SURAU.CO – Sejarah Arab pra-Islam mencatat sebuah peristiwa luar biasa yang menunjukkan kekuasaan Allah secara nyata: kisah pasukan gajah. Allah mengabadikan kisah ini dalam Surat Al-Fil sebagai pengingat abadi bahwa Ia adalah pelindung terbaik Baitullah. Peristiwa agung ini semakin terasa istimewa karena terjadi tepat pada tahun kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kisah ini membuktikan bagaimana kekuatan terbesar sekalipun bisa hancur oleh kehendak-Nya.
Ambisi yang Memicu Konflik
Kisah ini bermula dari seorang gubernur di Yaman bernama Abrahah Al-Asyram Al-Habasyi. Saat itu, Kerajaan Habasyah (Ethiopia) menguasai Yaman. Dengan kekuasaannya, Abrahah membangun sebuah gereja yang sangat megah di kota Shan’a. Ia memberinya nama Al-Qullais.
Di balik kemegahan gereja itu, Abrahah menyimpan sebuah ambisi besar. Ia ingin mengalihkan perhatian bangsa Arab dari Ka’bah di Mekah ke gerejanya. Ia bahkan secara percaya diri menulis surat kepada Raja Habasyah untuk menyatakan rencananya:
“Sesungguhnya aku telah membangunkan sebuah gereja untukmu, wahai Raja. Belum pernah ada yang membangun sepertinya untuk seorang raja sebelummu. Dan aku tidak akan berhenti hingga aku bisa memalingkan haji orang Arab kepadanya”.
Tentu saja, rencana ini menyulut amarah bangsa Arab. Mereka memiliki ikatan sejarah dan spiritual yang mendalam dengan Ka’bah. Sebagai bentuk perlawanan, seorang pria dari suku Bani Kinanah menyelinap masuk ke dalam Al-Qullais pada suatu malam. Di sana, ia melumuri dinding kiblat gereja itu dengan kotoran sebagai tindakan penghinaan.
Tindakan ini membuat Abrahah murka luar biasa. Ia lantas bersumpah akan membalasnya dengan menghancurkan Ka’bah hingga rata dengan tanah. Tanpa menunda waktu, Abrahah segera menyiapkan pasukan raksasa. Ia juga membawa seekor gajah perkasa bernama Mahmud untuk memimpin serangan dan menaklukkan Mekah.
Perjalanan Penuh Perlawanan dan Sikap Teguh Abdul Muthalib
Pasukan Abrahah bergerak menuju Mekah. Di sepanjang jalan, mereka menghadapi perlawanan dari berbagai suku Arab. Namun, kekuatan mereka tidak sebanding. Pasukan Abrahah dengan mudah mengalahkan perlawanan yang dipimpin oleh Dzu Nafar dan Nufail bin Habib Al-Khasy’ami.
Akhirnya, mereka tiba di Al-Mughammas, sebuah lokasi di dekat Mekah. Di sana, Abrahah memerintahkan pasukannya untuk merampas harta penduduk, termasuk 200 ekor unta milik Abdul Muthalib bin Hasyim, kakek Nabi Muhammad sekaligus pemimpin Quraisy.
Selanjutnya, Abrahah mengutus seorang perwakilan untuk menemui para pemimpin Quraisy. Ia menyampaikan pesan yang jelas: tujuannya hanya menghancurkan Ka’bah, bukan berperang. Jika tidak ada yang menghalangi, ia tidak akan menumpahkan darah.
Abdul Muthalib menanggapi pesan itu dengan ketenangan yang luar biasa. Ia berkata, “Demi Allah, kami tidak ingin berperang dengannya karena kami tidak punya kekuatan. Ini adalah Baitullah Al-Haram. Jika Allah melindunginya, itu adalah rumah-Nya. Namun, jika Dia membiarkannya, kami pun tidak punya kekuatan untuk membelanya.”
Kemudian, Abdul Muthalib datang sendiri untuk bernegosiasi langsung dengan Abrahah. Penampilan Abdul Muthalib yang agung sempat membuat Abrahah terkesan. Namun, Abrahah sangat terkejut. Abdul Muthalib ternyata hanya meminta unta-untanya kembali, tanpa sedikit pun membahas nasib Ka’bah.
Abrahah pun berkata dengan nada meremehkan, “Tadinya aku kagum padamu, tetapi sekarang tidak lagi. Kau hanya memikirkan 200 ekor untamu, tetapi membiarkan rumah ibadah yang menjadi agamamu dan agama nenek moyangmu aku hancurkan?”
Abdul Muthalib lantas memberikan jawaban legendaris yang menunjukkan keyakinan penuh:
“Sesungguhnya aku adalah pemilik unta-unta ini. Adapun Baitullah, ia memiliki Pemiliknya sendiri yang akan melindunginya.”
Saat Pertolongan Turun dari Langit
Setelah mendapatkan kembali untanya, Abdul Muthalib segera memerintahkan penduduk Mekah untuk menyelamatkan diri ke puncak-puncak gunung. Ia hanya tinggal bersama beberapa pemuka Quraisy. Mereka berdoa di sisi Ka’bah, memohon perlindungan Allah.
Keesokan paginya, Abrahah memerintahkan pasukannya untuk maju. Namun, sebuah keajaiban menghentikan mereka. Gajah Mahmud, yang berada di barisan paling depan, tiba-tiba berhenti dan menderum. Ia sama sekali tidak mau melangkah ke arah Ka’bah. Setiap kali dipaksa, ia justru berlutut. Sebaliknya, saat dihadapkan ke arah lain, ia segera bangkit dan berlari.
Di tengah kebingungan itu, pertolongan Allah datang. Sekawanan burung yang tak terhitung jumlahnya tiba-tiba memenuhi langit. Para ulama tafsir menyebutnya burung Ababil. Setiap burung membawa tiga kerikil panas dari tanah liat yang dibakar. Satu di paruhnya dan dua di cakarnya.
Burung-burung itu kemudian menjatuhkan batu-batu panas tersebut tepat ke atas pasukan Abrahah. Setiap prajurit yang terkena batu itu seketika binasa. Tubuh mereka hancur, persis seperti gambaran Allah dalam firman-Nya:
“Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong, yang melempar mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar, lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat).” (QS. Al-Fil: 3-5).
Abrahah sendiri sempat melarikan diri, tetapi tubuhnya membusuk perlahan dalam perjalanan. Ia akhirnya tewas dalam kondisi mengenaskan setibanya di Shan’a. Melalui cara yang melampaui akal manusia, Allah sekali lagi menunjukkan kekuasaan-Nya yang mutlak untuk melindungi rumah-Nya.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
