Sejarah
Beranda » Berita » Kemewahan yang Menyimpan Jihad: Hotel Majapahit dan Darah Syuhada

Kemewahan yang Menyimpan Jihad: Hotel Majapahit dan Darah Syuhada

Hotel Majapahit Surabaya (Mengenang Pertempuran Surabaya)
Hotel Majapahit Surabaya (Mengenang Pertempuran Surabaya)

SURAU.CO-Di tengah megahnya arsitektur kolonial, Hotel Majapahit berdiri anggun di jantung Kota Surabaya. Namun siapa sangka, hotel ini menyimpan darah syuhada dan semangat jihad yang menyala sejak masa Revolusi. Hotel Majapahit bukan hanya penginapan mewah, tetapi juga medan perjuangan penuh keberanian dan pengorbanan.

Setiap langkah di lorong hotel membawa kita pada sejarah yang hampir terlupakan. Banyak orang menikmati keindahan hotel tanpa menyadari bahwa lantainya pernah basah oleh darah pemuda yang berani mempertaruhkan nyawa demi kemerdekaan bangsa dan agama.

Insiden Bendera: Awal Jihad dan Darah Syuhada di Hotel Majapahit

Pada 19 September 1945, sebulan setelah kemerdekaan, tentara NICA yang diboncengi Belanda mengibarkan bendera merah-putih-biru di atap Hotel Majapahit. Aksi ini menyulut amarah pemuda Surabaya, terutama para santri dan aktivis Islam, yang segera mengambil tindakan. Mereka menyerbu hotel, memanjat atap, lalu merobek warna biru dari bendera itu hingga tersisa merah dan putih.

Aksi simbolik itu menjadi pemicu jihad besar-besaran di Surabaya. Ribuan pemuda mempersenjatai diri, menyerukan takbir, dan menolak kembalinya penjajahan. Banyak dari mereka gugur dalam pertempuran yang terjadi beberapa pekan kemudian. Nama-nama mereka mungkin tak tercatat, tetapi Allah mencatat mereka sebagai syuhada fi sabilillah.

Ketika Jihad dan Islam Menyatu dalam Perjuangan Surabaya

Perjuangan di Surabaya bukan hanya milik tentara atau elite. Santri dari pesantren-pesantren seperti Tebuireng, Sidogiri, hingga Tambakberas berdatangan. Mereka membawa semangat jihad, bukan semata karena nasionalisme, tetapi karena keyakinan bahwa mempertahankan tanah air adalah bagian dari iman.

Mustafa Kemal Ataturk: Modernisasi dan Perkembangan Islam Modern

KH Hasyim Asy’ari, tokoh besar Nahdlatul Ulama, mengeluarkan Resolusi Jihad. Ia menegaskan bahwa melawan penjajah adalah fardu ain, kewajiban individu. Fatwa ini menggugah umat untuk bangkit, termasuk di sekitar Hotel Majapahit. Takbir menggema dari masjid ke masjid, dan pemuda-pemuda Islam rela mati demi mempertahankan kehormatan bangsa.

Hotel Majapahit Kini: Megah, Tapi Lupa Darah Syuhada?

Kini, masyarakat mengenal Hotel Majapahit sebagai ikon arsitektur kolonial yang Instagrammable. Banyak orang menjadikan lorong-lorongnya sebagai latar foto prewedding, bersantai di kafe, atau menghadiri pesta pernikahan mewah. Sayangnya, hanya segelintir yang mengenang tempat itu sebagai lokasi jihad dan tumpahnya darah syuhada.

Kita tak dilarang menikmati sejarah. Namun, jika kenyamanan dan estetika menghapus jejak perjuangan, itu adalah bentuk kelalaian. Setiap bangunan bersejarah seperti ini seharusnya menghadirkan narasi lengkap, bukan hanya glamor masa lalu, tetapi juga keberanian yang membentuk masa depan.

Saatnya Menghidupkan Kembali Kesadaran Jihad di Ruang Publik

Pemerintah, pengelola hotel, dan masyarakat seharusnya berkolaborasi. Mereka bisa menyusun tur edukatif yang mengangkat dimensi keislaman perjuangan Surabaya. Pengunjung sebaiknya tidak hanya mengenal gaya arsitektur kolonial, tetapi juga memahami bahwa hotel ini pernah menjadi medan jihad.

Bayangkan jika di salah satu sudut hotel tersedia ruang doa khusus untuk para syuhada. Atau brosur sejarah yang menjelaskan kontribusi ulama dan santri dalam mempertahankan kemerdekaan. Langkah kecil itu bisa membangkitkan kembali kesadaran sejarah Islam di tengah masyarakat urban.

Peran Pemikiran Al-Farabi; Pencerahan Filsafat Yunani dan Barat

Jangan Kubur Darah Syuhada di Balik Tirai Hotel

Hotel Majapahit dan darah syuhada adalah satu kesatuan yang tak boleh dipisah. Bangunan ini bukan sekadar penginapan berkelas, tapi juga saksi bisu jihad terbesar di awal kemerdekaan. Maka, setiap kali kita melewati halaman atau lorong-lorong hotel, luangkan sejenak untuk merenung dan mendoakan mereka yang gugur.

Mereka tidak meminta dikenang dengan kemewahan, tetapi dihormati dengan kesadaran. Dan kita, sebagai generasi penerus, punya tanggung jawab untuk menjaganya. (Hendri Hasyim)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement