SURAU.CO. Mahkamah Konstitusi (MK) telah menetapkan arah baru bagi demokrasi Indonesia. Lembaga ini secara resmi memisahkan penyelenggaraan pemilu nasional dan pemilu daerah. Putusan monumental ini langsung mendapat sambutan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Komisi II DPR melihatnya sebagai momentum emas. Mereka siap mendorong penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu. RUU ini akan berbentuk kodifikasi atau penggabungan beberapa aturan dalam satu naskah utuh.
Langkah ini sejalan dengan visi jangka panjang negara. Pemerintah dan DPR telah merancangnya melalui Undang-Undang Nomor 59 Tahun 2024. Regulasi tersebut memuat Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045. Arah kebijakan di dalamnya mengamanatkan pembentukan UU Pemilu yang terkodifikasi.
DPR Sambut Baik Putusan MK
Wakil Ketua Komisi II DPR RI Zulfikar Ass Sadikin menegaskan hal tersebut. Menurutnya, keputusan MK pendorong menjadi utama. DPR akan segera bekerja menyusun RUU Pemilu baru. Proses ini akan menyesuaikan dengan kebijakan dalam RPJPN yang telah mendapatkan persetujuan. “Kita menyesuaikan dengan kebijakan yang ada dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2025-2045 Nomor 59 Tahun 2024 yang menyatakan bahwa pembentukan Undang-Undang Pemilu itu adalah kodifikasi,” kata Zulfikar di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu.
Zulfikar menjelaskan bahwa DPR sebenarnya sudah memiliki inisiatif. Mereka telah menggagas perubahan UU Pemilu, UU Pilkada, dan UU Pemerintah Daerah. Semua itu akan bergabung menjadi satu paket RUU Politik dalam bentuk kodifikasi. Oleh karena itu, Putusan MK Nomor 135 ini datang pada waktu yang tepat. Putusan ini menjadi pemantik untuk segera merealisasikan perubahan tersebut.
Zulfikar memastikan prosesnya berjalan sesuai mekanisme yang berlaku di parlemen. Hal ini sebagai cara yang elegan untuk menentukan masa depan pemilu. “Biarlah semua yang terjadi itu kita tumpahkan kita ramu dalam penyusunan itu, termasuk nanti di pembahasan. Itu sesuai mekanisme, dan itu elegan,” lanjutnya.
Menuju Sistem Pemilu yang Holistik
Gagasan kodifikasi bertujuan menciptakan sistem pemilu yang holistik dan terintegrasi. Hal ini juga mendapatkan tanggapan yang sama dari Wakil Ketua Komisi II DPR RI lainnya, Aria Bima. Menurutnya, sistem pemilu Indonesia tidak boleh lagi terpotong-potong. Berbagai elemen politik harus dalam aturan satu kerangka hukum yang kokoh.
“Apalagi di dalam pembuatan Undang-Undang Pemilu ke depan, yang kami ingin Undang-Undang Pemilu itu nanti adalah kodifikasi karena mencakup berbagai elemen politik kita yang harus satu sistem, satu hal yang holistik, enggak terpotong-potong,” kata Aria.
Kodifikasi ini akan menyatukan berbagai undang-undang terkait politik. Harapannya tidak ada lagi tumpang tindih atau inkonsistensi aturan dan sistem Pemilu menjadi lebih sederhana, efektif, dan efisien.
Landasan Hukum Baru Pemilu Indonesia
Putusan MK yang pada Kamis, 26 Juni 2025 lalu, mengabulkan sebagian permohonan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). MK memutuskan penyelenggaraan pemilu nasional dan daerah harus terpisah. Jeda waktu antara keduanya paling singkat dua tahun. Sementara itu, jeda paling lama adalah dua tahun dan enam bulan.
Secara spesifik, MK mengubah beberapa pasal krusial dalam undang-undang terkait. MK menyatakan Pasal 167 ayat (3) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD 1945. Pasal tersebut tidak lagi mengikat secara bersyarat. Jika tidak maknanya sebagai berikut:
“Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau sejak pelantikan presiden/wakil presiden melakukan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota pada hari libur atau yang diliburkan secara nasional.”
Putusan Selanjutnya
Selanjutnya, MK juga mengubah Pasal 347 ayat (1) ke dalam UU yang sama. Pasal ini juga bertentangan dengan konstitusi, dan harus dimaknai:
“Pemungutan suara diadakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau sejak pelantikan presiden/wakil presiden mengadakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota.”
Terakhir, MK merevisi Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada. Aturan ini harus dimaknai:
Pemilihan dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk memilih anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota yang dilaksanakan dalam waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau sejak pelantikan presiden/wakil presiden.”
Dengan amar putusan ini, MK dengan tegas memerintahkan pemilu daerah untuk diselenggarakan setelah pemilu nasional selesai. Bola kini berada di tangan DPR untuk menetapkan landasan hukum teknisnya.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
