Pernahkah Anda merenung tentang hakikat dari “ada”? Pertanyaan fundamental ini menjadi titik tolak bagi Mulla Sadra (1571-1640 M), seorang filsuf dan ulama besar dari Persia yang membangun kembali arsitektur filsafat Islam. Di masanya, dunia pemikiran terbagi antara kaum rasionalis yang mengandalkan akal, kaum sufi yang menyelami pengalaman batin, dan para teolog yang berpegang pada teks suci.
Mulla Sadra tidak memilih salah satu, melainkan menyatukan semuanya. Ia melihat bahwa kebenaran dapat diraih melalui harmoni antara akal, hati (intuisi), dan wahyu. Hasilnya adalah sebuah sistem filsafat yang megah dan saling terhubung, Al-Hikmah al-Muta’aliyah (Hikmah yang Luhur). Mari kita bedah sistem ini, pilar demi pilar, untuk melihat bagaimana gagasannya mengalir secara logis.
Pilar Pertama: Fondasi Realitas adalah Wujud (Asalat al-Wujud)
Setiap bangunan membutuhkan fondasi. Fondasi pemikiran Mulla Sadra dimulai dari pertanyaan: “Apa yang paling mendasar dari segala sesuatu yang nyata?” Sebelum dia, banyak filsuf berdebat antara konsep (esensi) dan kenyataan (eksistensi).
Mulla Sadra datang dengan sebuah penegasan yang menjadi dasar bagi segalanya: Yang paling fundamental dan satu-satunya realitas sejati adalah wujud (eksistensi) itu sendiri. Ia berpendapat bahwa sebuah konsep, seperti “resep kue”, tidak memiliki realitas apa pun. Yang benar-benar nyata adalah “kue yang ada”, yang terbuat dan bisa kita rasakan. Tanpa dianugerahi wujud oleh Tuhan, seluruh konsep di alam semesta ini hanyalah ketiadaan.
Fondasi ini menegaskan bahwa kita semua terhubung dalam satu realitas fundamental yang sama, yaitu Wujud.
Pilar Kedua: Menjelaskan Keragaman dalam Kesatuan (Tashkik al-Wujud)
Namun, fondasi ini segera memunculkan sebuah teka-teki besar: jika realitas itu pada dasarnya satu (Wujud), mengapa alam semesta yang kita lihat ini begitu beragam dan tampak berbeda-beda? Di sinilah Mulla Sadra membangun pilar kedua untuk menjawab teka-teki tersebut.
Ia menjelaskan bahwa Wujud yang satu itu memanifestasikan dirinya dalam tingkatan atau gradasi yang tak terhingga. Untuk memahaminya, ia menggunakan analogi cahaya. Hakikat cahaya itu satu, namun intensitas cahaya matahari tentu jauh lebih kuat daripada cahaya lampu, dan cahaya lampu lebih kuat dari cahaya lilin. Meski berbeda tingkatannya, semuanya adalah manifestasi dari realitas cahaya.
Begitu pula dengan Wujud. Allah SWT adalah Wujud Absolut yang tak terbatas, laksana sumber cahaya tak bertepi. Sementara seluruh makhluk, mulai dari malaikat hingga sebutir debu, adalah “cahaya” dengan tingkatan intensitas yang berbeda-beda. Dengan pilar kedua ini, Mulla Sadra berhasil menjelaskan keragaman alam tanpa mencederai kesatuan fundamentalnya.
Pilar Ketiga: Realitas sebagai Perjalanan Abadi (Al-Harakah al-Jawhariyyah)
Setelah membangun fondasi (kesatuan wujud) dan strukturnya (wujud yang bertingkat), Mulla Sadra bertanya lebih jauh tentang sifat dari bangunan ini: Apakah ia diam dan statis, atau hidup dan bergerak? Jawabannya menjadi pilar ketiga sekaligus denyut jantung dari seluruh filsafatnya.
Ia menyatakan bahwa seluruh realitas, di level terdalamnya, berada dalam gerak substansial yang abadi. Ini bukan sekadar gerak fisik, melainkan sebuah transformasi jati diri yang terus-menerus. Ia mencontohkannya dengan biji yang tumbuh menjadi pohon. Biji itu tidak hanya bertambah besar, tetapi seluruh substansinya secara aktif “bergerak” dan berubah menjadi akar, batang, dan daun.
Bagi Mulla Sadra, seluruh alam semesta sedang dalam perjalanan pulang. Setiap entitas bergerak dari tingkat wujud yang lebih rendah menuju kesempurnaan yang lebih tinggi, kembali kepada Sumbernya.
Visi yang Utuh tentang Kosmos dan Diri
Ketiga pilar Mulla Sadra bukanlah ide yang terpisah, melainkan satu kesatuan visi yang utuh dan mengalir:
- Realitas adalah satu Wujud yang sama (Pilar 1).
- Wujud yang satu ini menjelma dalam tingkatan yang tak terhingga (Pilar 2).
- Dan seluruh tingkatan wujud ini berada dalam gerak abadi untuk menjadi lebih sempurna (Pilar 3).
Warisan pemikiran ini mengajak kita untuk melihat bahwa hidup adalah sebuah perjalanan dinamis untuk “menjadi”. Diri kita bukanlah sesuatu yang beku, melainkan sebuah proses. Setiap ilmu yang kita pelajari dan setiap amal yang kita lakukan adalah bagian dari gerak substansial jiwa kita untuk naik ke tingkatan wujud yang lebih tinggi, lebih sadar, dan lebih dekat kepada Sang Pencipta.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
