Fiqih
Beranda » Berita » Adab Memberi Hutang dalam Islam: Pahala dan Etika

Adab Memberi Hutang dalam Islam: Pahala dan Etika

Adab berhutang dalam islam

SURAU.CO – Islam adalah agama yang sempurna. Ajarannya mencakup seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam urusan muamalah atau interaksi sosial. Salah satu interaksi yang sangat penting adalah utang-piutang. Namun, sering kali pembahasan hanya fokus pada adab orang yang berutang. Padahal, Islam juga memberikan panduan etika yang sangat mulia bagi orang yang memberikan pinjaman. Adab ini tidak hanya menjaga hubungan baik, tetapi juga membuka pintu pahala yang sangat besar di sisi Allah.

Memberi pinjaman dalam Islam bukanlah sekadar transaksi finansial. Ia adalah wujud dari ta’awun (tolong-menolong) dan kepedulian terhadap sesama. Ini adalah cara untuk meringankan beban saudara seiman.

Pahala Besar di Balik Pinjaman

Banyak orang mengira sedekah adalah puncak kedermawanan. Namun, dalam kondisi tertentu, memberi pinjaman ternyata memiliki pahala yang lebih besar. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan hal ini dalam sebuah hadits. Beliau bersabda:

“Aku melihat pada malam aku diisra`kan, pada pintu surga tertulis: Sedekah dibalas sepuluh kali lipat, sedangkan pinjaman dibalas delapan belas kali lipat. Maka aku bertanya, ‘Wahai Jibril, mengapa pinjaman lebih utama dari sedekah?’ Ia menjawab, ‘Karena orang yang meminta (sedekah) terkadang ia meminta padahal ia punya. Sedangkan orang yang meminta pinjaman, tidaklah ia meminta pinjaman kecuali karena suatu keperluan’.” (HR. Ibnu Majah).

Hadits ini menunjukkan betapa Allah menghargai tindakan memberi pinjaman. Pinjaman biasanya diajukan oleh orang yang benar-benar terdesak oleh kebutuhan. Karena itu, menolongnya pada saat itu memiliki nilai yang sangat tinggi.

Ziarah Makam Hari Jum’at, Apa Hukumnya?

Memberi Kelonggaran Waktu (Tangguh)

Salah satu adab terpenting bagi pemberi utang adalah kesabaran. Ketika peminjam mengalami kesulitan untuk membayar tepat waktu, pemberi utang dianjurkan untuk memberinya kelonggaran. Allah Subhanahu wa Ta’ala secara langsung memerintahkan hal ini dalam firman-Nya:

“Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai ia berkelapangan…” (QS. Al-Baqarah: 280).

Ayat ini adalah perintah yang jelas untuk tidak menekan orang yang sedang dalam kesulitan. Bahkan, Allah menjanjikan pahala naungan di hari kiamat bagi mereka yang melakukannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang ingin dinaungi oleh Allah dalam naungan-Nya, maka hendaklah ia memberi tangguh orang yang kesulitan atau membebaskannya.”

Sahabat Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu pernah memberikan teladan nyata tentang ini. Ia mencari seseorang yang berutang kepadanya. Namun, orang itu selalu bersembunyi. Suatu hari, Abu Qatadah berhasil menemuinya. Orang itu berkata, “Aku sedang dalam kesulitan.” Abu Qatadah bertanya, “Demi Allah?” Orang itu menjawab, “Demi Allah.” Mendengar kejujuran itu, Abu Qatadah langsung berkata, “Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah bersabda demikian,” lalu ia membebaskan utang orang tersebut.

Menghapuskan Utang, Puncak Kedermawanan

Jika memberi kelonggaran waktu adalah mulia, maka menghapuskan utang adalah puncak kemuliaan. Ini adalah level kebaikan tertinggi dalam urusan utang-piutang. Allah melanjutkan firman-Nya dalam ayat yang sama:

Tidak Shalat Jum’at Karena Hujan; Apa Hukumnya?

“…Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 280).

Tindakan ini menunjukkan tingkat keikhlasan dan empati yang luar biasa. Pemberi utang tidak hanya sabar, tetapi ia juga rela merelakan haknya demi meringankan beban saudaranya sepenuhnya.

Larangan Keras Mengambil Keuntungan (Riba)

Prinsip utama dalam utang-piutang Islam adalah niat menolong, bukan mencari keuntungan. Oleh karena itu, setiap manfaat atau keuntungan tambahan yang disyaratkan dari pinjaman adalah riba. Dan riba hukumnya haram secara mutlak. Kaidah fiqih menyatakan:

“Setiap pinjaman yang mendatangkan keuntungan, maka itu adalah riba.”

Ini berarti pemberi pinjaman tidak boleh menerima “hadiah”, “jasa”, atau “tambahan” apapun yang timbul sebagai akibat dari pinjaman yang ia berikan. Jika hal itu terjadi, transaksi tersebut telah ternodai oleh praktik riba yang terlarang.

Bencana Alam Dari Perspektif Islam: Ujian atau Peringatan Allah?

Pentingnya Pencatatan untuk Kebaikan Bersama

Terakhir, Islam sangat menganjurkan agar setiap transaksi utang dicatat dengan jelas. Tujuannya adalah untuk menjaga hak kedua belah pihak. Pencatatan mencegah lupa, menghindari perselisihan di kemudian hari, dan menjadi bukti yang sah. Ini bukanlah tanda ketidakpercayaan. Sebaliknya, ini adalah bentuk kehati-hatian yang menjaga persaudaraan agar tidak rusak hanya karena kesalahpahaman.

Dengan memahami dan mengamalkan adab ini, seorang muslim mengubah transaksi duniawi menjadi investasi akhirat yang berharga.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement