Khazanah
Beranda » Berita » Memulai Dari Titik Awal: Rekonstruksi Peradaban dari Catatan yang Nyaris Terabaikan

Memulai Dari Titik Awal: Rekonstruksi Peradaban dari Catatan yang Nyaris Terabaikan

Memulai Dari Titik Awal: Rekonstruksi Peradaban dari Catatan yang Nyaris Terabaikan

Memulai Dari Titik Awal: Rekonstruksi Peradaban dari Catatan yang Nyaris Terabaikan

 

Refleksi Sejati: Seringkali kita mengumpulkan serpihan harapan dari masa lalu—bukan karena menyerah, tetapi karena sadar bahwa tak semua bisa disatukan kembali oleh tangan lelah kita. Sejak kecil kita diberi pelajaran mulia: memperbaiki adalah kebajikan, memperjuangkan kebaikan adalah cinta. Namun tidak pernah diajarkan bahwa kadang cinta pun harus rela melepas, bukan keras kepala mempertahankan yang mustahil.

Puisi Kehidupan

Apa gunanya kita menghabiskan sisa hari
Hanya demi membetuli puing yang pondasinya rapuh
Hidup terlalu singkat Untuk terus mengais harapan yang telah mati

Berani memulai dari awal, meski tangan bergetar dan hati belum sembuh, adalah keberanian tertinggi. Karena cinta sejati bukan tentang bertahan selamanya, tapi tentang memilih waktu untuk berubah sebaik-baiknya.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Rekonstruksi Peradaban dari Akar yang Tersembunyi

Kita mungkin tak cukup kuat melawan arus besar zaman, tetapi kita punya keyakinan: bahwa perubahan besar dimulai dari hulu—dalam diri dan kitab yang terjaga, Al‑Qur’an. QS. Al‑Furqān 25:30 menggambarkan hati Muhammad ﷺ yang terluka karena umat menjauhi Al‑Qur’an:

> “Ya Rabb, sesungguhnya kaumku telah meninggalkan Al‑Qur’an.”

QS Al‑A‘rāf 7:3 mengingatkan:

> “Ikutilah apa yang diturunkan kepada kalian dari Tuhan kalian, dan janganlah mengikuti pemimpin selain-Nya; sedikit sekali kalian mengambil pelajaran.”

Dan QS. 15:9 mengokohkan janji Allah menjaga Al‑Qur’an dari korupsi. QS. 10:109 dan 25:52 menggambarkan peran Al‑Qur’an dalam hidayah serta penegasan: jangan meniru tradisi yang rusak, bangunlah kembali dari buku awal—Al‑Qur’an.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Mengapa Memulai dari Awal?

1. Stabilitas Pondasi
Puing tanpa fondasi tak mampu menopang rumah baru. Begitulah masyarakat; tambah arab sufi.2. Kehormatan dan Keberanian
Membangun ulang bukan mundur, tapi mengakui bahwa sebagian warisan telah hancur.3. Kesetiaan pada Sumber Asli
Al‑Qur’an bukan sekadar teks historis, melainkan rahmat universal, refleksi hati manusia, solusi peradaban. QS. 10:109

4. Tasyrsaf dan Transformasi
Perubahan total sering dimulai dari aturan dan prinsip—QS. 7:3 memerintahkan mengikuti—dan menjauhi—pemimpin selain Dia.

Langkah Nyata untuk Kita

Mulai dari diri sendiri, dengan istiqamah membaca, mentadabbur, dan menghidupkan syiar Al‑Qur’an.

Perbarui sistem kehidupan kita—keluarga, komunitas, sekolah—berbasis nilai Qur’ani.

Jadilah pelopor budaya pembenahan: tanya apakah sebuah tradisi sesuai prinsip, atau hanya sisa warisan yang rapuh.

Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi

Penutup: Titik Awal Baru

Memulai kembali bukan tanda lemah, tapi penegasan bahwa kita kecil di hadapan zaman, namun besar saat berserah pada prinsip yang benar. Mari bangun kembali dari catatan awal yang nyaris terlupakan—Al‑Qur’an—dan rekonstruksi peradaban dengan semangat yang baru.

 

 


 

Menguatkan Hati Saat Menyekolahkan Anak di Pesantren: Antara Air Mata dan Harapan.

 

Menyekolahkan anak ke ma’had, pesantren, atau boarding school bukanlah keputusan yang ringan. Bagi sebagian orang tua, ini seperti melepaskan sepotong hati untuk ditempa di tempat yang jauh dari pelukan. Ada haru, ada rindu, bahkan tak jarang air mata menjadi teman setiap malam.

Melihat anak harus beradaptasi dengan ritme yang baru, lingkungan yang asing, dan teman-teman dengan latar belakang yang berbeda seringkali menyayat hati. Apalagi ketika mendengar suara lirihnya di telepon, melihat mata sembabnya saat kunjungan, atau membaca pesan singkatnya yang penuh rindu. Sungguh, sebagai orang tua, kadang kita ingin menyerah. Ingin segera menjemputnya. Ingin memeluk dan berkata, “Sudah Nak, pulanglah…”

Namun, di balik semua perasaan itu, ada kesadaran yang terus menyadarkan hati: ini bukan hukuman, ini adalah proses penempaan. Anak kita sedang ditempa, bukan dipenjara. Ia sedang belajar menjadi pribadi yang kuat, dewasa, dan mandiri. Setiap tetesan air matanya, setiap rindu yang ia tahan, adalah bagian dari proses pembentukan jiwanya yang tangguh dan hatinya yang dekat kepada Allah ﷻ.

Menyerah bukan pilihan. Justru saat anak sedang berjuang, di sanalah doa dan dukungan kita sebagai orang tua sangat dibutuhkan. Tugas kita bukan menciptakan hidup yang tanpa tantangan bagi mereka, tetapi menjadi tempat berpulang yang penuh kasih, doa, dan semangat.

Karena sesungguhnya, tidak semua cinta itu harus memanjakan. Tidak semua rindu harus dijemput. Ada cinta yang membiarkan demi kebaikan. Ada rindu yang harus dibiarkan menunggu agar tumbuh kekuatan di dalamnya.

Sebagai orang tua, kita perlu meyakini bahwa anak-anak kita bukan sedang diuji untuk dihancurkan, tetapi sedang dilatih untuk menjadi pemenang dalam kehidupan. Dengan izin Allah, mereka akan tumbuh dari proses ini—bukan hancur karenanya. Mereka akan keluar dari tempat itu bukan hanya dengan ilmu, tapi juga dengan ketangguhan, kesabaran, dan iman yang lebih dalam. Ya Allah, kuatkan kami…

Semoga tidak hanya anak-anak kita yang kuat, tapi kita pun sebagai orang tua diberi kekuatan untuk tetap sabar, ikhlas, dan penuh tawakal dalam menghadapi fase berat ini. Semoga Allah memudahkan jalan mereka, melindungi mereka dari kelelahan yang sia-sia, dan menjadikan mereka cahaya kebaikan di masa depan.

Karena sesungguhnya, “Lā ḥawla wa lā quwwata illā billāh”—Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah semata. Aamiin Yaa Rabbal ‘Alamiin. (Tengku Iskandar)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement