kebenaran; yang kedua hanyalah tukang kata, pengabdi pasar, atau peniru hampa. Dalam dunia saat ini—penuh ghostwriter, artikel SEO, dan postingan-palsu-berisi-kebijaksanaan—kecaman Schopenhauer menjadi semakin relevan.

Namun bagaimana kita bisa membaca ulang kritik ini dengan kerangka konseptual yang lebih luas dan simbolik? Di sinilah Kenneth Burke dalam The Philosophy of Literary Form menawarkan lensa tambahan: bahwa menulis bukan sekadar aktivitas kognitif atau artistik, tetapi tindakan simbolik—sebuah interaksi antara subjek, masyarakat, dan bentuk bahasa. Jika bagi Schopenhauer gaya mengungkapkan “physiognomy of the mind,” maka bagi Burke, gaya adalah “tindakan dramatik” yang mencerminkan bagaimana manusia berkomunikasi dengan dunia melalui simbol.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Burke tidak sekadar mengulang pengamatan Schopenhauer tentang kejujuran dalam gaya, melainkan memperluasnya. Ia melihat bahwa setiap struktur kalimat, pilihan diksi, dan bentuk retoris mengandung motif sosial yang lebih dalam. Ketika seseorang menulis secara kabur, kata Burke, itu bukan sekadar masalah gaya—melainkan mungkin bentuk penghindaran terhadap kenyataan, atau representasi dari ketidakmampuan menghadapi kompleksitas dunia. Dengan kata lain, gaya adalah penanda etis dan politis, bukan sekadar estetik.

Di titik inilah pembacaan Schopenhauer menjadi lebih subur. Ketika ia menuduh penulis malas sebagai “peniru yang hanya membaca buku dan memuntahkannya lagi,” Burke akan bertanya: simbolisasi macam apa yang sedang dimainkan di sini? Bagi Burke, bentuk bukan hanya media, melainkan arena konflik simbolik. “Form is the creation of an appetite in the mind of the auditor,” katanya. Maka, penulis yang hanya memuaskan selera pasar tanpa menumbuhkan keingintahuan intelektual sejatinya tidak sedang “berkomunikasi”, melainkan sedang membius.

Gaya Sejati

Schopenhauer melihat gaya sejati lahir dari kejelasan berpikir. Tapi Burke menyelami lebih dalam—kejelasan bukan hanya soal intelektual, tapi juga tindakan etis terhadap audiens. Ia menyebut retorika sebagai sarana untuk “mengajak”, bukan hanya “menyampaikan”. Dalam konteks ini, gaya bukan sekadar ekspresi kepribadian seperti disiratkan Schopenhauer, tetapi ekspresi posisi seseorang dalam jaringan simbol dan kekuasaan.

Di dunia digital kini, kita bisa mengenali bagaimana dua jenis penulis Schopenhauer berkembang. Influencer dan content creator sering menulis demi “sake of writing”—atau lebih tepatnya, demi algoritma. Sedangkan sedikit yang menulis karena “they have something to say”—karena mereka digerakkan oleh kesaksian, luka, atau pemahaman yang lahir dari kontemplasi. Burke akan melihat fenomena ini sebagai pergeseran dramatik: dari action menjadi motion, dari ekspresi bermakna menjadi rutinitas simbolik yang kosong.

Tapi apa yang sebenarnya dimaksud dengan kejujuran dalam gaya? Bagi Schopenhauer, itu berarti menulis sebagaimana berpikir, tanpa bersembunyi di balik jargon atau kutipan. Ia menyindir mereka yang mengutip Plato, Aristoteles, dan Kant, bukan untuk menyampaikan pemahaman, tapi untuk menunjukkan bahwa mereka “telah membaca banyak.” Di sisi lain, Burke tidak anti kutipan. Ia justru menunjukkan bagaimana kutipan menjadi bagian dari strategi simbolik. Namun ia setuju bahwa penggunaan simbol tanpa isi adalah bentuk degradasi intelektual. “Symbolic action must be accountable,” begitu kira-kira intinya.

Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi

Keduanya sebetulnya berangkat dari kecemasan yang sama: bahwa bahasa, jika tidak dijaga, akan menjadi instrumen pembodohan. Schopenhauer menjaga bahasa dengan kesunyian kontemplatif; Burke menjaganya dengan kritik retorik. Yang satu filsuf pesimis dengan pisau tajam; yang lain retorikawan dengan anatomi simbolik yang rumit. Namun mereka bertemu di satu titik: bahwa gaya adalah cermin integritas.

Belajar dari Schopenhauer

Dari Schopenhauer kita belajar bahwa gaya haruslah bersih dari kepura-puraan. Dari Burke kita belajar bahwa gaya adalah medan pertempuran antara intensi dan struktur sosial. Keduanya menolak gaya yang dibuat-buat, meskipun dengan logika yang berbeda. Dan keduanya menolak menulis hanya demi menulis, tanpa makna.

Di tengah dunia yang dibanjiri informasi dan tulisan cepat saji, kita butuh keduanya. Kita butuh ketegasan Schopenhauer yang berkata bahwa berpikir jernih lebih berharga dari ribuan halaman tulisan yang rumit. Tapi kita juga butuh kebijaksanaan Burke yang mengingatkan bahwa simbol tidak pernah netral, bahwa gaya menulis adalah cerminan dari bagaimana kita melihat dunia dan memperlakukan pembaca.

Kejujuran Dalam Menulis

Kejujuran dalam menulis bukan hanya soal niat, tapi juga soal struktur. Bukan hanya soal “apa yang ingin dikatakan,” tetapi juga “bagaimana dan untuk siapa kita mengatakannya.” Itulah pelajaran penting dari dua pemikir besar ini. Dan mungkin, hanya mungkin, jika kita menulis dengan kesadaran semacam itu, dunia bisa menjadi sedikit lebih jernih—dan lebih jujur. Semarang – Jum’at, 18 Juli 2025. (Abdul Karim) (Halim)

Riyadus Shalihin: Buku Panduan Kecerdasan Emosional (EQ) Tertua Dunia

Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement