SURAU.CO – Pada Senin, 14 Juli 2025, Presiden Prabowo Subianto menghadiri perayaan Bastille Day di Paris, Prancis. Presiden Prabowo hadir sebagai tamu kenegaraan Presiden Emmanuel Macron, sekaligus mendapat kehormatan sebagai tamu VVIP dalam parade nasional Prancis tersebut. Tak hanya itu, di Bastille Day ini personel TNI-POLRI ikut ambil bagian dalam defile militer di Champ-de-Mars, Paris.
Bagi rakyat Prancis, Bastille Day memiliki makna historis yang sangat dalam. Peringatan ini merujuk pada peristiwa penyerbuan Penjara Bastille pada 14 Juli 1789, yang menandai awal Revolusi Prancis dan tumbangnya kekuasaan monarki absolut.
Dalam konteks nasionalisme, Bastille Day setara dengan Hari Kemerdekaan 17 Agustus di Indonesia—sebuah simbol kebangkitan rakyat, pembebasan dari tirani, dan kelahiran semangat republik.
Kita tentunya masih ingat dengan petikan pidato Bung Tomo yang membakar semangat jihad para pemuda:
“Penjajah dari bumi kita Indonesia yang kita cintai ini, sudah lama kita menderita, diperas, diinjak-injak. Sekarang adalah saatnya kita rebut kemerdekaan kita. Kita bersemboyan, MERDEKA ATAU MATI! Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar MERDEKA!”
Jika semasa revolusi fisik kita mengenal pekik “Merdeka atau Mati!” dan “Allahu Akbar!”, maka di Prancis semasa revolusi, mereka meneriakkan “À la Bastille!”.
“À la Bastille!”
Sejak fajar 14 Juli, perhatian pemberontakan Paris tertuju pada Bastille — benteng kelam dengan menara batu menjulang tinggi yang berdiri di antara rumah-rumah di kawasan padat penduduk dekat pintu masuk Faubourg Saint-Antoine.
Menurut Pyotr Kropotkin, filsuf dan sejarawan revolusioner asal Rusia, keputusan rakyat untuk menyerbu Bastille bukan hasil propaganda elite, melainkan lahir dari naluri kolektif. Sejak tanggal 12 atau 13 Juli, rakyat memahami bahwa Bastille akan memainkan peran penting bagi istana untuk menaklukkan Paris, dan mereka merasa perlu mengambil alih Bastille terlebih dahulu.(Pyotr Kropotkin, Great French Revolution, 1909)
Di sisi barat kota, istana menempatkan Jenderal Besenval bersama 30.000 pasukan di Champ de Mars. Sementara itu di timur, kekuasaan monarki bertumpu pada Bastille, yang meriamnya telah mengarah ke titik-titik strategis seperti Faubourg Saint-Antoine, Rue Saint-Antoine, Hôtel de Ville, Palais Royal, hingga Istana Tuileries. Posisi ini menjadikan Bastille sebagai ancaman nyata terhadap pusat perlawanan rakyat.
Tak mengherankan jika pada pagi itu, seruan “À la Bastille!”—yang berarti “Serbu Bastille!”—bergema dari mulut ke mulut di seluruh kota Paris. Pekikan itu bukan hanya ajakan untuk menyerang, tetapi juga sebuah simbol awal revolusi rakyat melawan monarki absolut.(Deux amis de la liberté, Histoire de la Révolution française, 1790–1799)
Pentingnya Bastille
Garnisun Bastille hanya berjumlah 114 orang—terdiri dari 84 veteran dan 30 prajurit Swiss. Gubernur Bastille, Marquis de Launay, bahkan tidak melakukan persiapan serius untuk mempertahankan benteng. Bagi pihak kerajaan, kemungkinan bahwa rakyat akan menyerang Bastille sebagai hal yang mustahil terjadi.
Namun, rakyat berpikir sebaliknya. Mereka menyadari bahwa kaum royalist sangat mengandalkan Bastille sebagai benteng pertahanan timur kota. Informasi dari penduduk sekitar mengungkapkan bahwa pada malam 12–13 Juli, Garnisun diam-diam memindahkan amunisi dari gudang senjata ke Bastille. Ini menandakan bahwa benteng memang sedang mempersiapkan diri melawan rakyat.
Kecurigaan itu semakin kuat ketika rakyat melihat bahwa Gubernur de Launay telah menempatkan meriam di posisi tembak sejak pagi hari tanggal 14 Juli. Meriam itu mengarah langsung ke Hôtel de Ville, tempat di mana kerumunan massa mulai berkumpul.
Bagi rakyat Paris, semua tanda ini sudah cukup jelas: Bastille bukan hanya penjara, tetapi ancaman nyata yang harus segera direbut.
Kebencian Rakyat terhadap Bastille
Penjara seperti Bicêtre, Donjon Vincennes, dan Bastille sejak lama menjadi simbol penindasan yang sangat dibenci rakyat Prancis. Ketiga penjara ini dikenal sebagai tempat penahanan tanpa pengadilan, tempat orang-orang dikurung hanya berdasarkan surat perintah kerajaan (lettre de cachet). Pada kerusuhan tahun 1783, bahkan kalangan bangsawan ikut menentang praktik penahanan sewenang-wenang ini.
Menyikapi tekanan publik, Menteri Bréteuil kala itu memutuskan untuk mengubah Donjon Vincennes menjadi gudang penyimpanan, dan sebagai bentuk kompromi, membuka akses bagi masyarakat untuk melihat langsung ruang bawah tanah Bastille—tempat yang dikenal menyeramkan karena banyaknya kisah penyiksaan dan penghilangan tahanan tanpa jejak.
Menjelang tanggal 14 Juli 1789, ketegangan meningkat. Pada malam 13 Juli, terjadi baku tembak kecil antara kelompok bersenjata rakyat dengan penjaga Bastille. Ketegangan ini menjadi sinyal bahwa konflik besar sudah di ambang pintu.
Massa Mengambil Senjata dari Hôtel des Invalides
Penyerbuan ke Hôtel des Invalides sehari sebelumnya memungkinkan rakyat memperoleh senjata dan meriam. Tujuh sampai delapan ribu orang menyerbu kompleks itu, melompati parit, dan mendapatkan dua belas pucuk meriam serta 32.000 senapan. Senjata dan meriam inilah yang digunakan hari itu juga dalam penyerbuan Bastille.
Pengangkutan meriam dari Hôtel des Invalides berjalan lambat. Pada pukul dua siang belum selesai. Padahal pasukan kerajaan ada di dekat lokasi, di Sekolah Militer dan Champ de Mars. Tapi para perwira ragu. Mereka takut kepada massa yang tak terbendung, lebih dari 200.000 orang dari segala umur dan kelas membanjiri jalan-jalan Paris.
Marquis de Launay Mencoba Mengulur Waktu
Di tengah meningkatnya ketegangan di sekitar Bastille, Komite Permanen di Hôtel de Ville mencoba meredakan situasi. Mereka mengirim delegasi ke Gubernur de Launay, meminta agar ia menarik mundur meriam-meriam dan tidak menyerang warga. De Launay menerima mereka dengan ramah—bahkan menyajikan sarapan pagi.
Untuk sementara, de Launay menarik mundur meriam dan menutup celah-celah tembak dengan papan kayu, agar tampak seolah-olah ia tidak berniat menyerang. Tapi rakyat tidak mudah percaya.
Namun, keramahan itu ternyata hanya taktik. Gubernur sedang mengulur waktu, berharap menerima instruksi dari Versailles. Sayangnya bagi dia, rakyat Paris telah mencegat perintah tersebut sebelum tiba di tangannya.
Di waktu yang hampir bersamaan, delegasi dari distrik Saint-Louis-la-Culture datang sendiri. Salah satu utusannya, Thuriot de la Rosière, berhasil mendapatkan janji lisan dari de Launay: ia tidak akan memerintahkan pasukannya menembak kecuali jika diserang lebih dulu.
Namun, ketika delegasi lain dari Komite kembali mencoba masuk, Gubernur menolak menerima mereka. Sementara itu, suasana di luar semakin memanas.
Rakyat mulai kehilangan kesabaran. Mereka tak lagi percaya pada negosiasi. Saat itulah, pengepungan dan serangan terhadap Bastille benar-benar akan meletus.
Penyerbuan ke Bastille
Kerumunan warga terus membanjiri halaman luar Bastille. Beberapa orang nekat dengan keberanian luar biasa memanjat tembok benteng, menjatuhkan jembatan kecil pertama, lalu membuka gerbang utama dari dalam. Saat lebih dari 300 orang masuk ke halaman dalam, pasukan Bastille justru mulai menembaki massa. Mereka bahkan mencoba menaikkan kembali jembatan—seolah ingin memerangkap dan membantai mereka yang sudah terlanjur masuk.
Rakyat menganggap ini sebagai pengkhianatan terang-terangan dari Gubernur de Launay. Mereka menuduh de Launay memancing warga ke dalam perangkap berdarah, menjadikan kemarahan massa semakin meluas.
Tepat pukul satu siang, kabar bahwa Bastille telah menembaki rakyat menyebar cepat ke seluruh penjuru Paris. Di tengah kepanikan, Komite Kota berupaya menenangkan situasi dengan mengirimkan delegasi untuk bernegosiasi. Namun upaya itu gagal. Rakyat tak mau lagi bicara.
“Yang kami butuhkan bukan delegasi, tapi pengepungan!” seru massa. Mereka menuntut kehancuran Bastille dan kematian gubernurnya.
Garnisun Menyerah
Sekitar pukul tiga sore, sebanyak 300 Garda Nasional Prancis dan warga bersenjata di bawah komando Hulin tiba di lokasi dengan membawa lima meriam. Serangan berlangsung sengit selama lebih dari tiga jam. Untuk menyamarkan gerakan, rakyat membakar dua gerobak berisi jerami, menciptakan asap tebal sebagai pelindung. Api mulai menjalar ke bangunan-bangunan di halaman dalam Bastille.
Tepat saat dibutuhkan, meriam rakyat mencapai posisi tembak. Mereka menempatkannya hanya 30 meter dari jembatan utama benteng. Situasi menjadi genting. Garnisun sadar mereka tak punya cukup kekuatan untuk bertahan lebih lama. Mereka harus menyerah.
Antara pukul empat hingga lima sore, Gubernur de Launay mencoba bernegosiasi. Ia menulis catatan mengancam akan meledakkan Bastille dengan 20.000 pon mesiu jika syaratnya tidak dipenuhi. Tapi rakyat tak menggubris, de Launay akhirnya menyerahkan kunci pintu masuk dan Bastille jatuh ke tangan rakyat. Dengan itu, benteng simbol tirani akhirnya jatuh ke tangan rakyat Paris.
Jatuhnya Bastille dan Kematian de Launay
Gubernur De Launay tertangkap dan mereka mengaraknya menuju Hôtel de Ville. Di sepanjang perjalanan, amarah massa meledak—mereka memukulinya habis-habisan dan akhirnya tewas dalam kondisi terpenggal. Tiga perwira dan tiga prajurit Bastille ikut menjadi korban. Sementara itu, Flesselles—pejabat kota yang dituduh bersekongkol dengan istana—tewas akibat tembakan orang tak dikenal.
Begitu jembatan utama Bastille runtuh, rakyat menyerbu masuk. Mereka menemukan tahanan yang selama ini terkurung dalam ruang bawah tanah yang gelap dan sunyi. Tangis haru dan sorak-sorai menggema. Para mantan tahanan itu diarak keliling kota, menjadi simbol hidup kemenangan rakyat atas tirani.
Sorak-sorai mengguncang Paris. Dalam sekejap, kabar tentang jatuhnya Bastille menyebar ke seluruh penjuru Prancis. Rakyat tahu, istana telah gagal menggulingkan suara rakyat. Kudeta telah runtuh sebelum sempat dimulai.
Bastille Day menjadi titik mula Revolusi Prancis. Rakyat berhasil meraih kemenangan pertamanya—sebuah kemenangan nyata yang memberi legitimasi pada gerakan revolusioner, membakar semangat perlawanan di seluruh negeri, dan menegaskan: kekuasaan lama bisa dikalahkan.
Bastille Day sebagaimana peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 1945 kembali mengingatkan kita bahwa semboyan Liberté, Égalité, Fraternité (Kemerdekaan, Kesetaraan dan Persaudaraan) tidak mewujud secara cuma-cuma , namun harus melalui perjuangan yang berat sebagaimana merebut kemerdekaan Indonesia dari penjajah. “Merdeka atau Mati!”.(St.Diyar)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.