SURAU.CO – Muawiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhu merupakan sosok sahabat Nabi yang mulia. Ia dikenal sebagai salah satu raja terbaik dalam sejarah Islam. Namun, salah satu pencapaian terbesarnya adalah menjadi pionir. Ia adalah panglima Islam pertama yang memimpin pasukan mengarungi samudra. Kisahnya membuktikan sebuah nubuwwah (berita kenabian) dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Prestasi ini mengubah peta kekuatan militer kaum muslimin secara drastis. Ia membuka gerbang dakwah dan jihad melalui jalur yang sebelumnya tidak tersentuh, yaitu lautan.
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah memberikan doa khusus untuknya:
“Ya Allah, jadikanlah dirinya mendapat petunjuk lagi memberi petunjuk dan berilah petunjuk orang lain dengan sebab dirinya“. (HR. Ahmad).
Doa ini menjadi salah satu bukti keutamaan yang dimiliki oleh paman kaum mukminin dan penulis wahyu ini.
Nubuwwah Rasulullah dan Pasukan Laut Pertama
Kisah penaklukan lautan ini berawal dari sebuah hadits yang sangat terkenal. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik. Ia menceritakan dari bibinya, Ummu Haram binti Milhan radhiyallahu ‘anha.
Suatu hari, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tertidur di rumah Ummu Haram. Kemudian, beliau terbangun sambil tersenyum. Ummu Haram pun bertanya, “Apa yang membuatmu tertawa, wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab:
“Ada sekelompok manusia dari kalangan umatku baru saja dinampakkan padaku, mereka pergi untuk jihad dijalan Allah, mengarungi lautan ini… Bagaikan raja di atas singgasana”.
Mendengar kabar gembira itu, Ummu Haram langsung memohon, “Berdoalah kepada Allah agar aku termasuk dari mereka.” Rasulullah pun mendoakannya. Bertahun-tahun kemudian, hadits ini terbukti kebenarannya. Ummu Haram ikut serta dalam ekspedisi laut pertama pada masa pemerintahan Muawiyah. Namun, ia terjatuh dari tunggangannya saat tiba di daratan dan wafat sebagai syahidah.
Dalam riwayat lain yang lebih spesifik, Imam Bukhari mencatat sabda Rasulullah:
“Pasukan pertama dari kalangan umatku yang berperang di lautan, maka mereka telah berhak (mendapatkan surga)”.
Ummu Haram kembali bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah aku ada di antara mereka?” Beliau menjawab, “Engkau ada di antara mereka.”
Hadits ini menjadi motivasi besar bagi Muawiyah. Saat menjabat sebagai Gubernur Syam pada masa Khalifah Umar bin Khattab, ia melihat ancaman konstan dari armada Romawi di Laut Mediterania. Muawiyah pun meminta izin kepada Umar untuk membangun angkatan laut. Akan tetapi, Khalifah Umar menolak usulan itu. Ia khawatir akan keselamatan pasukan muslim di lautan yang ganas.
Namun, Muawiyah tidak menyerah. Setelah Umar wafat, ia kembali mengajukan proposal yang sama kepada Khalifah Utsman bin Affan. Setelah melalui pertimbangan matang, Khalifah Utsman akhirnya memberikan izin. Ia menetapkan syarat agar keikutsertaan bersifat sukarela. Dengan izin ini, Muawiyah segera membentuk armada laut Islam yang pertama. Misi perdana mereka adalah menaklukkan Pulau Siprus, sebuah pangkalan militer Romawi yang strategis. Akhirnya, nubuwwah Rasulullah pun terwujud. Muawiyah menjadi komandan pasukan tersebut, dan Ummu Haram ikut serta di dalamnya.
Pemimpin Cerdas dan Raja Terbaik
Keberhasilan Muawiyah tidak hanya terbatas pada lautan. Selama 20 tahun menjabat sebagai Gubernur Syam, ia menunjukkan kapasitas kepemimpinan yang luar biasa. Ia berhasil menjaga stabilitas, dicintai rakyatnya, dan disegani oleh musuh. Imam Adz-Dzahabi memujinya dengan mengatakan bahwa penunjukan Umar dan Utsman terhadapnya sudah cukup sebagai bukti kapabilitasnya. Rakyat hidup sejahtera di bawah kepemimpinannya yang adil dan dermawan.
Setelah masa Khulafaur Rasyidin, Muawiyah menjadi khalifah. Ia memimpin selama 20 tahun berikutnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan:
”Para ulama telah bersepakat bahwa Muawiyah adalah raja terbaik dari kalangan umat ini.”
Di bawah pemerintahannya, wilayah Islam menjadi sangat luas dan bersatu. Ia menguasai dua tanah suci, Mesir, Syam, Irak, Khurasan, Persia, Yaman, Maroko, dan banyak negeri lainnya. Ia memimpin dengan kecerdasan, kebijaksanaan, dan keteguhan hati.
Sejarah mencatat adanya perselisihan antara Muawiyah dan Ali bin Abi Thalib. Terkait hal ini, sikap Ahlus Sunnah wal Jama’ah sangat jelas. Kita wajib menahan lisan dari mencela salah seorang pun dari sahabat Nabi. Kita meyakini bahwa mereka semua berijtihad. Jika ijtihad mereka benar, mereka mendapat dua pahala. Jika keliru, mereka mendapat satu pahala dan kesalahannya diampuni.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Janganlah kalian mencela para sahabatku. Demi Allah, kalau seandainya salah seorang di antara kalian menginfakkan emas sebesar Gunung Uhud, tidak akan mampu mencapai (pahala) satu mud mereka, tidak pula setengahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Oleh karena itu, mencintai dan mendoakan kebaikan untuk mereka adalah bagian dari akidah. Muawiyah bin Abi Sufyan tetaplah seorang sahabat mulia, panglima pionir, dan pemimpin cerdas yang jasanya sangat besar bagi umat Islam.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
