Khazanah
Beranda » Berita » Hikmah Permintaan Maaf: Perjalanan Nikah Sahabat Karib

Hikmah Permintaan Maaf: Perjalanan Nikah Sahabat Karib

Perjalanan Nikah Sahabat Karib

PASCA MEMINTA MAAF PADA SANG MANTAN AKHIRNYA PASANGAN INI DIKARUNIAI ANAK

Alkisah seorang guru sedang berdiskusi hangat bersama muridnya terkait kehidupan dan keseimbangannya.
Sang guru bercerita terkait perjalanan nikah “Sahabat Karibnya” semenjak SMA yang hingga belasan tahun belum memiliki keturunan. Sahabatnya tersebut menanyakan jawaban atas problem pernikahan yang dialami itu.

Beliau bercerita bahwa sahabatnya ini sudah merasa pasrah bak menyerah pada kehidupan terkait kado indah kehidupan berupa “Anak”. Mereka telah lama menjalin bahtera rumah tangga dengan segala tindak wujudnya, hingga masuk pada usia belasan, masih saja belum dikaruniai benih cinta pernikahan.

Anak Menjadi Harapan

Anak yang menjadi harapan dengan waktu yang diberikan oleh sang pencipta untuk meniupkan benih baru kehidupan pada sang istri, ditunggu dengan sabarnya. Meski tidak diketahui kapan waktu yang tepat itu akan datang. Ikhlas dan tawakal pun menambah nilai sabar mereka.

Meski kadang pada satu titik, rasa sedih bahkan frustasi melihat kehidupan hampa tanpa sang buah hati yang menemani mengisi hari-harinya. Terlebih lagi melihat sahabat, sepupu hingga sanak saudara yang umur pernikahan lebih muda darinya sudah mampu memiliki peri kecil rumah tangga baik itu 1 orang sampai 3 orang sekalipun. Dan mereka hanya mampu memandang, memangku, menggendong atau meninabobokan sembari berkata lirih dalam hati “Tuhan kapan diri ini Engkau amanahkan buah hati nan sholeh/sholeha seperti mereka”? Ada sedikit rasa iri yang muncul dari raut wajah mereka saat sedang bercengkrama.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Beragam langkah sudah dilakukan untuk dapat memiliki sang buah hati, mulai dari mengetes ulang kesehatan, perbaikan pola makan, olahraga, konsultasi dokter, konsumsi vitamin, hingga diskusi meminta petunjuk pak ustad atau orang tua yang memilik kemampuan untuk mencari musabab atas masalah yang dialami oleh kedua sahabatnya tersebut.

Mendengar cerita kedua sahabatnya itu, sang guru pun turut merasa sedih atas kondisi pernikahan yang dialami. Bagaimana tidak selama Belasan Tahun Umur Pernikahan dijalani dengan segala ikhtiar yang telah dilakukan, kehampaan hidup sebab sang buah hati yang dinantikan belum nampak jua menemani hari-hari gembira mereka. Sang guru pun menggali lebih dalam kisah dua sejoli ini pra pernikahan.

Noda Hitam: Rasa Sakit Hati

Pada masanya sahabat beliau yang cowok(suami) pernah menjalin kisah cinta dengan cewek lain alias “Pacaran” dalam kurun waktu yang cukup lama. Kala berpacaran kekuatan cinta mereka begitu kuat. Akan tetapi takdir jodoh membawanya harus pisah dari pacar sebelumnya. Proses perpisahan pun terkesan dilakukan dengan cara yang kurang baik. Akibatnya sang mantan masih mengalami rasa sakit hati atau tidak ikhlas menerima kenyataan saat itu karena rasa cinta itu masih melekat. Hingga proses nikah terjadi pada kehidupan masing-masing.

Pada titik itulah akhirnya beliau menemukan jawaban dari masalah yang mereka alami. Noda hitam berupa “Rasa Sakit Hati atau Cinta” yang masih melekat pada diri sang mantan hingga kehidupan baru dimulai, telah menjadi penghalang benih bayi itu tumbuh. Jadi bukan karena belum di berikan “Rezeky oleh Tuhan yang seakan menyalahkan “Tuhan”. Akan tetapi sebagai causalitas atau keseimbangan alam atas tindakan tidak mengenakan yang dilakukan di masa lampau.

Akhirnya sang cowok pun di sarankan untuk bertemu kembali kepada sang mantan bersamaan dengan istrinya seraya memohonkan maaf atas semua kejadian yang telah terjadi di masa lalu. Back story pun timbul, mengenang masa-masa pacaran mereka berdua dulu. Meski ada sedikit rasa sakit hati yang masih terjerat akan tetapi sikap kedewasaan diri serta telah adanya kehidupan masing-masing mengubur itu semua. Saling memaafkan, mengikhlaskan hingga riang tawa membuat suasana menjadi riuh. Rasa bersalah yang pernah ada pun terbayarkan. Dan semua telah mantap menerima perjalanan kehidupan yang ditakdirkan.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Pasca saling memaafkan itu, beberapa bulan kemudian ikthiar untuk memiliki anak pun kembali dilakukan. Ikthiar, doa, dan telah lepasnya rasa bersalah di masa lalu kini buahnya siap dipetik. Sang istri pun akhirnya mengandung setelah menanti belasan tahun lamanya. Buah cinta kasih yang ditunggu-tunggu kini menemani keseharian mereka. Gairah diri yang dulu meredup telah menyala benderang menerangi indah dan bahagianya hidup.

Dari solusi yang disampaikan oleh sang guru di atas untuk meminta maaf kepada mantan pacar si cowok, menyisahkan tanda tanya buat si murid. Diskusi pun kian hangat berlangsung, mengingat masih ada sesuatu yang membuat si murid mendekam penuh tanya. Mengapa kesalahan sang mantan di masa lalu dapat memengaruhi kehidupan akan ada/tidaknya keturunan yang diperoleh si sahabat itu?

Beliau pun mengurai berai jawaban itu dengan berkata “Masalah kehidupan tidak kemudian bicara masalah wujud fisik belaka, akan tetapi ada wujud ghaib yang mengikuti disetiap diri manusia . Di mana pada saat pacaran dijalani oleh dua sejoli, yang sejatinya melakukan proses pacaran adalah dua wujud diri. Wujud pertama yakni fisik dan kedua adalah nafsu (ghoib diri) yang mengendalikan jasad. Pada waktu pisah yang masih meninggalkan rasa sakit hati atau cinta bersamaan saat memulai kehidupan baru, nafsu mantan itu tetap terus mengikuti hingga saat hubungan suami istri itu dilakukan. Meski wujud fisik yang bertemu akan tetapi di alam nafsu (ghaib) tidak mau memperkenankannya. Itulah yang membuat buah hati tidak mampu terbentuk.

Balasan Yang Setimpal

Disisi lain setiap perbuatan manusia entah itu baik atau buruk pasti akan mendapat balasan yang setimpal untuk dirinya. Setiap kebaikan yang dilakukan manusia adalah untuk dirinya dan setiap keburukan yang dilakukan manusia adalah untuk dirinya. Tuhan akan membalas kebaikan/keburukan manusia meski pun sekecil biji zahra. Itulah sistem casualitas Tuhan dan keseimbangan kehidupan (karma). Tentunya prinsip dasar ini tidak hanya terjadi saat pacaran saja akan tetapi dapat dialami oleh mereka yang nikah-cerai, tidak jadi nikah atau proses apapun itu dalam kehidupan yang masih meninggalkan ketidakikhlasan, rasa sakit hati, atau kerugian lainnya bagi orang lain.

Dari cerita guru dan murid di atas yang tengah asyik berdiskusi, semoga kita dapat mengambil hikmah dan pelajaran bahwa setiap perbuatan manusia pasti akan mendapat balasan yang sesuai oleh Tuhan, tanpa kita ketahui kapan waktunya, di mana tempatnya dan seperti apa bentuknya. So berilah setiap keseharian dengan penuh kebijakan dan jika ada kesalahan yang dilakukan pada orang lain terlebih lagi orang terdekat kita berlapangdadalah untuk segera saling memaafkan”. (Tryas)

Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement