Surau.co – Bicara soal keraton di tanah Jawa, masyarakat Indonesia pada umumnya akan teringat Yogyakarta, atau Solo. Padahal, ada satu kota lain yang juga memiliki keraton aktif hingga saat ini. Bahkan jumlahnya lebih banyak, yakni empat keraton. Kota itu adalah Cirebon, sebuah kota di pantai utara Jawa barat.
Empat keraton yang masih eksis di Cirebon itu adalah Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, Keraton Kacirebonan, dan Keraton Keprabonan. Ya, jumlahnya dua kali lipat dari yang dimiliki Yogyakarta. Bedanya, keraton di Cirebon hanya sebatas entitas budaya. Sementara di Yogyakarta, selain budaya, keraton menjadi entitas politik, di mana sultan merangkap sebagai kepala pemerintahan provinsi.
Awal Mula Keraton Berdiri di Cirebon
Mengutip laman resmi Pemkot Cirebon, Keraton Cirebon berawal dari keputusan Pangeran Cakrabuana atau Raden Walangsungsang mendidirikan Keraton Pakungwati pada tahun 1430. Cakrabuana sendiri merupakan anak Prabu Siliwangi dari Kerajaan Padjajaran.
Cakrabuana yang beragama islam, secara aturan dan moral tidak bisa menjadi raja di Padjajaran. Sebab kerajaan ini bercorak sunda wiwitan dan kental pengaruh hindu. Itu sebabnya, Cakrabuana memilih untuk menepi dari Padjajaran dan mendirikan keraton di pantai utara Cirebon. Keraton Pakungwati menjadi cikal bakal lahirnya empat keraton di Cirebon.
Pecah Karena Kekuasaan
Keraton Cirebon yakni Pakungwati yang mulanya satu, kemudian pecah menjadi dua pada tahun 1677. Perpecahan terjadi akibat deadlock dalam suksesi kekuasaan menggantikan Pangeran Karim atau Panembahan Girilaya yang wafat pada 1666.
Melalui intervensi Sultan Ageng Tirtayasa Banten, kala itu disepakati keraton dibagi menjadi dua dengan masing-masing dipimpin sultan. Pangeran Martawijaya yang bergelar Sultan Raja Syamsuddin memimpin Keraton Kasepuhan. Adapun Pangeran Kertawijaya yang bergelar Sultan Muhammad Badriddin memimpin Keraton Kanoman.
Pada tahun 1696, jumlah keraton bertambah. Itu setelah putra dari Sultan Kanoman yakni Pangeran Pangeran Adipati Kaprabon mendirikan keraton baru yakni Keraton Keprabonan. Langkah itu dia ambil usai pulang belajar menuntut agama, lalu mendapati ayahnya wafat dan digantikan saudara tirinya. Kaprabon resmi menjadi keraton ketiga di Cirebon.
Perpecahan di Karaton Kanoman rupanya tidak berhenti sampai di situ. Pada tahun 1808, perpacahan baru juga melahirkan Keraton Kacirebonan dengan penguasa pertamanya adalah Sultan Carbon Amirul Mukminin. Sejak saat itu, Cirebon memiliki empat karaton yang secara geografis berdekatan karena lahir dari satu induk yang sama.
Padukan Budaya Islam dan Lokal
Meski bercorak islam, keempat keraton tersebut tidak meninggalkan budaya lokal. Sebaliknya, dua nilai itu berakulturasi. Misalnya arsitektur bangunan di Keraton Kasepuhan dengan ukiran kayu Jawa, ornamen Tionghoa, dan kaligrafi Arab terpahat harmonis.
Tak hanya dari bangunan, akulturasi budaya juga terdapat pada ritual budaya. Misalnya pada bulan maulid ada tradisi muludan, atau pada 1 muharam juga terdapat ritual kebudayaan.
Empat keraton Cirebon adalah contoh nyata bagaimana Islam datang bukan dengan pemaksaan, tapi melalui pendekatan budaya. Sunan Gunung Jati dan para wali menggunakan seni, sastra, dan arsitektur untuk menyampaikan pesan Islam. Oleh karena itu, Islam di Cirebon membaur dengan kearifan lokal, bukan menghapusnya.
Potensi Wisata yang belum Maksimal
Cirebon dengan empat keratonnya memiliki potensi wisata yang besar. Paling tidak bisa menyamai Yogyakarta. Sayangnya, potensi itu sudah puluhan tahun tidak pernah digarap secara serius. Hal itu yang belakangan mulai disadari Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi. Pria yang akrab KDM berjanji akan menyulap Cirebon itu nanti menjadi ‘Yogyakartanya’ Jawa Barat.
Keraton Cirebon, sangat menarik bukan hanya tempat ziarah atau foto-foto, tetapi ruang pembelajaran tentang toleransi, kearifan lokal, dan Islam yang membumi. Sebuah nilai yang amat disayangkan bila generasi muda Indonesia tidak menikmatinya.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
