Sejarah
Beranda » Berita » Perang Tabuk: Ujian Terberat yang Menguji Ketulusan Iman

Perang Tabuk: Ujian Terberat yang Menguji Ketulusan Iman

Ilustrasi Perang Tabuk

SURAU.CO – Perang Tabuk adalah ekspedisi militer terbesar sekaligus terakhir yang dipimpin langsung oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Peristiwa ini terjadi pada bulan Rajab tahun ke-9 Hijriah. Ia juga dikenal dengan sebutan Ghazwatul ‘Usrah atau “Perang di Masa Kesulitan”. Nama ini sangat tepat. Perang ini menjadi medan ujian yang sesungguhnya. Ia memisahkan dengan jelas antara barisan kaum mukmin yang tulus dan kaum munafik yang penuh keraguan. Kisahnya adalah pelajaran abadi tentang pengorbanan, keikhlasan, dan pentingnya kejujuran dalam beragama.

Pemicu Perang dan Kondisi yang Sangat Sulit

Pemicu perang ini adalah berita yang sampai ke Madinah. Kabar itu menyebutkan bahwa Kekaisaran Romawi Bizantium sedang mempersiapkan pasukan besar. Mereka berencana menyerang negara Islam yang baru tumbuh. Mereka juga bekerja sama dengan suku-suku Arab Kristen di perbatasan. Menanggapi ancaman serius ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam segera mengumumkan mobilisasi umum.

Namun, panggilan jihad kali ini datang pada waktu yang sangat tidak ideal. Madinah sedang dilanda musim panas yang luar biasa terik. Panasnya menyengat dan membuat perjalanan menjadi sangat berat. Lebih dari itu, musim panen kurma sudah di depan mata. Bagi banyak penduduk, inilah waktu yang mereka nantikan untuk menikmati hasil kerja keras mereka. Mereka tentu berat hati untuk meninggalkan kebun dan keluarga.

Kondisi ekonomi pun sedang sulit. Banyak kaum muslimin tidak memiliki cukup bekal, apalagi kendaraan. Inilah yang membuat ekspedisi ini dijuluki Jaisyul ‘Usrah (Pasukan Masa Sulit). Kesulitan ini benar-benar menguji iman setiap individu. Siapakah yang akan tetap berangkat di tengah himpitan seperti ini?

Kontras Tajam: Pengorbanan Mukmin dan Alasan Munafik

Di tengah kesulitan itu, muncullah contoh-contoh pengorbanan yang luar biasa. Para sahabat berlomba-lomba menginfakkan harta terbaik mereka. Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu datang memberikan kontribusi yang spektakuler. Ia mendanai sepertiga dari seluruh pasukan. Ia menyerahkan 900 ekor unta, 100 ekor kuda, dan 1.000 dinar emas. Melihat kedermawanan ini, Rasulullah bersabda:

Mustafa Kemal Ataturk: Modernisasi dan Perkembangan Islam Modern

“Tidak akan membahayakan Utsman apa yang ia lakukan setelah hari ini.”

Abdurrahman bin Auf juga datang dengan 4.000 dirham. Bahkan, sahabat yang miskin pun tidak mau ketinggalan. Abu ‘Aqil membawa satu sha’ kurma, hasil kerja kerasnya semalaman. Ia menyerahkan separuhnya untuk jihad dan separuhnya untuk keluarganya.

Di sisi lain, kaum munafik mulai mencari-cari alasan untuk tidak ikut berperang. Mereka datang kepada Nabi dengan berbagai dalih. Ada yang mengeluh tentang panasnya cuaca. Ada pula yang beralasan takut tergoda oleh wanita-wanita Romawi. Allah pun membongkar niat busuk mereka dalam Al-Qur’an:

“Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut berperang) itu, merasa gembira dengan tinggalnya mereka di belakang Rasulullah, dan mereka tidak suka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah dan mereka berkata: ‘Janganlah kamu berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini.’ Katakanlah: ‘Api neraka Jahannam itu lebih sangat panas(nya),’ jika mereka mengetahui.” (QS. At-Taubah: 81).

Ada pula sekelompok sahabat miskin yang tulus. Mereka sangat ingin ikut berjihad. Namun, mereka tidak memiliki tunggangan. Mereka datang kepada Rasulullah sambil menangis memohon agar diberi kendaraan. Akan tetapi, Rasulullah tidak dapat menyediakannya. Mereka pun pulang dengan hati sedih dan air mata berlinang. Allah mengabadikan ketulusan mereka dan memaafkan mereka.

Peran Pemikiran Al-Farabi; Pencerahan Filsafat Yunani dan Barat

Perjalanan Menuju Tabuk dan Hasil Tanpa Pertumpahan Darah

Dengan segala keterbatasan, berangkatlah 30.000 pasukan muslim menuju Tabuk. Perjalanan ini sangatlah berat. Bekal yang sedikit memaksa mereka untuk berbagi. Terkadang, beberapa orang harus bergantian menaiki satu ekor unta. Mereka bahkan terpaksa meminum air dari dalam perut unta untuk bertahan hidup.

Setibanya di Tabuk, ternyata pasukan Romawi tidak ada di sana. Mendengar kedatangan pasukan muslim yang begitu besar dan solid, mereka gentar. Pasukan Romawi dan sekutunya memilih untuk menarik diri dan kembali ke wilayah mereka. Rasulullah dan pasukannya pun menetap di Tabuk selama sekitar 20 hari.

Meskipun tidak terjadi pertempuran, ekspedisi ini menghasilkan kemenangan strategis yang besar. Rasulullah memanfaatkan waktu di sana untuk membuat perjanjian damai dengan suku-suku di perbatasan. Hal ini berhasil memperluas pengaruh politik Islam hingga ke utara. Kemenangan ini diraih tanpa setetes pun darah tertumpah.

Pelajaran dari Tiga Sahabat yang Tertinggal

Kisah paling menyentuh dari Perang Tabuk adalah kasus tiga orang sahabat yang tidak ikut serta tanpa alasan yang dibenarkan syariat. Mereka adalah Ka’ab bin Malik, Murarah bin Ar-Rabi’, dan Hilal bin Umayyah. Berbeda dengan kaum munafik, mereka jujur mengakui kesalahan mereka.

Sebagai hukuman, Rasulullah memerintahkan seluruh kaum muslimin untuk mengucilkan mereka. Tidak ada seorang pun yang boleh berbicara dengan mereka selama 50 hari. Ini adalah hukuman sosial yang sangat berat. Namun, mereka tetap sabar dan berharap ampunan Allah. Puncaknya, Allah menurunkan wahyu yang menerima taubat mereka. Kisah Ka’ab bin Malik menjadi pelajaran abadi tentang pentingnya kejujuran, bahkan ketika itu sangat pahit.

Kitab Taisirul Kholaq: Terobosan Pembelajaran Akhlak Metode Salafiyah

Perang Tabuk adalah cerminan sejati. Ia menunjukkan bahwa kesulitan bukanlah penghalang bagi iman yang kokoh. Sebaliknya, ia adalah alat penyaring yang memisahkan emas dari loyang.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement