Sejarah
Beranda » Berita » Perjanjian Hudaibiyah: Kemenangan di Balik Pahitnya Kesepakatan

Perjanjian Hudaibiyah: Kemenangan di Balik Pahitnya Kesepakatan

Ilustrasi Perjanjian Hudaibiyyah

SURAU.CO – Hudaibiyah adalah nama sebuah sumur arah barat daya dari kota Mekah dengan jarak sekitar 22 km. Sekarang tempat ini dikenal dengan nama Asyamisiy. Kemudian Hudaibiyyah dikenal sebagai nama sebuah peperangan atau perjanjian antara kaum Muslimin dan kuffar Quraisy yang terjadi pada tahun ke-6 hijriyah pada bulan Dzulqa’dah.

Perjanjian Hudaibiyah adalah sebuah mahakarya diplomasi kenabian. Ia menjadi bukti bahwa kemenangan tidak selalu diraih dengan pedang. Peristiwa ini terjadi pada bulan Dzulqa’dah tahun ke-6 Hijriah. Pada awalnya, banyak sahabat menganggapnya sebagai sebuah kemunduran. Namun, Allah menamainya sebagai Fathun Mubin atau “kemenangan yang nyata”. Kisah Hudaibiyah mengajarkan umat Islam pelajaran berharga tentang kesabaran. Ia juga menunjukkan pentingnya mempercayai hikmah di balik setiap keputusan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Perjalanan Suci yang Dihadang Paksa

Semuanya berawal dari kerinduan mendalam. Rasulullah dan para sahabat sangat merindukan Ka’bah. Mereka ingin melaksanakan ibadah umrah. Akhirnya, Nabi mengumumkan akan berangkat ke Mekah. Sekitar 1.400 kaum muslimin menyambut panggilan ini dengan suka cita. Mereka berangkat dari Madinah tanpa niat berperang. Mereka hanya membawa pedang musafir yang tersarung. Ini sebagai tanda bahwa mereka datang dengan damai.

Namun, kabar kedatangan rombongan besar ini membuat para pemimpin Quraisy di Mekah panik. Mereka salah menafsirkan niat kaum muslimin. Mereka mengira ini adalah upaya penyerbuan. Dengan cepat, mereka mengerahkan pasukan untuk menghadang Nabi dan para sahabat. Mereka bersumpah tidak akan membiarkan Muhammad memasuki kota Mekah.

Rasulullah dan pasukannya pun berhenti di sebuah tempat bernama Hudaibiyah. Lokasinya berada tepat di perbatasan Tanah Haram. Dari sana, beliau mencoba bernegosiasi. Beliau mengutus beberapa sahabat untuk menjelaskan tujuan mereka. Namun, kaum Quraisy tetap menolak. Mereka bahkan menahan utusan terakhir, Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu.

Mustafa Kemal Ataturk: Modernisasi dan Perkembangan Islam Modern

Bai’at Ridwan: Sumpah Setia di Bawah Pohon

Penahanan Utsman memicu situasi yang kritis. Tiba-tiba, tersebar kabar bohong bahwa Utsman telah dibunuh oleh kaum Quraisy. Berita ini menyulut kemarahan dan kesedihan di kalangan kaum muslimin. Di tengah situasi genting ini, Rasulullah menunjukkan kepemimpinan yang luar biasa. Beliau tidak menyerukan balas dendam membabi buta. Sebaliknya, beliau mengumpulkan para sahabat di bawah sebuah pohon.

Di sana, beliau meminta mereka untuk bersumpah setia. Mereka berikrar untuk tidak akan lari dari medan perang. Mereka akan berjuang hingga titik darah penghabisan untuk membela kehormatan Islam. Peristiwa sumpah setia ini dikenal sebagai Bai’at ur-Ridwan. Allah meridhai sumpah mereka dan mengabadikannya dalam Al-Qur’an (QS. Al-Fath: 18). Sumpah ini menunjukkan kekompakan dan kekuatan barisan muslim. Hal ini justru membuat kaum Quraisy merasa gentar.

Negosiasi Pahit yang Menguji Iman

Melihat kesolidan kaum muslimin, Quraisy akhirnya melunak. Mereka sadar bahwa perang hanya akan merugikan mereka. Mereka pun mengirim seorang juru runding ulung bernama Suhail bin Amr. Negosiasi berlangsung alot. Suhail menuntut syarat-syarat yang secara lahiriah sangat merugikan pihak Islam.

Isi perjanjian itu antara lain:

  1. Gencatan senjata antara kedua belah pihak selama 10 tahun.

    Peran Pemikiran Al-Farabi; Pencerahan Filsafat Yunani dan Barat

  2. Kaum muslimin harus kembali ke Madinah tahun ini. Mereka boleh kembali untuk umrah tahun depan. Namun, mereka hanya boleh tinggal di Mekah selama tiga hari.

  3. Orang Quraisy yang lari ke pihak muslim di Madinah tanpa izin walinya harus dikembalikan.

  4. Sebaliknya, muslim yang lari ke pihak Quraisy di Mekah tidak akan dikembalikan.

Syarat-syarat ini terasa sangat tidak adil. Para sahabat, termasuk Umar bin Khattab, merasa sangat kecewa dan marah. Umar bahkan mendatangi Rasulullah dan memprotes dengan keras. Namun, Rasulullah dengan tenang menjawab:

“Sesungguhnya aku adalah hamba Allah dan Rasul-Nya. Aku tidak akan pernah menyalahi perintah-Nya dan Dia tidak akan pernah menyia-nyiakanku.”

Kitab Taisirul Kholaq: Terobosan Pembelajaran Akhlak Metode Salafiyah

Jawaban ini menunjukkan keyakinan penuh bahwa perjanjian ini adalah wahyu dari Allah. Ali bin Abi Thalib pun diperintahkan untuk menulis naskah perjanjian itu.

Hikmah Besar di Balik Perjanjian

Meskipun terasa pahit, Perjanjian Hudaibiyah membuka gerbang kemenangan yang lebih besar. Gencatan senjata selama 10 tahun memberikan kesempatan emas. Kaum muslimin bisa berdakwah dengan lebih leluasa tanpa ancaman perang. Banyak suku Arab yang sebelumnya takut, kini mulai berinteraksi dengan kaum muslimin.

Hasilnya sangat menakjubkan. Dalam dua tahun setelah perjanjian, jumlah orang yang masuk Islam meningkat pesat. Angkanya jauh lebih besar daripada selama 19 tahun sebelumnya. Perjanjian ini juga merupakan pengakuan secara de facto dari Quraisy terhadap eksistensi negara Islam di Madinah.

Pada akhirnya, Perjanjian Hudaibiyah menjadi pembuka jalan bagi Fathu Makkah (Pembebasan Mekah) dua tahun kemudian. Peristiwa ini membuktikan bahwa apa yang tampak sebagai kekalahan di mata manusia, sesungguhnya adalah kemenangan gemilang dalam rencana Allah. Itulah makna sesungguhnya dari Fathun Mubin.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement